Pengantar
Perkembangan Skolastik yang paling
memuncak dicapai pada pertengahan kedua abad ke-13 dan perempatan pertama abad
ke-14. Pada abad ke-14 itu makin lama timbullah rasa jemu terhadap segala macam
filsafat yang konstruktif. Sebab orang-orang yang setia kepada pemikiran yang
membangun menampakkan gejala pembekuan. Timbullah dua kelompok pemikir, yaitu
dari aliran Thomisme dan Scotisme. Di samping itu masih ada lagi
kelompok-kelompok yang lebih kecil dan lebih lemah, yaitu aliran yang mengikuti
Agustinus dan Albertus Agung. Dapat dikatakan, bahwa pada aliran-aliran itu
tiada pemikiran yang baru, yang asli lagi. Kelompok ini disebut kelompok via antiqua (jalan kuno).
Timbullah suatu aliran baru, yang berbeda sekali dengan sistim pemikiran dalam masa kejayaan Skolastik dan berbeda juga dengan aliran via antiqua, yaitu aliran yang disebut via moderna (jalan modern). Aliran ini menolak pemikiran metafisis yang konstruktip. Perhatiannya lebih diarahkan kepada cara manusia mengenal dan kepada segala “yang ada”. Ajarannya mengenai pengenalan mengarah kepada nominalisme. Sekalipun perhatiannya terhadap teologia tidak kurang, namun perhatiannya lebih diarahkan kepada hal-hal yang ilmiah secara positip, bukan kepada persoalan-persoalan filsafati. Oleh karena itu, di bidang teologi yang diperhatikan adalah persoalan gerejani dan politik yang kongkret. Via moderna dimulai dengan WILLIAM DARI OCKHAM (~1290 – 1349).
Hidup dan Karyanya
Wiliam
dari Ockham adalah pemikir Skolastik yang paling terkenal sejarah kehidupannya
kurang banyak diketahui. Ia dilahirkan di Ockham antara 1285-1300 dan meninggal
pada 10 April 1349. Ockham berasal dari Inggris dan merupakan anggota ordo
Fransiskan. Sejak 1315 ia
mengajar di universitas Oxford.[1] Karena ajarannya yang mencurigakan, ia
dipanggil untuk menghadap ke Avignon pada 1324, sebelum Paus di Avignon. Kemudian Ockham melarikan diri dari
Avignon atas perintah superior generalnya. Ekskomunikasi, membuat dia secara terbuka
mengambil posisi melawan paus yang bersekutu dengan kaisar.[2]
Tentang Episteme
Bentuk
pengenalan yang paling sempurna, menurut Ockham adalah pengenalan indrawi.
Dengan pengenalan indrawi, indra secara langsung mencapai objeknya.Oleh karena
itu, pengenalan indrawi ini harus dianggap bersifat intuitif. Bentuk pengenalan
lainnya adalah pengenalan Intelektual. Dalm bidang ini, dapat dibedakan adanya
dua macam pengenalan, yaitu pengenalan intuitif dan pengenalan abstrak (dari
kata Latin, abstrahere = menarik). Pengenalan
yang intuitif secara langsung mencapai objeknya. Mengenali secara langsung dan
tanpa keragun bahwa sesuatu itu ada. Pengenalan abstrak diperoleh dengan
menarik ciri-ciri umum dari benda-benda yang diamati atau dicercap oleh indra.
Pengenalan jenis ini memang menghasilkan konsep-konsep umum, namun
konsep-konsep umum ini tidak mengatakan apa pun mengenai keberadaan nyata suatu
benda. Sebab, hanya yang individual dan konkret (jadi, bukan yang umum dan
abstrak, seperti konsep-konsep) dapat menunjukkan tanpa dapat dibantah bahwa
sesuatu sungguh ada. Yang menjadi
persoalan bagi Ockam adalah bersifat apakah konsep-konsep umum tersebut.
Mengenai
soal konsep umum tersebut, Ockham mempunyai pendirian ekstrem yang biasanya
disebut dengan istilah nominalisme atau terminisme. Menurut Ockham, konsep
tidak menunjuk pada suatu kodrat yang dimiliki oleh sejumlah makhluk
individual. Dengan demikian, Ockham menjawab masalah universalia. Yang real adalah yang individual.
Ockham tidak memerlukan ajaran Thomas Aquinas mengenai individuasi, sebab masing-masing benda memang nyatanya bersifat individual. Maka dari itu, Ockham berpendirian bahwa konsep-konsep umum (universalia) tidak menujuk pada suatu kodrat tersendiri yang dimiliki oleh sejumlah makhluk individual. Konsep-konsep umum hanya ada ”di dalam jiwa” (in mente) dan merupakan prestasi kemampuan rohaniah manusia belaka, yakni kemampuan berpikirnya. Menurut Ockham, kita tidak dapat mengenali kodrat benda-benda karena kodrat menunjuk kepada sesuatu yang memuat ciri-ciri umum dan abstrak. Padahal, dalam kenyataan sesungguhnya, tidak ada ”yang umum abstrak”, yang ada hanyalah ”yang individual-konkret”. Konsep yang kita bentuk hanyalah merangkum kelompok benda-benda yang serupa ke dalam satu nama, satu sebutan (nomen, dari situ muncul istilah nominalisme) atau satu istilah saja (terminus, maka filsafat Ockham disebut juga Terminisme). Sebagi contoh, dalam kenyataan sesungguhnya hanya ada harimau Afrika, harimau Siberia, harimau Sumatra (individu-konkret), tidak ada harimau pada umumnya atau ke-harimau-an (universalia). Hanya ada Peter, Adri, dan John (individual-konkret) namun tidak ada pria, apalagi manusia pada umumnya (universalia). Dengan demikian, Ockham berpendapat bahwa konsep adalah sekedar ”tanda” atau ”simbol” dari suatu kelompok benda tunggal yang nyata, yang mempunyai persamaan satu dengan yang lainnya. Selain itu, sebenarnya tidak ada hubungan antara benda tunggal yang nyata itu dengan istilah yang menyebutkannya. Hubungan yang ada hanyalah dugaan saja. Walaupun demikian, Ockham tetap menekankan bahwa konsep merupakan suatu ”tanda yang wajar” (signum naturale). Sedangkan perkataan yang menjelmakan konsep dalam bahasa-bahasa tertentu bersifat konvesional, dan oleh karenanya bisa berlain-lainan karena hanya sekedar bahasa yang digunakan.
Ockham tidak memerlukan ajaran Thomas Aquinas mengenai individuasi, sebab masing-masing benda memang nyatanya bersifat individual. Maka dari itu, Ockham berpendirian bahwa konsep-konsep umum (universalia) tidak menujuk pada suatu kodrat tersendiri yang dimiliki oleh sejumlah makhluk individual. Konsep-konsep umum hanya ada ”di dalam jiwa” (in mente) dan merupakan prestasi kemampuan rohaniah manusia belaka, yakni kemampuan berpikirnya. Menurut Ockham, kita tidak dapat mengenali kodrat benda-benda karena kodrat menunjuk kepada sesuatu yang memuat ciri-ciri umum dan abstrak. Padahal, dalam kenyataan sesungguhnya, tidak ada ”yang umum abstrak”, yang ada hanyalah ”yang individual-konkret”. Konsep yang kita bentuk hanyalah merangkum kelompok benda-benda yang serupa ke dalam satu nama, satu sebutan (nomen, dari situ muncul istilah nominalisme) atau satu istilah saja (terminus, maka filsafat Ockham disebut juga Terminisme). Sebagi contoh, dalam kenyataan sesungguhnya hanya ada harimau Afrika, harimau Siberia, harimau Sumatra (individu-konkret), tidak ada harimau pada umumnya atau ke-harimau-an (universalia). Hanya ada Peter, Adri, dan John (individual-konkret) namun tidak ada pria, apalagi manusia pada umumnya (universalia). Dengan demikian, Ockham berpendapat bahwa konsep adalah sekedar ”tanda” atau ”simbol” dari suatu kelompok benda tunggal yang nyata, yang mempunyai persamaan satu dengan yang lainnya. Selain itu, sebenarnya tidak ada hubungan antara benda tunggal yang nyata itu dengan istilah yang menyebutkannya. Hubungan yang ada hanyalah dugaan saja. Walaupun demikian, Ockham tetap menekankan bahwa konsep merupakan suatu ”tanda yang wajar” (signum naturale). Sedangkan perkataan yang menjelmakan konsep dalam bahasa-bahasa tertentu bersifat konvesional, dan oleh karenanya bisa berlain-lainan karena hanya sekedar bahasa yang digunakan.
Berdasarkan
pemahaman di atas, maka Ockham menganggap bahwa sasaran ilmu pengetahuan
sebenarnya bukan benda individual nyata, melainkan hanyalah konsep dari benda
individual nyata tersebut. Perbuatan dan pemahaman konsep tersebut diadakan
oleh akal. Oleh karena itu, orang tidak perlu menambahkan kepada hal individual
yang nyata tersebut (individualia)
sekelompok ”realitas-realitas lainnya” yang sebenarnya tidak ada (universalia). Yang dimaksud dengan ”realitas
lainnya” adalah kodrat tertentu yang dimiliki bersama oleh sejumlah makhluk
idividual.
Akibat
pandangan ini ialah, bahwa segala pengertian metafisis dipandang sebagai hanya
memiliki arti yang subyektip saja. Tidak ada pengetahuan yang pasti tentang
Allah dan jiwa. Kita tidak dapat membuktikan bahwa Allah ada. Paling banyak
kita hanya dapat berbicara kearah kemungkinan-kemungkinan bahwa Allah ada. Di
dalam soal ini manusia harus bersandar kepada iman. Menurut William Ockham
Tomas terlalu gegabah, mengira bahwa dapat membuktikan segala sesuatu, juga
bahwa Allah ada, bahwa tidak dapat mati, dll. Sebenarnya imanlah yang dapat
memberi kepastian tentang hal itu semuanya.
Yang
jelas ialah, bahwa hakekat jiwa ada pada kehendaknya. Hal ini juga berlaku bagi
Allah. Maka kehendak Allahlah yang menetapkan penciptaan dan pengaturannya.
Segala perintah Hukum Suci ditentukan oleh kehendak Allah. Seandainya Allah
menghendaki, Ia dapat menuntut hal-hal yang bebeda sekali dengan yang hingga
kini dituntut. Sesuatu adalah baik karena Allah menghendakinya.
Penyebaran
pandangan William Ockham ini cepat sekali terjadi di Eropa. Pada pertengahan abad ke-14 via moderna mengalami kejayaan di Paris.
Akan tetapi nominalisme ini segera mengalami kemunduran, karena timbulnya
Humanisme, yang telah di mulai pada abad ke-15 di Italia, yang mempelajari
filsafat dengan cara yang berbeda sekali dengan Skolastik.[5]
Tanggapan
William Ockham tampil di akhir era Skolastik. Pada
saat itu harmoni antara kebenaran rasional dan iman sebagaimana diusahakan oleh
orang seperti Agustinus, Thomas, dan Scotus menjadi tidak mungkin lagi. Pada masa
itu timbul rasa bosan atas segala macam filsafat metafisis yang konstruktip.
Ockham hidup pada suatu fase sejarah dimana rasionalisme dan humanisme mulai
meletakan dasar-dasarnya. Konteks ini sungguh memberi warna pada filsafat
Ockham. Ockham lebih mengarahkan perhatian kepada hal-hal ilmiah positip, bukan
kepada persoalan-persoalan filsafati. ”Yang real adalah benda-benda individu,
bukan konsep-konsep”, kata Ockham. Meski demikian Ockham tetap menekankan bahwa
konsep merupakan ”tanda yang wajar” (signum
naturale). Yang menarik adalah perhatiannya terhadap hal-hal yang ilmiah
positip tidak mengurangi perhatiannya terhadap teologi. Permenungan akan
episteme membuat Ockham lebih rendah hati. ”Hanya iman yang membuktikan adanya
Tuhan”, kata Ockham.
[1]Bertrand Russell,Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004, hlm.
619.
[2] Battista
Mondin, A History of MediaevalPhylosophy,
Bangalore :
Theological Publications In India 1991, hlm. 382.
[3] Mudji Sutrisno dan Budi Hardiman
(editor), Pra filsuf Penentu Gerak Zaman,
Yogyakarta: Kanisius 1992, hlm. 51.
[4] Simon Petrus L. Tjahyadi, Petualangan Intelektual. Konfrontasi dengan
Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius
2004, hlm. 164.
[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius 1988, hlm. 119.
Comments
Post a Comment