I. Pengantar
Beberapa waktu lalu saya meluangkan banyak waktu untuk berkenalan dengan Keith Ward[1] melalui bukunya Is Religion Dangerous?[2], yang kurang lebih artinya “benarkah agama berbahaya?.” Beberapa bab dalam buku setebal 206 halaman tersebut, menurut hemat saya mengulas cukup dalam soal agama dan kekerasan.
Atas dasar itulah, dalam tulisan ini saya akan membahas pandangan Ward tentang agama dalam kaitannya dengan kekerasan. Pertanyaan yang mau dijawab oleh tulisan sederhana ini adalah, “Benarkah agama berada dibalik layar pentas kekerasan terhadap kemanusiaan dewasa ini?” “Apakah agama penyebab kekerasan?” “Ataukah sebaliknya, malah agama dipakai sebagai alat pemenuhan kebutuhan tertentu yang tidak religius, tetapi politis, ekonomis, rasial, dan lain-lain?” Ward akan menunjukan secara persis dimana posisi agama dalam hal ini.
Untuk membahas tema besar di atas, saya akan membuat tiga subtema kecil. Pertama, penyebab-penyebab kekerasan. Subtema ini diawali dengan memberikan batasan atas kata agama yang dipakai oleh Ward. Kemudian, akan ditunjukkan bahwa adanya institusi religius tertentu yang sering dikaitan dengan kekerasan , atau teks-teks kitab suci agama-agama yang berbicara tentang kekerasan, tidak bisa dijadikan bukti bahwa agama adalah biang kerok terjadinya berbagai kekerasan. Akan kelihatan bahwa, alih-alih menjadi sumber masalah dalam kehidupan manusia agama justru menjadi salah satu pelaku perubahan dalam sejarah umat manusia (bagian kedua).
Pada akhir pembahasan nanti (bagian ketiga) penulis kembali menarik benang merah dalam sebuah rangkuman singkat untuk menegaskan sekali lagi sikap Ward terhadap tema ini. Pada bagian ini inti dari masing-masing bagian diangkat dan dirumuskan kembali sehingga menjadi satu kesatuan ide yang tak terpisahkan.
II. Pembahasan
1. Penyebab-Penyebab Kekerasan
1.1. Batasan Agama
Dalam Is Religion Dangerous secara jelas Ward memberikan batasan tertentu pada apa yang namanya “agama”. Menurut Ward, agama merupakan serangkaian adat kebiasaan yang teratur, yang biasanya memiliki pembicara profesional untuk menenanamkan apa yang mereka percayai dan membimbing berbagai ritual yang berhubungan dengan keyakinan mereka[3]. Batasan ini menjadi penting sekali bagi Ward, karena perlu diingat bahwa ada banyak hal lain yang biasanya disebut agama, dan hal-hal itu tidak akan didiskusikan.
Menurut Ward, batasannya tentang agama berbeda sekali dengan yang dibuat oleh The Shorter Oxford English Dictionary[4] yang mengartikan agama sebagai “keyakinan atau perasaan dari beberapa hal luar biasa yang mengontrol kekuasaan atau para penguasa, yang dinamakan ketaatan, penghormatan, dan pemujaan, atau suatu sistem yang menentukan suatu kitab kehidupan, khususnya cara untuk mencapai perbaikan dalam hal spiritual atau material”. Bagi Ward definisi seperti ini sangat menyesatkan.
Orang Kristen atau Budha terpelajar sekarang ini menurut Ward, tidak senang dengan ungkapan bahwa mereka peduli dengan ‘kuasa pengendali yang melebihi kekuatan manusia’. Orang Budha menolak adanya kekuasaan seperti ini. Banyak orang Kristen saat ini sepenuhnya menolak ide tentang Allah sebagai seorang penguasa yang melebihi manusia. Misalnya, menurut teolog Paul Tillich[5], Allah bukanlah makhluk istimewa, melainkan penguasa atas makhluk itu sendiri, sumber nilai moral tertinggi sehingga sangat dihormati dan disegani.
1.2. Kelompok Religius Tertentu
Menurut Ward ungkapan bahwa agama berbahaya karena menjadi akar segala kekerasan tidak benar. Bahwa ada kelompok religius tertentu yang menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan untuk mencapai tujuannya, jawabannya “ya”. Kelompok seperti itu misalnya Al Qaeda.
Menurut Ward kelompok Al Qaeda menggunakan kekerasan bagi semua orang, tanpa pandang bulu, dengan teror yang mengerikan demi mencapai tujuannya. Para anggota dan simpatisan Al Qaeda itu sendiri tidak menganggap Al Qaeda jahat. Mereka menganggapnya sebagai kekuatan demi terwujudnya keadilan di dunia yang sungguh tidak adil, dan kekuatan demi kebenaran dalam menghadapi ateisme dan nihilisme Barat.
Akan tetapi menurut Ward, sebelum terburu-buru mengatakan bahwa Al Qaeda jahat, perlu diingat bahwa bom-bom Amerika yang membunuh orang tanpa pandang bulu dan dalam jumlah besar menyebabkan sakit dan penderitaan yang tidak terlukiskan, yang mungkin tidak terpikirkan oleh kebanyakan orang Amerika sebagai perbuatan jahat. Di Irak misalnya, Amerika melakukan hal-hal yang mengerikan dengan dalih untuk menjatuhkan tirani Saddam Hussein.
Dengan demikian menurut Ward, kita harus mengatakan bahwa Al Qaeda bukan kejahatan murni dalam pengertian itu. Kelompok ini bertujuan pada yang baik, ketaatan pada Allah dan kesukaannya pada kebenaran Allah, serta membenci hanya musuh-musuh Allah. Meskipun demikian, para anggota Al Qaeda seharusnya mengetahui bahwa Allah tidak membenci orang-orang non-Muslim. Membunuh orang yang tidak bersalah itu adalah salah, dan kebencian selalu dilarang oleh Allah yang berbelas kasih.
1.3. Penipuan Diri dalam Moralitas dan Agama
Menurut Ward kekuatan untuk menipu diri sendiri itu kuat. Sangatlah mudah bagi orang-orang untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa yang jahat itu baik. Hal seperti ini menurut Ward bisa kita temukan dalam rasisme, Nazi, dan Al Qaeda.
A. Ras
Menurut Ward orang sering kali menempatkan kepentingannya sendiri, atau rasnya sendiri, atau keluarganya sendiri, atau bahkan dirinya sendiri, yang utama – ia membenarkan diri untuk melakukannya dengan membuat alasan-alasan ‘moral’. J.P. Botha mungkin bisa menjadi satu contoh kecil dari ribuan kasus rasis yang sangat mengecewakan kita semua. Ward menuturkan bahwa Botha, seorang Afrika berkulit putih, pernah mengatakan di televisi bahwa delapan orang di kapal Nuh berkulit putih. Semua orang di dunia adalah keturunan mereka, orang-orang berkulit hitam adalah binatang-binatang, dan bukan manusia. [6]
Apa yang dapat kita katakan mengenai kasus-kasus seperti itu? Agama-agama mengajarkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia, oleh karena itu semua orang memiliki harkat dan martabat yang sama. Agama Kristen misalanya mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah sendiri, oleh karena itu manusia disebut citra Allah (imagio Dei). Fakta sejarah yang mencatat bahwa orang berkulit hitam identik dengan budak di masa lalu, tidak mengurangi sedikitpun kebenaran bahwa mereka adalah pribadi manusia bermartabat, sama seperti yang lainnya.
Kiranya dapatlah ditegaskan di sini bahwa agama menjunjung tinggi kesamaan harkat dan martabat setiap orang, serta menentang dengan keras segala bentuk diskriminasi. Kasus-kasus rasial lahir dari kebencian semata terhadap orang atau kelompok lain dan tidak pernah didukung oleh agama sampai kapanpun.
B. Al Qaeda
Menurut Ward, jika kita memperhatikan Al Qaeda dan aktivitas-aktivitasnya sangatlah jelas bahwa ideologinya didirikan di atas kebencian dan stereotip bahwa ‘orang-orang Kafir (orang-orang tidak beriman) adalah jahat. Kelompok ini menurut Ward mengklaim diri sebagai orang muslim sejati padahal mayoritas kaum muslim tidak sepakat dengan apa yang mereka lakukan. Al Qaeda menurut Ward memakai kedok agama untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak religius, yaitu keinginan untuk berkuasa, menguasai dunia.
Apa yang terjadi pada Al Qaeda adalah sebuah kelompok dimana orang-orangnya mengaku diri beragama dan bahkan mewakili agama tertentu, Islam. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa apa yang membuat keyakinan Al Qaeda jahat bukan karena agama Islam , melainkan semata-mata karena kebencian, kebodohan, keinginan untuk berkuasa, dari Al Qaeda itu sendiri.[7] Oleh karena itu, menurut Ward, fenomena kelompok seperti Al Qaeda tidak bisa dijadikan bukti bahwa agama mendukung kekerasan. Meskipun demikian, pelajaran berharga bagi agama adalah, agama-agama harus sadar dan mawas diri sebab sewaktu-waktu agama mungkin sekali dipakai atau diperalat untuk tujuan-tujuan yang tidak baik.
Menurut Ward, yang diperlukan dalam menghadapi kelompok seperti Al Qaeda bukanlah menyalahkan apalagi membubarkan agama. Agama tidak menuntun pada sesuatu yang jahat. Sifat manusialah yang menuntun pada keburukan. Semua agama besar dunia menurut Ward berisi sumber-sumber untuk mengekspos keburukan dan memanggil orang-orang untuk bertobat. Yang dibutuhkan adalah investigasi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Ward berpendapat bahwa ada kedengkian semata – kebencian terhadap kehidupan, sesama dan diri sendiri yang membuat gerakan-gerakan religius tertentu menjadi nekat dan sadis. Ada paham yang salah, dimana kebencian, keinginan untuk berkuasa, dan pengabaian terhadap sesama dianggap sebagai kebajikan-kebajikan moral. Ward menegaskan kalau beberapa gerakan religius tampil semacam ini, meski tradisi-tradisi religius yang utama berisi kritikan internal atas posisinya. Banyak gerakan seperti ini tidak religius, tetapi etnis, nasionalis atau imperialis.
C. Teks-teks tentang Kekerasan
Apa yang terjadi bila dalam agama-agama ada teks-teks tentang kekerasan? Apa yang agama katakan dihadapan teks-teks seperti itu? Ward mengakui bahwa dalam agama-agama memang ada teks-teks yang membenarkan penggunaan kekerasan. Dalam Yudaisme dan Kekristenan ada aturan-aturan kuno dan mutlak dari Kitab Ulangan (Ul 2:67-3:22) yang tampaknya merekomendasikan pemusnahan orang-orang Kanaan, atau memberikan kepemilikan tanah orang-orang Yahudi antara Sungai Nil dan Efrat. Dalam Islam ada jihad yang membenarkan penggunaan kekerasan untuk memusnahkan musuh-musuh Islam.
Akan tetapi menurut Ward, teks-teks seperti Kitab Ulangan di atas memiliki maksud-maksud khusus dan latar belakang historis yang rumit. Penjelasan yang bisa diberikan adalah sebagai berikut. Pertama, kekerasan yang dibenarkan dalam teks-teks ini bertujuan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh iman. Kedua, teks-teks seperti ini memang ada, tetapi tidak pernah diterapkan secara harafiah dalam setiap situasi yang berbeda di dunia modern ini. Setiap tradisi agama telah mengembangkan cara-cara penafsiran untuk mengabaikan teks-teks itu dengan teks lainnya dan biasanya interpretasi-interpretasi yang berikut menekankan apa yang sungguh-sungguh mendasar – yaitu perintah Allah untuk berbela rasa dan berbelas kasih.
Dalam Qur’an dan Hadits (yang mencatat perkataan Nabi) jihad, yang berarti berjuang, pertama-tama diinterpretasikan sebagai perjuangan hati untuk menaati perintah Allah. Kedua, jihad, oleh kebanyakan cendekiawan Muslim ditafsirkan sebatas untuk mempertahankan Islam atau Negara-negara Islam terhadap penyerangan yang tidak adil.
Demikian pun Orang Yahudi. Agresi terhadap Palestina atau lebih tepat Pertikaian berdarah antara Israel dan Palestina sekarang bukanlah anjuran dari Kitab Suci. Yang terjadi adalah kebencian terhadap sesama, keinginan untuk berkuasa, dominasi atas orang lain, dan lain-lain. Hal yang sama menurut Ward, mayoritas Gereja Kristen menyesalkan terjadinya Perang Salib[8] dan penganiayaan orang-orang Yahudi sebagai kesalahpahaman atas perintah Yesus untuk mengasihi musuh serta mencari rekonsiliasi dan damai, bukan untuk mengumbar balas dendam dan kemarahan.
Sampai di sini kelihatan menurut Ward bahwa masalah tidak terletak pada adanya teks-teks itu. Masalah muncul ketika tulisan-tulisan religius itu disalahgunakan. Penyalahgunaan seperti ini dapat diidentifikasi dengan fakta bahwa tulisan-tulisan ini mengabaikan masalah-masalah yang lebih penting – kasih Allah dan sesama – dan memilih teks-teks di luar konteks serta mengaplikasikannya tanpa memahami sejarah atau kepedulian terhadap interpretasi tradisi-tradisi pada umumnya.
2. Porsi Agama dalam Kekerasan
Kenyataan di lapangan membuktikan bagaimana kehadiran agama dalam sejarah peradaban manusia telah menjadi kekuatan yang mengubah. Ward menegaskan kalau dunia ini akan menjadi lebih buruk tanpa agama. Meski tidak menjadi pelaku perubahan tunggal, agama selalu akan dibutuhkan. Pembahasan-pembahasan berikut akan memperlihatkan pentingnya kehadiran agama di bumi ini sebagai kekuatan yang mengubah.
2.1. Kontribusi Khusus Agama
Menurut Ward, kontribusi dasar agama-agama adalah pada sikap-sikap sosial, yaitu pengertian tentang yang suci, sesuatu yang sangat baik sehingga pantas dihormati tanpa syarat. Pengertian tentang yang suci ini memanggil orang-orang untuk mengekspresikan kebaikan dalam hidupnya sendiri, dan memberikan hidupnya untuk memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai yang baik.
Allah Yudaisme, Kekristenan, dan Islam kata Ward adalah pribadi yang adil, berbelas kasih, dan penuh kasih, yang memerintahkan orang-orang untuk menjadi adil, berbelas kasih, dan ramah, serta yang menjanjikan kepada orang-orang yang adil kehidupan setelah mati dalam kesatuan dengan kebaikan mutlak. Tao atau Jalan Surga di beberapa agama Asia Timur merupakan aturan moral dasar yang ditulis dalam struktur alam semesta, yang memanggil orang-orang untuk hidup sesuai dengan perintah keadilan, dan yang menetapkan jalan-jalan kehidupan yang membawa kepenuhan, kesadaran, dan kebahagiaan dari dalam.
Singkatnya menurut Ward agama-agama berada diantara pelaku-pelaku utama dari pendidikan moral dikebanyakan negara. Yang dibicarakan agama-agama adalah menguraikan keyakinan dasar yang tergantung pada konteks sejarah dan sosial.
2.2. Persepsi yang Salah
Apakah mungkin agama menjadi pelaku perubahan padahal agama cenderung konservatif atau mempertahankan nilai-nilai lama yang ketinggalan jaman? Pertanyaan seperti ini menurut Ward berangkat dari ketidaktahuan tentang apa dan bagaimana agama berkembang selama ini. Menurut Ward, agama memiliki sejumlah aturan-aturan moral yang terus berubah, dan aturan-aturan itu memberikan perhatian pada kebudayaan dan masyarakat tempat agama itu hidup.
Beberapa fakta sejarah menurut Ward, dapat mendukung hal ini. Pertama, dalam kasus Kekristenan, misalnya riba (usury). Riba (membungakan uang) secara resmi dikutuk oleh Konsili Lateran III[9] pada tahun 1179. Baru pada abad ke-19 Gereja Katolik secara resmi memperbolehkan praktek ini, yang didasarkan pada perbankan modern di Barat. Kedua, misalnya praduga tentang kebebasan untuk mengekspresikan dan mempraktekan keyakinan religius. Paus Pius IX mengutuknya dalam Syllabus of Errors[10] tahun 1864, yang mengutuk sedikitnya 80 kesalahan pemikiran modern, termasuk liberalisme dan kebebasan untuk mempraktekan agama non-Katolik (dalam suatu Negara Katolik). Konsili Vatikan II[11], pada tahun 1960-an, menegaskan bahwa kebebasan beragama dan menjalankan agama melekat pada pribadi setiap orang sebagai mahkluk yang bebas dan tidak seorang pun dapat mencampurinya.
A. Bahaya Kekerasan dalam Islam
Ketika membicarakan kekerasan dalam Islam Ward mengambil contoh, Sayyid Qutb[12]. Qutb diangkat karena mempropagandakan kekerasan dalam Islam sebagai jalan menegakkan Syariah di bumi ini.
a. Sayyit Qutb dan Islam Militan
Qutb dalam bukunya Milestones on the Road (1965) menulis, “Orang harus menerima Syariah tanpa pertanyaan dan menolak semua hukum lain dalam bentuk apa pun. Semua masyarakat bukan Islam (jahili) adalah ilegal”.[13]
Menurut Qutb, kata Ward, tidak ada kompromi atau hidup berdampingan dengan masyarakat jahili. Qutb menulis, “Tidak ada Islam di negeri yang Islamnya tidak dominan dan syariah tidak didirikan.” Ada yang lebih keras lagi: jihad, berjuang dalam jalan Allah, harus berinisiatif menghilangkan jahiliyyah. Ini bukan perang untuk mempertahankan diri; inilah penggunaan kekuatan untuk mendirikan masyarakat Muslim di dunia, sehingga hanya ada kaum muslim di dunia ini, musuh-musuh Islam dilawan.[14] Tidak diragukan lagi menurut Ward, kalau pandangan Qubt sangat berbahaya bagi setiap orang, termasuk mayoritas Muslim sendiri. Bagi kebanyakan Muslim langkah ini tidak bisa diterima sepenuhnya.
b. Qutb dan Komunisme Leninis
Menurut Ward, pandangan Qutb di atas mirip dengan apa yang dilakukan Lenin ketika dengan cara yang sama menganggap bahwa untuk menciptakan masyarakat sosialis sejati di dunia ini diperlukan revolusi dengan kekerasan. Dengan demikian, seluruh dunia menjadi komunis.
Meskipun Qutb menentang komunis di bumi sebagai ateis, pola pandangannya seperti Komunisme Leninis. Keduanya sama-sama melihat dunia secara hitam putih. Yang satu sungguh-sungguh jahat dan yang lainnya sungguh-sungguh baik. Dunia yang didominasi oleh kuasa jahat ini, harus dihancurkan. Untuk menghancurkan dunia yang jahat itu, jalan yang dianjurkan oleh keduanya adalah kekerasan (perang, revolusi).
Akan tetapi menurut Ward, bagi kebanyakan Muslim, langkah-langkah Qubt tidak dapat diterima sepenuhnya. Karena sebenarnya Islam tidak menjanjikan masyarakat Islam sejati di muka bumi ini. Islam, bagi mayoritas cendikiawan Muslim, tidak membenarkan kekerasan kecuali untuk mempertahankan diri. Oleh karena itu, bukan agama yang menyebabkan terorisme.
B. Bahaya Kekerasan dalam Kekristenan
Menurut Ward, politisasi agama oleh kelompok tertentu yang berujung pada lahirnya kekerasan dan perang sebenarya terjadi pada agama manapun. Sebagaimana terjadi dalam Islam hal yang sama terjadi juga dalam Kekristenan.
a. Rentetan Panjang
Menurut Ward, orang-orang Kristen telah menganiaya dan membunuh orang-orang yang memiliki keyakinan “salah”. Orang-orang Kristen telah menganggap orang-orang Yahudi bertanggung jawab atas kematian Kristus, dan telah melakukan diskriminasi terhadap mereka. Orang-orang Kristen telah menganggap orang-orang kafir sebagai ‘musuh-musuh Allah’ dan telah berperang melawan mereka, yang paling spektakuler dalam Perang Salib.
Meskipun untuk mempertahankan kekaisaran Bizantium terhadap penyerbuan Arab dan Turki, perang tetap tidak dibenarkan. Kelangsungan Perang Salib ini tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip iman Kristen. Menurut Ward, ada dimensi politik yang kuat yang menyebabkan perang ini. Kebijakan seperti ini sekarang menurut Ward tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang Kristen. Perang Salib bukan anjuran dari Kitab Suci. Yesus mewariskan kepada pengikutnya ajaran kasih dan damai, bukan perang dan permusuhan.
Di hadapan peristiwa-peristiwa ini, orang Kristen harus bertanya, bagaimana iman kristiani yang dari asal-usulnya mengajarkan pengikutnya cinta kasih dan damai, kemudian menjadi agama para pangeran perang dan para inquisitor[15]. Padahal Yesus dalam ajaran-Nya dengan jelas mengatakan bahwa orang tidak seharusnya melawan kejahatan dengan kejahatan atau melakukan balas dendam (bdk. Mat.5-7), serta kenyataan bahwa Ia menghadapi kematian-Nya dengan damai dan tidak mengangkat senjata melawan penjajahan militer Roma.
b. Kekristenan dan Kekaisaran Roma
Ward menuturkan bahwa Allah orang Kristen bukan Allah kekaisaran, melainkan Allah para budak dan para pekerja, orang miskin dan tertindas di provinsi kecil Roma, Yudea. Baru pada zaman kaisar Theodosius, abad ke-4, Kekristenan menjadi agama resmi kekaisaran Roma. Akan tetapi, keadaan di abad ke-4 itu justru membuat Gereja terbuai. Gereja sedikit demi sedikit terbawa ke dalam kehidupan istana kekaisaran beserta intrik-intriknya. Para uskup senior diambil dari keluarga-keluarga istana. Dibawah naungan kekaisaran Gereja mulai melarang lahirnya iman baru.
c. Perang-perang Agama
Menurut Ward tidak seorang pun menyangkal bahwa terjadi perang agama dalam sejarah manusia. Orang-orang Katolik berperang melawan orang-orang Protestan, orang-orang Muslim Sunni berperang melawan orang-orang Muslim Syiah, dan orang-orang Hindu berperang melawan orang-orang Muslim. Akan tetapi, menurut Ward tidak seorang pun yang pernah mempelajari sejarah akan menyangkal pula bahwa kebanyakan perang dalam sejarah manusia bukan disebabkan oleh agama. Dalam kasus itu, unsur agama biasanya digabungkan dengan beberapa unsur non-agama, sosial, etnis atau politik yang sangat mempengaruhi konflik-konflik ini.
Untuk menemukan contoh-contoh perang non-agama menurut Ward orang perlu melihat apa yang terjadi pada awal sampai pertengahan abad ke-20, yang mengakibatkan banyak orang terbunuh[16]. Dua perang dunia bukanlah perang yang didasarkan pada agama.
Perang-perang ini berkaitan dengan keinginan untuk menguasai suatu wilayah, kesombongan dan aspirasi nasional untuk menguasai kekaisaran. Agama diminta untuk mendukung perang – seperti dalam Perang Dunia I baik Jerman, Inggris, maupun Prancis – yang memiliki agama sama dan Allah sama yang diharapkan untuk mendukungnya. Agama diharapkan mendukung kewajiban nasional, atau yang dipercayai menjadi kewajiban nasional. Tidak ada doktrin-doktrin atau praktek agama yang menjadi isu dalam perang-perang ini.
Menurut Ward, meskipun agama dapat memainkan sebagian konflik kekerasan, survei-survei yang detil menunjukan bahwa perang-perang agama itu sedikit, sehingga kekerasan dalam dunia modern tidak dapat diatasi dengan agama, dan agama merupakan faktor, yang dipakai untuk mendukung keluhan-keluhan lain sehingga kebanyakan kasus dengan cepat menyebabkan konflik.
Akhirnya menurut Ward, terburu-buru melihat agama sebagai penyebab utama perang dengan mudah menghilangkan masalah nyata, dan menyulitkan tercapainya solusi. Bahkan dalam kasus-kasus dimana agama merupakan faktor utama, ada banyak harapan untuk memahami situasi ketika faktor-faktor ekonomi dan etnis diperhitungkan.
2.3. Analisis Sosiologis
Tema ini dibicarakan oleh Ward dalam kaitannya dengan karya sosiolog Inggris, David Martin, dalam bukunya Does Christianity Cause War?[17] Buku ini menurut Ward memberikan analisis detil dan tajam mengenai faktor-faktor sosiologis yang berkaitan dengan perang dan kekerasan sosial, serta menunjukan betapa beragam dan kompleksnya faktor-faktor tersebut. Martin, menurut Ward menarik distingsi antara bentuk-bentuk agama yang berbeda dan tidak berbeda. Distingsi ini membedakan dengan jelas antara agama dan aspek-aspek sosial lain serta kehidupan politik. Martin mengambil contoh Kekaisaran Bizantium. Martin, menurut Ward, melihat di Kekaisaran Bizantium agama diintegrasikan ke dalam struktur politik negara, sehingga kaisar adalah juga pemimpin agama. Martin melihat bawa hal ini sesuai untuk beberapa masyarakat zaman sekarang – misalnya Ortodoksi Serbia dan Katolisisme Kroasia.
Menurut Ward, Martin melihat agama, seperti juga etnisitas atau bahasa atau kebudayaan yang distingtif, sebagai penanda identitas. Martin menyatakan bahwa “tanda-tanda identitas apa pun itu, menetapkan keadaan-keadaan khusus yang dapat menguraikan prasyarat-prasyarat konflik”[18]. Agama merupakan penanda identitas di antara penanda-penanda lain itu.
Mengikuti Martin Ward menegaskan bahwa agama minoritas dalam sebuah bangsa yang berbeda pandangan religiusnya dari kelompok religius mayoritas akan tetap eksis keberadaannya sejauh bisa memelihara relasi positif dengan agama mayoritas dalam wilayah tersebut. Martin menegaskan bahwa “konflik ada dimana agama minoritas didirikan diantara sekelompok etnis atau bahasa yang mendiami wilayah sekitarnya, yang memiliki kekuatan dasar cukup besar, dan dapat datang kepada sekutunya menyebrangi batas”[19]
Jadi menurut Martin, agama sebagai penanda identitas dapat memainkan peranan dalam kerasnya konflik-konflik sosial. Argumentasinya adalah agama dapat ditarik ke dalam dunia politik dimana kekuasaan sering digunakan.
Menanggapi uraian sosiologis ini Ward berpendapat bahwa analisis sejarah dan sosiologis yang detil, seperti yang dibuat Martin, membuat generalisasi-generalisasi yang hampir mustahil. Pendapat Profesor Martin mengenai Kekristenan dan Islam lebih bersifat politis. Keyakinan yang sama dapat menyebabkan konsekuensi-konsekuensi yang sangat berbeda dalam situasi-situasi sosial yang berbeda. Keyakinan sama dapat diintepretasikan dalam cara-cara yang sangat berbeda oleh masyarakat yang berbeda pula. Begitulah misalnya dengan Negara Mesir – yang diakui sebagai Negara Muslim. Apakah bisa dikatakan bahwa Mesir sama saja dengan negara-negara muslim lainnya, seperti Palestina, Afganistan, dan lain-lain? Padahal wajah Islam yang ditampilkan oleh Mesir jauh lebih baik dari Palestina dan Afganistan.
Menurut Ward, ada banyak kelompok terorisme di dunia modern. Beberapa kelompok adalah sayap kiri atau Maois; beberapa kelompok adalah sayap kanan atau Nasionalis; beberapa kelompok adalah etnis; beberapa kelompok adalah nasionalistis; tetapi sejumlah kelompok adalah “religious”. Di sini menurut Ward, kecuali kelompok-kelompok agama, masih ada banyak kelompok teroris, sehingga jelaslah bahwa agama bukan satu-satunya penyebab terorisme. Karena agama punya potensi besar untuk digunakan sebagai penanda-penanda identitas yang menggelorakan situasi-situasi konflik, maka pemeluk agama harus benar-benar sadar dan memahami apa yang dia imani, sehingga tidak muda terpancing begitu saja.
Jadi, menurut Ward, agama tidak dapat dilepaskan dari tendensi manusia secara universal yang mengarah kepada kebencian dan kekerasan terhadap sesama. Salahlah mengatakan bahwa kebanyakan konflik disebabkan oleh agama. Distingsi itu mengarah kepada konflik-konflik etnis dan suku di Afrika modern, atau mengarah kepada komunis dan fasis di abad ke-20. Agama terlibat dalam kekerasan, khususnya dimana agama menjadi penanda identitas dalam situasi konflik sosial. Sebaliknya agama sering menjadi suara rekonsiliasi, sebagaimana dikatakan dalam dokumen-dokumen Kitab suci dari semua agama besar dunia.
3. Rangkuman
Dari pemaparan-pemaparan di atas dapatlah ditegaskan kembali di sini bahwa bagi Ward agama bukanlah penyebab utama kekerasan. Oleh karena itu, ungkapan bahwa agama berbahaya harus dimengerti dalam konteks kerentanan agama dipakai dan dimanfaatkan oleh orang atau kelompok-kelompok yan hatinya dipenuhi kebencian.[20]
Ward tidak membantah bahwa dalam agama ada bahaya kekerasan dan agama-agama telah terlibat dalam perang. Sayyid Qutb dalam Islam misalnya, mempropagandakan kekerasan sebagai jalan menegakan Syariah di bumi ini. Orang-orang Kristen telah menganggap orang-orang kafir sebagai ‘musuh-musuh Allah’ dan telah membunuh mereka. Tentang perang, orang-orang Katolik telah berperang melawan orang-orang Protestan, orang-orang Muslim Sunni berperang melawan orang-orang Muslim Syiah, dan orang-orang Hindu berperang melawan orang-orang Muslim.
Akan tetapi menurut Ward, pandangan-pandangan dan konflik-konflik tersebut di atas sama sekali bukan keyakinan dan misi agama-agama itu, bahkan sebaliknya ditolak oleh mayoritas pengikutnya karena tidak sesuai dengan tradisi suci dan Kitab Suci masing-masing agama. Mayoritas Muslim sendiri menentang dengan keras soal perang dan apa yang disampaikan Qutb. Kebanyakan orang Kristen tidak dapat menerima dan menyesalkan kebijakan Gereja di masa lalu karena tidak mencerminkan ajaran cinta kasih dan damai yang disampaikan oleh Yesus.
Bila agama dicurigai sebagai penyebab kekerasan karena teks-teks yang bernuansa kekerasan, jawaban Ward adalah “tidak”! Ada tiga alasan menurut Ward yang harus dipahami secara holistik. Pertama, kekerasan yang dibenarkan dalam teks-teks ini bertujuan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh-musuh iman. Kedua, teks-teks yang bernuansa kekerasan memang ada, tetapi tidak begitu saja dikeluarkan dari konteksnya sehingga tidak pernah diterapkan secara harafiah dalam setiap situasi yang berbeda di dunia modern ini. Ketiga, teks-teks itu tidak pernah dipraktikan atau dijalankan secara harafiah sebagaimana tertulis. Karena setiap tradisi telah mengembangkan cara-cara penafsiran untuk mengabaikan teks-teks itu dengan teks lainnya dan biasanya interpretasi-interpretasi yang berikut menekankan apa yang sungguh-sungguh mendasar – yaitu perintah Allah yang berbela rasa dan berbelas kasih.
Jadi, alih-alih menjadi penyebab kekerasan, agama menurut Ward justru berada diantara pelaku-pelaku utama dari pendidikan moral dikebanyakan negara. Kontribusi dasar agama adalah pada sikap-sikap sosial, yaitu pengertian tentang yang suci, sesuatu yang sangat baik sehingga pantas dihormati tanpa syarat. Pengertian tentang yang suci ini memanggil orang-orang untuk mengekspresikan kebaikan dalam hidupnya sendiri, dan memberikan hidupnya untuk memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai yang baik.
Kalau bukan faktor agama, lalu apa penyebab terjadinya berbagai kekerasan di dunia kita ini? Menurut Ward, untuk mengetahui penyebab kekerasan perlu investigasi yang mendalam terhadap faktor-faktor ekonomi, politik, dan etnis. Bila agama dikait-kaitkan dengan kekerasan, yang terjadi adalah agama dipakai untuk kepentingan-kepentingan yang tidak religius. Itulah mengapa kalau terburu-buru melihat agama sebagai penyebab utama kekerasan justru dengan mudah menghilangkan masalah nyata, dan menyulitkan tercapainya solusi.
KEPUSTAKAAN
a. Sumber Utama :
Ward, Keith. Is Religion Dangerous?. Oxford : Lion Hudson PLC, 2006.
b. Sumber Pendukung :
Delanti, Gerard & Piet Strydom (edt.). Philosophies of Social Science. The Classic and Contemporary Readings. Philadelphia: Open University Press Maidenhead, 2003.
Hasarullah. Dendam Konflik Poso. ( Periode 1998-2001). Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta: Gramedia, 2009.
Institut Pluralisme Indonesia (IPI). Direktori Penelitian Agama, Konflik, dan Perdamaian. Jakarta: KOMNAS HAM, 2005.
Jurnal Gerbang. No.13,Vol.5.“Studi tentang Studi Agama”. Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (eLSAD): Surabaya, Oktober 2002-Januari 2003.
Sharot, Stephen. A Comparative Sociologi of World Religions. New York: New York University Press, 2001.
[1] Keith Ward lahir di Hexham, Inggris pada 22 Agustus 1938. Ward mendalami soal hubungan antara sains dan agama. Beberapa karyanya adalah More Than Matter: What Humans Really Are (2010), The Big Questions in Science and Religion (2008) Religion and Human Nature (1998), Religion and Community (2000), dll.
[2] Ward, Keith. Is Religion Dangerous?. Oxford : Lion Hudson PLC, 2006.
[3] “Organised sets of institution, which usually have professional spokespeople for setting out what they belived and for conducting various ritual practices involved in their beliefs”. Keith Ward, Is Religion Dangerous?, William B. Erdmans Publishing Company: Michigan, 2007, hlm. 27
[4] Ward, hlm. 8-9. The Shorter Oxford English Dictionary mengartikan agama sebagai “belief in or sensing of some superhuman controlling power or powers, entitled to obedience, reverence or worship, or in system defining a code of living, especially as a means to achive spiritual or material improvement”.
[5] Paul Johannes Tillich (20 Agustus 1886 – 22 Oktober 1965) adalah seorang teolog Jerman-Amerika dan seorang filsuf eksistensialis Kristen . Bersama dengan Karl Barth yang hidup sezaman dengannya, Tillich adalah salah satu teolog sistematika Protestan yang paling berpengaruh pada abad ke-20.
[6] Ward, hlm. 32.
[7] Dalam laporan Komisi Intelijen Bersama yang dibuat Menteri Dalam Negeri Inggris pada bulan April 2006, penyebab-penyebab utama bagi keanggotaan organisasi-organisasi teroris tidak satu pun yang menjadi penyebab religius. Mereka bersekutu dengan Islam melalui hubungan-hubungan yang tidak masuk akal. Penyerbuan terhadap Saddam Hussein dan kekuasaannya (non-religius) disamakan dengan penyerbuan terhadap Islam; hal ini dilihat sebagai dukungan Israel menyerang orang-orang Palestina dan memusuhi orang-orang Muslim pada umumnya; diskriminasi terhadap para imigran disamakan dengan diskriminasi terhadap orang-orang Muslim (Ward, hlm. 35).
[8] Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang terjadi karena pasukan tentara Arab telah menyapu bersih negeri-negeri Mediteranean sebelah timur pada periode 1095 – 1291; tujuannya untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13 (Ward, hlm.68)
[9] Selain mengutuk riba, Konsili Lateran III 1179 (Gereja Katolik Roma) juga menetapkan aturan: bahwa yang berhak memiliki paus hanya para kardinal, melarang praktik simoni (praktik jual-beli jabatan religius), mengutuk Albigenses dan Waldenses, melarang pengangkatan uskup yang belum berusia 30 tahun (Keith Ward, hlm.50)
[10] Secara umum isi Syllabus are summed up in the headings of the ten paragraphs, under which, the eighty theses are grouped. dari Silabus yang terdiri dari delapan puluh tesis itu dapat dikelompokkan dalam sepuluh bagian. They are: Pantheism , Naturalism , Absolute Rationalism (1-7); Moderate Rationalism (8-14); Indifferentism and false Pengelompokannya adalah: I- Panteisme, Naturalisme, dan Rasionalisme mutlak (1-7), II- Rasionalisme Moderat (8-14), III -Sikap acuh tak acuh, latitudinarianism (15-18), IV-Sosialisme, Komunisme , V- Mengenai Gereja dan haknya (19-38), VI- Tentang Masyarakat Sipil (39-55), VII- Etika Kristen dan Hukum Alam (56-64), VIII-Mengenai Perkawinan Kristen (65-74), IX-Mengenai Kekuasaan sipil dari Paus (75-76), X-Liberalisme Modern (77-80).
[11] Untuk pernyataan-pernyataan Konsili Vatikan II, lihat Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristen, dan Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, dalam Documment of Vatican Council II, ed. Austin Flannery, Dublin, Dominican Publications, 1992. (Ward, hlm. 201)
[12] Sayyid Qutb, Milestones on The Road , 1965, dipublikasikan tahun 2006 dalam bahasa Inggris oleh Penerbit Maktabah. ( Ward, hlm. 201).
[13] Ward, hlm. 56.
[14] Ward, hlm. 57.
[15] Ward, hlm. 64.
[16] Pada awal pertengahan abad ke-20 kebijakan-kebijakan Komunis, secara eksplisit anti-agama, bertanggung jawab atas kematian jutaan orang di negaranya sendiri. Diperkirakan di Uni Soviet 20 juta orang dibunuh, di Cina 65 juta orang, di Korea Utara 2 juta orang, dan di Kamboja 2 juta orang – pemerintah-pemerintah Komunis memusnahkan penduduknya sendiri. Secara politis menurut Ward, inilah yang memotivasi pemusnahan-pemusnahan; agama bukanlah faktor utama.
[17] David Martin, Does Christianity Cause War? Oxford, Claredon, 2002. (Keith Ward, hlm. 201)
[18] “markers of identity, whatever they are, provide in special definable circumstances the preconditions of conflict”. Ward, hlm.78.
[19] “conflict is likely where the minority religion is found among an etnic and/or linguistic group which occupies a peripheral territory, which has a sizeable power base, and can call upon allies across the border”. Ibid.
[20] Misalnya Al Qaeda. Menurut Ward, kelompok Al Qaeda mengabdikan diri dengan menggunakan kekerasan bagi semua orang, tanpa pandang bulu, dengan teror yang mengerikan demi mencapai tujuannya. Para anggota dan simpatisan tidak menganggap mereka jahat. Mereka menganggapnya sebagai kekuatan demi terwujudnya keadilan di dunia yang sungguh tidak adil, dan kekuatan demi kebenaran dalam menghadapi ateisme dan nihilisme Barat.
Comments
Post a Comment