APAKAH KEYAKINAN RELIGIUS IRASIONAL DAN AMORAL?

A. Pengantar

Tulisan ini sebenarnya adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya “AGAMA DAN KEKERASAN”. Seperti tulisan terdahulu,  tulisan ini juga memiliki latar belakang yang sama. Semua berawal dari perkenalan saya dengan Keith Ward[1] melalui bukunya Is Religion Dangerous?[2], yang kurang lebih artinya “benarkah agama berbahaya?.”  Beberapa bab dalam buku setebal 206 halaman tersebut, menurut hemat saya mengulas cukup dalam soal agama yang sering dicurigai irasional dan amoral.

Tulisan ini, akan menjawab dua pertanyaan pokok. Pertama, apakah keyakinan religius irasional? Kedua, apakah keyakinan religius amoral? Pertanyaan pertama lahir dari pengandaian bahwa keyakinan religius tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, jadi irasional atau tidak masuk akal. Pertanyaan kedua berangkat dari pengandaian bahwa teks Kitab Suci agama-agama menganjurkan kekerasan, jadi amoral atau tidak bermoral.

Oleh karena itu, keseluruhan pembahasan dibawah ini akan memeriksa kesahihan dari klaim-klaim di atas. Akan ditunjukkan benarkah mekanisme ilmiah dengan segala hukum-hukumnya menjadi tolok ukur rasional dan tidaknya sesuatu. Jangan-jangan klaim itu terlalu arogan, mengingat  mekanisme kerja ilmiah begitu terbatas pada fenomena-fenomena yang tampak, sehingga tidak sampai menyentuh kedalaman keyakinan-keyakianan kita yang tidak kasat mata, tetapi sungguh-sungguh ada dan memainkan peranan yang tak tergantikan dalam hidup manusia.


apakah agama irasional amoral?


Kecuali itu, akan ditunjukkan benarkah Kitab Suci agama-agama, khususnya teks-teks yang berbicara tentang kekerasan menciutkan moralitas. Atau, jangan-jangan klaim itu terlalu naif mengingat  mendekati sebuah teks Kitab Suci tidak bisa menggunakan logika pendek dan sempit. Sebuah teks punya konteks pada jamannya dan tidak bisa ‘dicabut’ begitu saja dan dibaca dengan kaca mata dan pemahaman sekarang.

Selain dua pertanyaan pokok di atas, pembahasan berikut diperkaya dengan subtema lain yang tentunya masih bertalian yakni, keyakinan akan kehidupan setelah mati dan hubungan antara moralitas dan iman atau keyakinan religius. Dan di akhir pembahasan nanti akan ada rangkuman singkat.       

B. Iman dan Akal Budi

1. Keyakinan Dasar

Menurut Ward salah satu alasan yang sering dipakai untuk menyerang agama sebagai berbahaya adalah anggapan bahwa agama merupakan keyakinan yang irasional. Karena irasional, agama berbahaya bagi kebenaran dan rasionalitas. Menerima begitu saja otoritas keyakinan yang tidak masuk akal.

Berhadapan dengan pernyataan-pernyataan di atas, Ward mempertanyakan apakah memang keyakinan religius itu benar-benar irasional, kabur, dan jelas-jelas salah. Adakah sesuatu seperti keyakinan religius yang masuk akal? Ward menegaskan bahwa ada keyakinan religius yang sungguh masuk akal.

Ward berpendapat bahwa kritikan irasional terhadap agama terjadi karena kekeliruan berpikir para pengkritik agama itu sendiri. Beberapa kritikus agama berpikir bahwa tolok ukur sebuah keyakinan rasional adalah bahwa keyakinan itu dapat dikonfirmasikan dengan metode-metode ilmiah; dengan observasi, ukuran, dan eksperimen-eksperimen. Jika hanya pernyataan-pernyataan yang dapat diuji secara ilmiah itu masuk akal, kemudian pernyataan ini (“hanya pernyataan yang dapat diuji secara ilmiah itu masuk akal”) tidak masuk akal. Maka, pernyataan ini salah[3].

Menurut Ward, banyak keyakinan terpenting yang kita miliki dalam hidup ini tidak dapat diuji secara ilmiah, tetapi kita masih menghidupi keseluruhan hidup kita karena keyakinan-keyakinan itu. Sebut saja keyakinan seseorang akan sejarah hidupnya sendiri. Apakah dia memiliki bukti ilmiah bahwa orang tuanya mencintai dia, apakah teman-temannya mengasihi dia, apakah jenis musik tertentu sangat berharga bagi dia, apakah dia bisa mempercayai orang-orang disekitarnya. Kembali lagi kata Ward, ada ribuan hal yang kita percayai itu tidak dapat diuji secara ilmiah, tetapi hal-hal itu sungguh masuk akal- meski beberapa hal didasarkan pada ketidaktahuan atau prasangka.

Kedalaman Ward dalam merefleksikan keyakinan-keyakinan ini tergambar dari penuturannya berikut:
           
“Saya tidak dapat memikirkan aturan umum yang akan dikatakan kepada saya mengenai apa yang membuat keyakinan ini masuk akal, atau saya berhak mempertahankan keyakinan ini. Saya tahu bahwa beberapa keyakinan sangat mendasar bagi hidup saya sehingga menjadi nada kunci dari keseluruhan pandangan hidup saya. Jika keyakinan ini hancur, saya menadi pribadi yang sangat berbeda. Saya tidak memiliki bukti nyata, tetapi keyakinan ini menjadi dasar bagaimana saya berpikir dan bertindak…”[4].
           
Demikianlah keyakinan dasar yang tidak terbukti bila diteropong dengan observasi ilmiah tutur Ward. Tetapi, sejatinya keyakinan itu ada dan kita hidupi. Jadi sangatlah keliru bila keyakinan agama-agama dituduh tidak rasional. Mekanisme kerja ilmiah begitu terbatas pada fenomena-fenomena yang tampak, sehingga tidak sampai menyentuh kedalaman keyakinan-keyakianan kita yang tidak kasat mata tetapi sungguh-sungguh ada dan memainkan peranan yang tak tergantikan dalam hidup manusia.   

2. Tiga Pandangan Dunia

Tuduhan irasional terhadap agama menurut Ward sebenarnya tidak tanpa alasan. Para kritikus agama sebenarnya berangkat dari satu titik tertentu. Titik itu  adalah visi atau pandangan yang mereka punya terhadap dunia. Kalau para kritikus ini berdiri disatu titik tertentu, orang-orang beragama persis berada di titik lain yang berseberangan. Oleh karena itu, Ward membagi pandangan terhadap dunia menjadi tiga. Masing-masing: apa yang tampak, materialisme, dan idealisme[5]

a  a.  Apa yang Tampak
Menurut Ward, pandangan ini meyakini bahwa segala sesuatu itu ada sebagaimana mereka tampak atau apa adanya mereka tunjukkan dirinya kepada kita. Kita menemukan apa yang nyata dalam hidup ini dengan melihat, menyentuh, mencium atau merasakan sesuatu. Menurut pandangan ini, penemuan dan penelitian ilmiah menghancurkan realitas itu sendiri. Objek-objek alamiah dipakai untuk menampakkan pengertian kita tentang realitas, sedangkan realita utamanya sangat berbeda.  Apa pun adanya  realita tidak tampak pada pengertian, dan kita tidak menemukan apa yang nyata dengan melihat dan menyentuh segala sesuatu.

b.      Materialisme
Menurut Ward, materialisme merupakan pandangan yang meyakini bahwa kita menemukan apa itu kenyataan dengan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan, khususnya fisika-dengan teori-teori yang sangat abstrak dan akal sehat, bukan dengan pengertian. Pertimbangan materialisme menurut Ward, sangat reduktif. Materialisme mereduksi realitas ke suatu jenis bahan – zat, energi.
Menurut Ward, kesadaran dan isi kesadaran (logika, perasaan, intense-intensi) tidak bisa diterjemahkan ke dalam terminologi yang sungguh-sungguh fisik. Secara sederhana dapat dikatakan realita ala materialisme terlalu ‘kurus’. Kompleksitas realita itu sendiri dikebiri sehingga menjadi begitu sederhana. Tentu saja di sini menurut Ward tidak ada tempat untuk dimensi spiritual yang jelas-jelas menjadi bagian sentral dari pengalaman manusia.

c. Idealisme
Pandangan dunia yang ketiga adalah idealisme. Pandangan ini menurut Ward beranggapan bahwa karakter realita yang fundamental adalah kesadaran atau pikiran. Kesadaran tidak hanya dihasilkan oleh otak semata, seperti pemikiran materialis. Sebaliknya, otak dan tubuh merupakan tampilan, bentuk-bentuk materi dari realita mental yang utama. Idealisme menghitung sepenuhnya eksistensi dan kesadaran manusia, perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman unik pribadi tutur Ward. Berbeda dari materialisme, idealisme menyediakan dasar bagi pengalaman dan keyakinan spiritual, tanpa mereduksinya pada ilusi-ilusi.

C. Pengaruh Pandangan Dunia

Ketiga pandangan dunia di atas merupakan konsep-konsep yang dipakai untuk menginterpretasikan pengalaman manusia. Dengan mengangkat butir-butir itu, Ward mau menganalisa dan memetakan posisi kritik-kritik agama dalam keseluruhan peta pengalaman.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa dibalik serangan yang sering dilontarkan kritikus agama dan dibalik pilihan beberapa orang untuk memegang teguh iman tertentu ternyata ada visi atau pandangan tertentu yang melatarbelakanginya. Pandangan-pandangan dasar itu acap kali berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Menurut Ward, pada umumnya pandangan-pandangan agama cenderung mengarah kepada idealisme dan kritik-kritik agama umumnya lahir dari pandangn materialis[6]. Banyak serangan yang ditujukan pada agama didasarkan pada keyakinan bahwa idealism itu salah. Tidak ada dimensi spiritual atas realita. Pada titik ini kita bisa mengerti mengapa kritikus agama dan orang-orang beragama sama-sama ngotot mempertahankan posisi masing-masing.

D. Kehidupan Setelah Mati         
1. Apakah Keyakinan Akan Kehidupan Setelah Mati Berbahaya

Tema di atas sebenarnya sebuah kesangsian yang pada akhirnya mempertanyakan kembali pertanyaan kunci Ward, apakah memang keyakinan religius atau agama itu berbahaya. Posisi Ward sampai saat ini tetap konsisten bahwa keyakinan religius pada dasarnya tidak berbahaya. Bahwa ada beberapa keyakinan religius tertentu yang merasa membela Allah dan mendapat ganjaran di akhirat karena membunuh orang lain dengan cara-cara yang brutal tetap tak terbantahkan. Tetapi, yang harus dicatat adalah jumlah kelompok ini sangat sedikit dan keyakinan mereka sama sekali tidak mewakili iman dari agama besar manapun. Sudah ditegaskan dalam pembahasan terdahulu bahwa sering sekali masalah mereka berkaitan soal-soal nonreligius (ketidak puasan ekononomi, politik) dan agama diperalat untuk tujuan-tujuan itu.

Sayangnya generalisasi dari beberapa pihak (para kritikus agama) menurut Ward, serta merta mencap keyakinan akan akhirat selalu berbahaya dan tidak berguna. Mereka menuduh keyakinan akan kehidupan setelah mati membuat orang tidak memperhatikan apa yang terjadi dalam hidup ini, sekarang dan di sini, sehingga tidak masalah apa yang seseorang lakukan terhadap yang lainnya.
Di hadapan kritik-kritik semacam ini Ward mengajukan beberapa tanggapan. [7]

  1. Keyakinan akan adanya kehidupan setelah mati memberikan harapan yang kuat bagi semua orang akan adanya masa depan yang penuh bahagia. Kebahagian itu adalah tinggal bersama Allah yang penuh Kasih. Keyakinan ini membuat orang optimis dan bersikap positif dalam hidup karena mereka tahu hidup ini tidak berakhir dengan sia-sia.
  2. Keadilan. Adanya kehidupan setelah mati memungkinkan orang untuk berharap mendapatkan keadilan, yang seadil-adilnya dari Sang Maha Adil atau Tuhan sendiri. Dalam hal ini ada ganjaran untuk yang baik dan hukuman untuk yang jahat. “If you die while killing the innocent, this will entail punishment…”.
  3. Dengan keyakinan akan kehidupan setelah kematian dalam agama-agama, dengan sendirinya agama menarik orang ke hidup yang lebih baik dan membebaskan mereka dari kemungkinan untuk hidup dalam kedengkian dan egoistis.
Dari ketiga butir di atas, nampak sekali bahwa keyakinan religius akan kehidupan setelah mati sangat positif dan sama sekali tidak berbahaya. Dengan ini Ward membuktikan kalau tuduhan berbahaya yang dilontarkan kepada agama tidak benar.

2. Kehidupan Setelah Mati Sebagai Motivasi Bagi Moralitas 

Menurut Ward, ajaran mengenai kehidupan setelah mati khusunya hukuman yang dikenal dengan ‘neraka’ (hell) tidaklah bertujuan untuk menakut-nakuti orang. Ajaran mengenai neraka seharusnya tidak terpisah, melainkan berjalan bersama dengan ajaran mengenai pengampunan Allah yang tanpa syarat bagi semua orang yang percaya kepadaNya, dan kasih Allah yang tak terbatas bagi semua manusia.

Menurut Ward, ajaran mengenai kehidupan setelah mati  mendorong orang untuk maju dalam melakukan kebaikan dan kebajikan dalam hidup. Pilihan-pilihan yang dibuat seseorang dalam bertindak dan bertutur kata sungguh-sungguh lahir dari keputusan hati nuraninya. Jika orang itu percaya akan adanya Tuhan dia tidak mau sembarangan (sekurang-kurangnya itu berupa komitmen), karena dia tahu akan terjadi sesuatu pada dirinya setelah mati. Doktrin akan kehidupan setelah mati membuat orang takut hidup dalam kejahatan dan bahkan memberi pengharapan akan pengampunan.

Menurut Ward, jauh dari tujuan untuk menakut-nakuti, keyakinan akan kehidupan setelah mati memberikan motivasi bagi orang untuk berbalik dari cara hidup yang kurang baik ke cara hidup yang lebih baik; keberanian bagi orang-orang yang takut, konsolasi bagi orang yang kehilangan, dan harapan bagi orang yang putus asa.

E. Moralitas dan Kitab Suci

Beberapa pembahasan di atas sedikit banyak sudah menjawab satu masalah besar yang dipersoalkan, yaitu apakah keyakinan religius irasional. Jawabannya cukup jelas bahwa keyakinan religius sangat rasional. Pada bagian ini dan berikutnya nanti akan berusaha menjawab satu masalah yang tersisa yaitu, apakah keyakinan religius amoral. Perlu dijelaskan bahwa untuk menjawab pertanyaan yang masih tersisa di atas, Ward tentu mulai dari lingkungan yang paling dekat dengan dirinya. Karena Ward seorang Kristen, dalam mendekati persoalan ini ia menggunakan sudut pandang Kristen.

1. Masalah Aturan Moral Kuno dalam Perjanjian Lama

Menurut Ward, aturan moral religius  yang terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama telah membuat beberapa orang berpendapat bahwa keyakinan religius sebenarnya tidak bermoral. Kesimpulan ini mereka ambil secara sepihak setelah  membaca beberapa ayat tertentu dan menerima aturan moral itu secara membabi buta. Sebagai contoh mungkin ditemukan dalam Kitab Ulangan, 20: 16, “Tetapi dari kota-kota bangsa itu yang diberikan Tuhan Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan hidup apa pun yang bernapas, melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus.”

Benarkah, ayat seperti di atas membuktikan bahwa benar keyaninan religius tidak bermoral? Ataukah, ada pembacaan yang salah, sehingga secara membabi-buta teks-teks seperti itu dikeluarkan dari konteksnya dan digunakan sesuai dengan kepentingan pemakainya? Persoalan ini didekati oleh Ward dengan memakai beberapa pertimbangan berikut[8].      
  1. Larangan di atas hanya berlaku untuk kota-kota Kanaan yang berperang melawan orang Israel dan tidak menyerah dengan damai.
  2. Para budak dan harta milik musuh tidak dirampas untuk kepentingan pribadi.
  3. Sebenarnya, aturan-aturan umum untuk berperang dalam kitab Taurat melarang adanya serangan-serangan pendahuluan agar kaum perempuan, anak-anak, dan hewan tidak dibunuh, serta pepohonan buah-buahan tidak dirusak.
  4. Sejarah Israel kemudian, misalnya pengusiran dari wilayah-wilayahnya pada 132 M mengubah banyak aturan perang di Kanaan kuno.
  5. Kebanyakan ahli Kitab Suci berpikir bahwa ‘Larangan’ ditulis lama setelah masuknya orang-orang Israel ke Kanaan, dan ini adalah versi imaginer dari pendudukan wilayah, yang memuji kekuatan orang Israel. Aturan seperti ini tidak pernah dipraktikkan.
  6. Pada saat ditulis larangan ini sudah kedaluwarsa. Jadi tidak pernah menjadi petunjuk perang aktual bagi orang Yahudi, dan sudah dibatalkan oleh perintah-perintah lain dari Taurat, seperti perintah “mata ganti mata”, yang membatasi ganti rugi sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Pertimbangan-pertimbangan Ward di atas, memperlihatkan bahwa mendekati sebuah teks Kitab Suci tidak bisa menggunakan logika pendek dan sempit. Sebuah teks punya konteks pada jamannya dan tidak bisa ‘dicabut’ begitu saja dan dibaca dengan kaca mata dan pemahaman sekarang. Sampai di sini tuduhan amoral terhadap agama terlihat sangat lemah.

2. Sikap terhadap Teks Biblis Kuno

Sudah dikemukakan di atas bahwa berhadapan dengan teks biblis tidak bisa melakukan pendekatan harafiah. Menurut Ward, paling tidak ada tiga sikap dasar religius yang dapat diambil dari aturan biblis dan aturan lain seperti yang terdapat dalam Perjanjian Lama[9].

Pertama. Aturan-aturan tersebut merupakan contoh-contoh sikap moral sederhana, yang diproyeksikan ke imajinasi masa lalu, yang sangat aneh kalau dipraktikkan, dan saat ini sudah kedaluwarsa. Dalam hal ini Kitab Suci sejajar dengan perkembangan moral yang terjadi pada kebanyakan masyarakat manusia. Kitab Suci menunjukkan proses refleksi moral yang berkelanjutan sehingga jauh lebih maju dari kebanyakan masyarakat saat ini.
Kedua. Allah sungguh-sungguh memberikan perintah seperti ini, tetapi diberikan kepada orang-orang yang tingkat pengenalan akan siapakah Allah masih sangat dangkal atau sederhana, dan diberikan dalam situasi unik atau luar biasa, yaitu penaklukan Kanaan. Perintah ini sekarang sudah kedaluwarsa, dan harus dilihat dalam konteks sejarah yang panjang dari komentar dan refliksi rabinis.

Ketiga. Larangan ini mengekspresikan beberapa persepsi tentang kehendak Allah dalam situasi konkrit yang mereka hadapi. Dalam penyerahan diri yang total kepada Allah, orang Israel mau mencari apa yang dikehendaki Allah saat itu atas musuh-musuh mereka dan diri mereka sendiri.

Bagi Ward, ketiga butir di atas  memperlihatkan bahwa adanya perkembangan pemahaman orang Israel tentang siapakah Allah dari waktu ke waktu. Awalnya Allah dipahami sebagai Allah yang berperang melawan suku-suku asing, yang memimpin Israel menuju kemenangan, dan yang hidup di antara banyak allah lain (“Raja yang besar mengatasi segala allah”—Mzm 95:3).  Baru kemudian, Allah dipahami sebagai satu-satunya Allah yang benar, pencipta segala sesuatu, yang ada demi keadilan universal.

Sampai di sini, makin jelas kelihatan bahwa aturan-aturan khusus dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, harus dibaca dalam terang pandangan-pandangan moral yang berkembang kemudian yang ditemukan dalam Kitab Suci itu sendiri, yang membuatnya kedaluwarsa atau mentransformasi interpretasinya. Dengan demikian secara pelan tapi pasti serangan amoral terhadap agama tidak bisa dipertanggungjawabkan.

4. Bahasa Biblis mengenai Allah

Dengan membahas bahasa biblis mengenai Allah, Ward mau secara lebih detil menunjukkan bagaimana pilihan kata dan gaya bahasa dalam teks Kitab Suci tidak bisa ‘ditelan’ begitu saja. Deretan kata dan kalimat yang tertulis sarat dengan muatan sastra tertentu dan lahir dari suatu tradisi yang panjang.

Yang tidak dimengerti oleh banyak orang menurut Ward adalah, Kitab Suci berbicara dengan kiasan yang hidup mengenai Allah sehingga tidak deterima sebagai rumusan harafiah. Ketika Allah dikatakan menikmati aroma persembahan yang baik, tidak berarti bahwa Allah memiliki lubang hidung, dan secara harafiah bernapas dengan aroma daging bakar. Apa yang diekspresikan dalam gambar-gambar seperti ini menurut Ward adalah, Allah dipuaskan ketika manusia menunjukkan komitmennya untuk menghormati Dia, dan persembahan-persembahan itu adalah lambang persembahan diri kepada Allah.

Berbicara mengenai Allah secara metaforis menurut Ward, merupakan cara mengatakan apa yang seharusnya dilakukan orang-orang dan bagaimana mereka melihat hidupnya dalam konteks realita tertinggi tentang kebaikan utama. Banyak antropomorfisme telah dipakai oleh para penulis Kitab Suci dalam sejarah panjang penulisan Kitab Suci itu sendiri. Semua ini cara mengatakan apa yang mereka yakini tentang siapapakah Allah yang begitu besar itu.

Sampai di titik ini, Ward berhasil menunjukkan bahwa deretan kata dan kalimat dari ayat-ayat Kitab Suci bukanlah susunan kalimat biasa yang secara sambil lalu bisa dibaca seperti membaca koran. Di dalamnya ada kisah pengalaman iman yang terjadi selama ribuan tahun. Berisi berbagai refleksi dan persepsi orang beriman tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang dikehendaki Allah dalam hidup mereka. Kisah-kisah ini berisi banyak persepsi sederhana dan tidak sempurna, tetapi ada transformasi terus menerus yang lebih dalam dilakukan oleh generasi-generasi sesudahnya.       

Oleh karena itu, menyimpulkan isi Kitab Suci berdasarkan pembacaan harafiah merupakan suatu kesalahan besar. Pembacaan yang salah seperti ini tentulah tidak membatalkan kebenaran Kitab Suci sebagai sumber nilai-nilai moral tertinggi bagi orang-orang yang beriman, dan bukan sebaliknya.

F.   Hukum Religius dan Interpretasinya

Menurut Ward, hukum agama-agama tidak bisa tidak terbuka terhadap interpretasi baru sesuai dengan kebutuhan jaman yang terus berubah. Agama tidak bisa berambisi untuk memecahkan masalah-masalah moral dengan mengutip hukum-hukum Kitab Suci yang kuno. Diperlukan penilaiaan yang sensitif, interpretasi yang seimbang dan kesepakatan baik untuk membuat keputusan dalam mengaplikasikan prinsip-prinip dasar moral terhadap situasi-situasi khusus.

Ward melihat, entah norma-norma moral Kristen (yang didasarkan pada pemahaman tentang kehidupan dan ajaran Yesus), atau hukum-hukum Taurat dan Syariah bagi orang Yahudi dan Islam, semuanya memerlukan argumen yang masuk akal untuk menginterpretasikan hukum dalam situasi-situsi baru. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa  dalam agama-agamaperintah dan larangan hukum jarang diterima secara harafiah, dan berbagai tradisi interpretasi yang ada mengizinkan adanya ruang besar kesepakatan untuk pembuatan keputusan moral yang kreatif.

Menurut Ward, kebanyakkan moralitas religius tidak tergantung pada ketaatan buta terhadap beberapa teks kuno yang ditulis. Yang terpenting adalah, interpretasi dan aplikasi dari prinsip-prinsip moral religius itu sendiri yang terkadang hanya implisit dalam Kitab Suci masing-masing agama, tetapi perlu dirumuskan dengan cara baru dalam situasi baru. Untuk sampai pada titik ini diperlukan proses-proses yang kompleks; melibatkan semua informasi dari Kitab Suci dan pemahaman yang berkembang terus menerus tentang persoalan manusia, dunia, dan alam. Meski ada sekte atau aliran religius tertentu menurut Ward, yang mengaplikasikan teks-teks kuno secara harafiah terhadap kondisi dunia modern, aliran-aliran ini tidak mewakili tradisi agama-agama besar dunia. Jauh dari bahaya yang dipikirkan, moralitas religius diakui telah menjadi sumber berharga bagi pemikiran moral di dunia dewasa ini. Walau pun pemikiran moral religius perlu terus menerus dikoreksi , itu tidak berarti keyakinan religius tidak bermoral.

G. Moralitas dan Iman

Bagian ini mau mempertanyakan apakah moralitas bisa berdiri tanpa iman. Apakah orang mesti beragama dulu supaya bermoral, ataukah, panggilan untuk bermoral itu begitu melekat pada kodrat manusia sehingga siapapun bisa melakukan kebajikan-kebajikan moral tanpa harus percaya pada keyakinan agama manapun? Andaikan orang bisa bermoral tanpa harus beriman, lalu apa peran iman dalam perilaku moral seseorang?

1. Iman sebagai Pendorong Moralitas

Ward melihat bahwa agama sama sekali tidak relevan bagi moralitas. Mereka mati-matian meyakini bahwa moralitas tidak tergantung sedikit pun pada iman religius. Padahal menurut Ward, ada hubungan penting antara keyakinan religius dan moral. Beberapa bentuk keyakinan religius memberikan pembenaran yang lebih kuat untuk beberapa bentuk keyakinan moral daripada keyakinan nonreligius. Dengan kata lain moralitas dalam arti tertentu sangat bergantung pada keyakinan religius, meskipun ketergantungan ini tidak bersifat total.

Menururut Ward, yang menjadi istimewa dalam iman religius adalah moralitas itu bersifat transendental. Artinya cita-cita akan  kebaikan, kebajikan, empati, dan semua kebajikan moral lainnya, berakar dalam realita pribadi Allah yang transenden.  Perjuangan dan kerja keras seorang beriman untuk mewujudkan komitmen moralnya (berupa perbuatan-perbuatan baik) diwarnai oleh kehadiran Allah. Di sana Allah mendorong, meyakinkan, dan menguatkan dia serta memberi kepastian bahwa apa yang orang itu lakukan tidak akan sia-sia.

Bagi orang beriman, tindakan moral lebih dari sekedar menjadi otentik. Bagi para penganut agama, moralitas ini personal dan dalam batin, bagian dari relasi yang mentransformasi tanggung jawab dan kasih kepada Pencipta. Moral lebih dari masalah kaidah sosial. Orang beriman melakukan apa yang benar sebab dikuasai oleh visi tentang pribadi Allah sebagai kebaikan tertinggi. Bagi mereka, melakukan kebaikan berarti melaksanakan kehendak Allah sendiri. Kehendak Allah ditaati sebab melakukan kehendakNya merupakan kegembiraan terbesar dalam hidup dan menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan.

Pandangan seperti di atas sekaligus mempunyai daya motivasi dan koreksi. Bila pada suatu saat seseorang secara mental merasa lelah dan jenuh karena segala perbuatan baiknya tidak mengubah apa-apa atau malah mendatangkan kerugian bagi dirinya, ada Allah yang hadir di situ dan menyemangati dia kembali. Selain itu, bila pada kesempatan lain seseorang menyeleweng, di situ ada Allah yang menegur dia melalui suara hatinya.
Dari uraian di atas, tidaklah berlebihan untuk mengakui bahwa keyakinan religius dalam arti tertentu memberikan pembenaran yang lebih kuat untuk beberapa keyakinan moral tertentu daripada keyakinan nonreligius. Dihadapan keterbatasan mental dan emosional manusiawi keyakinan nonreligius tidak bisa berbuat banyak untuk membantu orang kembali pada komitmen moralnya.

2. Nilai Moralitas Non-religius

Di bagian terdahulu, Ward sudah menegaskan bahwa keyakinan religius memberikan pembenaran yang lebih kuat untuk beberapa keyakinan moral daripada keyakinan nonreligius. Penegasan ini sama sekali tidak berarti, tanpa agama orang tidak bisa bermoral, atau orang harus menjadi religius supaya bisa  bermoral. Juga, tidak berarti orang religius lebih bermoral daripada orang nonreligius.

Ward tidak ragu-ragu bahwa moralitas dapat hidup tanpa iman[10], tanpa agama.   Kebanyakan manusia memiliki pemahaman moral yang alami. Setiap orang dapat membuat keputusan moralnya sendiri yang lahir dari empati atau rasa iba alami. Jadi, setiap orang tanpa kecuali bisa bermoral.

Ward menganggap pendapat psikologi evolusioner[11] terlalu berlebihan dengan hipotesis bahwa pengertian manusia tentang kewajiban moral, atau suara hati, tidak lebih dari tekanan atau keyakinan yang diprogram secara genetikal. Ward berkeyakinan, bahwa moralitas memiliki dasar yang lebih kuat pada kodrat manusia, lebih dari sekedar keinginan belaka. Artinya, bagi banyak orang keadilan sosial, kebenaran, dan altruisme sejati, merupakan nilai-nilai yang harus dikejar dalam hidup. Secara objektif dalam diri setiap orang ada cita-cita tentang kebenaran, kebaikan.
Sampai di sini tidak ada masalah dengan moralitas nonreligius. Kenyataan dilapangan juga membuktikan kalau tidak sedikit orang yang tidak beragama menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Lalu apa yang membedakan moralitas nonreligius dari moralitas religius?

Dari uraian Ward, bisa disimpulkan bahwa perbedaannya tidak terletak pada tataran praktis, tetapi pada tataran ideologis. Di level praktis tidak ada bedanya seorang ateis yang menolong orang yang kecelakaan di jalan dan seorang religius yang mengembalikan dompet yang jatuh ke pemiliknya. Kedua tindakan itu sama-sama bermoral dan tidak relevan mempertanyakan perbedaan keduanya. Pada level praktik keduanya sama saja. Tidak ada yang lebih atau kurang bermoral. Mempertanyakan motivasi di balik tindakan-tindakan tersebut baru relevan. Karena pasti tidak sama. Inilah level ideologis. Yang ateis mungkin terdorong oleh rasa kemanusiaan. Lebih dari sekedar rasa kemanusiaan, yang religius mungkin melihat peristiwa itu sebagai momen untuk mengasihi sesama karena sudah terlebih dahulu mengalami pengalaman dikasihi oleh Allah.

Oleh karena itulah, Ward mengatakan bahwa moralitas nonreligius dibangun di atas tanah yang mudah bergeser[12]. Tanpa mengecilkan apalagi menyalahkan moralitas nonreligius, bagi Ward moralitas nonreligius kurang mendalam. Visi serta kekuatan moralitas hanya didasarkan pada keyakinan akan objektivitas kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keadilan. Mengikuti Erasmus, Ward berkeyakinan bahwa “humanisme (keyakinan akan martabat dan keunikan nilai personal) yang diusung kaum nonreligius, tidak bertahan hidup tanpa beriman kepada pribadi Allah yang memberikan martabat dan harapan kepada umat manusia”[13].       

H. Rangkuman

Dari pemaparan-pemaparan di atas beberapa hal kiranya perlu ditegaskan kembali.  Pertama, menurut Ward keyakinan religius sangat rasional. Rasional atau masuk akal karena apa yang diyakini dalam agama-agama terbukti keberadaannya dalam pengalaman konkrit hidup manusia sehari-hari. Orang-orang beragama mengalami bagaimana Allah yang mereka imani itu hadir dan memberi makna atas seluruh keberadaan hidup mereka. Apabila ada tuduhan ‘irasional’ terhadap agama, itu karena kesempitan dalam berpikir. Sebagaimana sudah diperlihatkan Ward bahwa  tuduhan seperti itu biasanya terjadi karena ada mindset atau pola pikir tertentu yang dianut oleh kelompok tertentu. Kelompok seperti itu meyakini bahwa kita menemukan apa itu kenyataan dengan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan, khususnya fisika-dengan teori-teori yang sangat abstrak dan akal sehat, bukan dengan pengertian,  dan parahnya kelompok ini memaksa semua orang untuk melihat dunia ini melalui kaca mata mereka (cara pandang seperti itu oleh Ward disebut materialism). Sampai di sini, tuduhan irasional kepada agama tidak benar. 

Kedua, menurut Ward keyakinan religius sangat bermoral atau mendukung moralitas. Tuduhan amoral kepada agama terbukti sangat lemah. Menyerang agama dengan mengangkat teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan, terbukti sangat naif karena teks-teks itu diperlakukan sewenang-wenang atau dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Menurut Ward teks-teks itu tidak sesederhana dilihat, artinya tidak bisa dibaca secara harafiah saja. Sebuah teks punya konteks pada jamannya dan tidak bisa ‘dicabut’ begitu saja dan dibaca dengan kaca mata dan pemahaman sekarang.

Menurut Ward, teks biblis kuno yang berbicara tentang kekerasan sebaiknya dipahami sebagai berikut. Pertama, aturan-aturan tersebut merupakan contoh-contoh sikap moral sederhana, yang diproyeksikan ke imajinasi masa lalu, yang sangat aneh kalau dipraktikkan, dan saat ini sudah kedaluwarsa. Kedua, Allah sungguh-sungguh memberikan perintah seperti ini, tetapi diberikan kepada orang-orang yang tingkat pengenalan akan siapakah Allah masih sangat dangkal atau sederhana, dan diberikan dalam situasi unik atau luar biasa, yaitu penaklukan Kanaan. Perintah ini sekarang sudah kedaluwarsa, dan harus dilihat dalam konteks sejarah yang panjang dari komentar dan refliksi rabinis. Ketiga, larangan ini mengekspresikan beberapa persepsi tentang kehendak Allah dalam situasi konkrit yang mereka hadapi. Dalam penyerahan diri yang total kepada Allah, orang Israel mau mencari apa yang dikehendaki Allah saat itu atas musuh-musuh mereka dan diri mereka sendiri.
           
Ketiga, menurut Ward iman merupakan pendorong moralitas. Dengan imannya orang beragama termotivasi untuk mengusahakan kebaikan dalam hidupnya.  Perjuangan dan kerja keras seorang beriman untuk mewujudkan komitmen moralnya (berupa perbuatan-perbuatan baik) diwarnai oleh kehadiran Allah. Di sana Allah mendorong, meyakinkan, dan menguatkan dia serta memberi kepastian bahwa apa yang orang itu lakukan tidak akan sia-sia. Menurut Ward, bagi orang beriman tindakan moral lebih dari sekedar menjadi otentik. Bagi para penganut agama, moralitas ini personal dan dalam batin, bagian dari relasi yang mentransformasi tanggung jawab dan kasih kepada Pencipta.

DAFTAR PUSTAKA

a.   Sumber Utama :
Ward, Keith. Is Religion Dangerous?. Oxford : Lion Hudson PLC, 2006.
b.   Sumber Pendukung :
Brow, Robert. Religion Original Ideas: Asal Mula Agama. Bandung: Tonis, 1986.
Delanti, Gerard & Piet Strydom (edt.). Philosophies of Social Science. The Classic and Contemporary Readings. Philadelphia: Open University Press Maidenhead, 2003.
Hasarullah.  Dendam Konflik Poso. ( Periode 1998-2001). Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik. Jakarta:  Gramedia, 2009.
Maslow, H. Abraham. Agama, Nilai, dan Pengalamn Puncak. Maumere: LPBAJ, 2000.
Institut Pluralisme Indonesia (IPI). Direktori Penelitian Agama, Konflik, dan Perdamaian. Jakarta: KOMNAS HAM, 2005.
Jones, James W. Contemporary Psychoanalysis and Religion. London: New Heaven, 1991.
Kung, Hans. Global Responsibility. In Search of a New World Ethic. New York: The Crossroad Publishing Company, 1991.
Magnis – Suseno, Franz. Menalar Tuhan.  Yogyakarta: Kanisius, 2006.
_________.Pijar-pijar Filsafat. Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Schroeder, Ralph. Max Weber. Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
 Shanks, Andrew. Civil Religion: Agama Sipil. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Sharot, Stephen. A Comparative Sociologi of World Religions. New York: New York University Press, 2001.





[1] Keith Ward lahir di Hexham, Inggris pada 22 Agustus 1938. Ward mendalami soal hubungan antara sains dan agama. Beberapa karyanya adalah More Than Matter: What Humans Really Are (2010), The Big Questions in Science and Religion (2008) Religion and Human Nature (1998), Religion and Community (2000), dll.

[2] Ward, Keith. Is Religion Dangerous?. Oxford : Lion Hudson PLC, 2006.

[3] Ward, hlm.86

[4] “I cannot think any general rule that would tell me just what makes a belief reasonable, or such that I can justifiably hold it. But I know that some of my beliefs are so basic to my life that they are the keystones of my whole outlook on life. If they collapsed, I would be a different person. I have no real evidence for them, but they are foundational to how I think and act…” (Ward, hlm.86).

[5]  Ibid

[6] Ward, hlm.90.

[7] Ward, hlm.102-105

[8] Ward, hlm.112.

[9] Ward, hlm.113-114.

[10] Ward, hlm.134.

[11] Psikologi evolusioner adalah salah satu cabang baru dalam psikologi yang mencoba mempelajari potensi peran dari faktor genetis dalam beragam aspek dari perilaku manusia. Cabang baru dari psikologi ini menyatakan bahwa manusia, seperti makhluk hidup lainnya di planet bumi ini, telah mengalami proses evolusi biologis selama sejarah keberadaannya, dan dari hasil proses ini manusia sekarang memiliki sejumlah besar mekanisme psikologis yang merupakan hasil evolusi. yang membantu manusia untuk tetap hidup atau mempertahankan keberadaannya.
   (Baron & Byrne, Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 2004, hal. 12-15.)

[12] “…But in my view, morality nonreligious or secular humanism is built on shifting soil…” ( Ward, hlm.139)

[13] “…Humanism (belief in the dignity and unique value of personal life) cannot really survive without some form of faith in a supremely personal God who gives to humanity its dignity and hope.” ( Ward, hlm.139)

Comments