RUANG DAN WAKTU DIALOG-DIALOG BUDAYA

1. Pengertian Dialog Budaya

Awalnya saya sempat ragu apakah memang ada istilah dialog budaya dalam studi-studi kebudayaan. Soalnya sumber-sumber yang saya dekati dalam menyelesaikan tulisan ini hampir tidak menggunakan istilah itu. Beda sekali dengan kata-kata seperti, transformasi budaya, komunakasi antar budaya[1], dll. Bahkan saya sempat berpikir jangan-jangan dialog budaya sama saja dengan komunikasi antar budaya. Umar Kayam-lah yang secara eksplisist menggunakan kata itu dalam pidato pengukuhan[2] Guru Besarnya di Universitas Gajah Mada (UGM), Yoyakarta. Dalam pidatonya yang berjudul ”Transformasi Budaya Kita”, Umar Kayam  menggunakan kurang lebih 24 kali kata "dialog budaya".


RUANG DAN WAKTU DIALOG-DIALOG BUDAYA
Oleh karena itu, untuk mendefinisikan apa itu dialog budaya saya menyimpulkan saja dari apa yang disampaikan oleh Umar Kayam. Menurut Umar Kayam dialog budaya adalah suatu kegiatan to take and give yang seimbang dari kedua belah pihak sehingga terjadilah sintesa yang menghasilkan budaya baru. Kegiatan to take and give ini bukanlah kegiatan yang kaku melainkan sikap budaya yang luwes dan lentur serta kreatif dalam menghadapi kemudian merangkul kebudayaan lain.      

2. Kolonialisme dan Penjajahan Budaya

a. Kolonialisme

Pada waktu Belanda (dan sebelumnya Portugis) datang pada abad ke-17 untuk menguasai seluruh perdagangan rempah-rempah dan kemudian menetap menjadi penjajah di kepulauan nusantara, kerajaan-kerajaan di kawasan ini beserta para penguasa perdagangan rempah-rempah berhadapan dengan satu kekuatan yang belum pernah mereka kenal. Mereka tidak datang sebagai, misalnya, para pedagang Gujarat, melayu atau Cina yang datang untuk berdagang serta secara tidak langsung menyebar agama baru. 

Para pedagang Eropa tersebut datang dengan armada perang, dengan meriam, dengan bedil dan dengan organisasi perdagangan yang rumit dan canggih. Mereka datang untuk merebut, menekankan monopoli atas hak perdagangan rempah dan menguasai seluruh jalur perdagangan tersebut. Konfrontasi antara pedagang Eropa degan pedagang atau kerajaan-kerajaan nusantara adalah konfrontasi yang langsung dan keras.

Dialog budaya kita dengan budaya Barat lewat Portugis, Inggris dan Belanda, dengan demikian sejak semula sudah merupakan dialog yang kikuk. Bahkan tidak berlebihan kiranya untuk jenis dialog tersebut kita memakai istilah Alvin Tofler[3], lebih merupakan suatu future shock, suatu kejutan masa depan. Kita tidak siap menghadapi budaya Eropa, yaitu suatu budaya yang sedang menyiapkan suatu budaya industri yang kelak akan menentukan idiom modernitas dunia. 

Pada waktu kita belum cukup lama bergulat untuk merumuskan sosok yang tepat dalam transformasi budaya kita dalam sintesa Jawa-Islam, budaya Eropa yang agresif dengan idiom budaya yang sangat asing telah datang menaklukkan kita. Kita kalah dari mereka karena idiom budaya kita kalah modern dengan idiom budaya mereka. Disinilah tempat kolonialisme budaya itu.

Pengalaman-pengalaman kita sebelumnya yang agaknya mampu terus berorientasi kepada perintah historis untuk selalu luwes, liat, kreatif dan selalu pandai-pandai memanfaatkan kondisi rill dari geografi, geoekonomi, dan geopolitik kepulauan kepada Budha, Hindu, dan Islam yang masuk secara penetration pacifique; Sriwijaya, Mataram, Kediri, Singasari dan Majapahit "ngos-ngosan" untuk merumuskan transformasi-transformasi mereka. 

b.Penjajahan Budaya

Transformasi budaya kiat pemerintah, statecraft, dari sosok budaya Mataram di Jawa menjadi kiat pemerintah, suatu beamtenstaat, negara pangreh praja atau negara birokrasi, merupakan proses yang menarik. Dengan jenjang birokrasi pada puncak piramida gubernur jendral kemudian ke bawah, gubernur, residen, asisten residen, bupati, wedana, asisten wedana, dan paling bawah apa yang disebut sebagai volkshoofden, atau pemimpin rakyat, lurah. 

Belanda telah berhasil menggariskan, menetapkan, di atas kelumpuhan budaya kita memberikan respons kreatif terhadap agresivitas budaya Eropa (Belanda), suatu sosok pemerintah jajahan yang modern. Suatu beamtenstaat yang memiliki perangkat birokrasi yang dikatakan modern, akan tetapi dapat mempertahankan pemerintahan in diret-rule yang tradisional.
Dalam sosok kultur birokrasi dan pemerintahan beamtenstaat seperti Hindia Belanda itulah, dikembangkan suatu elit birokrasi yang disebut priyayi, yaitu orang-orang yang semula merupakan kelompok keturunan bangsawan, tetapi kemudian berkembang menjadi semacam ”korps” anggota birokrasi. Mereka yang berasal dari keturunan orang biasa, tetapi karena beruntung mendapat pendidikan minimal di sekolah desa dan beberapa waktu penataran khusus diterima menjadi pegawai rendah dapat disebut ”priyayi”[4]. Sebagai anak rakyat terangkat status sosialnya menjadi priyayi dan sang birokrasi pun mendapat anggota baru.

Dalam konteks negara yang harus tampil sebagai suatu pentas atau suatu theatre, suatu sistem nilai yang menekankan pada keselarasan hirarkis, rukun, anti konflik, halus, canggih, luwes, indah, elegan, adalah ramuan nilai yang sangat mendukung kelangsungan hidup sistem kerajaan tersebut. Sesuai dengan kiat memerintah yang efektif, sistem nilai tersebut terutama harus berlaku bagi bawahan, bukan atasan. 

Yang bawah mengacu kepada yang di atas, yang di atas mengacu kepada yang di atasnya lagi, sehingga waktu kerucut piramida itu sampai di puncak hanya sang raja yang boleh menikmati semua privelege untuk berbuat sekendak hatinya. Namun demikian, pada setiap jenjang birokrasi tradisional dan feodal, setiap pemimpin adalah juga puncak piramida, sehingga ia sedikit banyak menikmati privelege yang sama dengan raja. 

Juga di sini, agaknya, berlaku sistem hirarkis. Rakyat banyak yang mendukung dan menyangga sistem-sistem kerajaan pertanian, sebelum mengenal sistem tersebut yang telah menerima nilai rukun dan menghindari konflik atau konfrontasi, menerima dan menyerah terhadap keharusan untuk menyesuaikan dengan sistem nilai kerajaan tersebut. Di sinilah akar ”penjajahan budaya” kita yang efeknya sangat ekstrem kita rasakan pada rezim Orde Baru, di mana korupsi dan nepotisme, dianggap sepi dan sah-sah saja.   

3. Syarat-syarat Terwujudnya Dialog Budaya

Pada pokonya, menurut saya, syarat yang perlu bagi terwujudnya dialog-dialog budaya yang saling menyuburkan adalah soal penghormatan. Syarat pertama, menurut saya, adalah menghormati anggota budaya lain sebagai manusia. seorang Jepang dan Amerika, yang sedang mengobrol, dengan banyak sifat dan keinginan yang sama. Komunikasi berhasil, jika komunikasi yang terjadi di antara mereka haruslah komunikasi pribadi pada pribadi (person to person), bukan hanya Jepang dan Amerika. Mereka harus melihat satu sama lain lebih dari sekedar Jepang yang membungkuk dan Amerika yang kasar. Mereka harus melihat satu sama lain sebagai orang yang mempunyai nama dan sejarah hidup dan kepribadian, harapan dan ketakutan, dan barang kali beberapa orang yang mencintainya

Syarat kedua, kita harus menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya, dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Sebuah budaya adalah cara hidup yang telah dijalankan orang sehingga mereka dapat hidup sebagaimana yang mereka kehendaki. Suatu budaya aneh, kecuali menurut pandangan kita; dan tentu saja tidak aneh menurut orang yang hidup dalam budaya itu. Tidak ada kebudayaan yang tidak baik, yang tidak perlu kita hormati.

Syarat Ketiga adalah menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dapatkah kita menahan diri untuk tidak merasa lucu dan jengkel sampai kita memahami mengapa orang dari budaya lain bertindak seperti itu? 
Pertama, dugaan biasanya salah. Seseorang menceritakan pengalamannya demikian: ”Berkali-kali saya terkejut pada pertemuan yang pertama dengan orang India yang mendatangi saya dengan garang dan tampaknya galak. Pada sisi lain, sopan-santun orang Cina asli sering mengecoh saya pada pertemuan yang pertama dan menyebabkan saya menduga tidak ada perbedaan di antara kami. Dengan perkenalan cukup lama, orang India tersebut menjadi teman baik saya dan saya menyadari bahwa lebih banyak ketidaksepakatan antara saya dengan orang Cina itu ketimbang apa yang saya duga sebelumnya”.

Akhirnya, dialog lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain. Jika seseorang mau menjadi peneliti budaya tertentu, semuanya menjadi lebih muda. Tetapi apa pun yang terjadi, ia tidak boleh mengizinkan egonya, rasa amannya, dilukai oleh atau terancam oleh peraturan hidup sekitarnya, yang tidak ia kenal. Termasuk hal paling berat di dunia ini untuk mengembangkan ”rasa” relativitas budaya (sense of cultural relativity)[5], karena tidak ada pengalaman yang lepas dari budaya yang dijadikan kriteria untuk mengukur budaya. 

Profesor Hall mengungkapkannya dengan baik dalam The Silent Message, yang dengan sepenuh hati ingin saya tuliskan lagi. Menurut Hall, inilah yang harus kita pelajari: bahwa seluruh penafsiran kita tentang budaya bersifat relatif, bahwa tidak boleh menilai budaya yang lain berdasarkan budaya kita yang terbatas, tetapi kita harus selalu berusaha mencari logaritma yang menghubungkan satu peristiwa dalam budaya yang satu dengan satu peristiwa pada budaya yang lain. 

4. Hambatan Dialog Budaya

Sejatinya pintu sudah terbuka untuk menjawab pertanyaan ini. Dengan menunjukan syarat (no. 3) di atas menjadi jelas dengan sendirinya bahwa penegasian terhadap syarat-syarat tersebut adalah hambatan dalam dialog antar budaya itu sendiri. Tetapi kiranya tidak membuka pintu yang sudah terbuka apabila poin-poin berikut ini diangkat.

Dua hal yang mau saya angkat adalah pemaksaan dan dominasi kekuasaan. Dengan pemaksaan dimaksudkan adanya tekanan dari kelompok yang satu atas kelompok lainnya. Biasanya dilakukan oleh suatu kelompok yang kuat atas kelompok yang lemah. Tujuannya jelas, supaya kelompok yang lemah mengikuti format yang diberikan oleh kelompok yang kuat. Hal lain adalah dominasi kekuasaan. Ketika kekuasaan bermain yang terjadi bukan dialog lagi melainkan penindasan.

Contoh paling nyata dari  kegagalan dialog budaya di atas adalah Indonesia dan kolonial Belanda di zaman penjajahan. Dialog budaya antara keduanya mandek lantaran dua hal tadi, pemaksaan dan dominasi kekuasaan. Belanda datang dengan kapal perang, meriam, ide-ide pencerahan yang maju dan langsung melibas semua tata nilai sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Pada saat yang sama Indonesia begitu lemah untuk menghadapi semua itu sehingga tunduk begitu saja atas dominasi Belanda.

Berbeda sekali ketika para pedagang Gujarat dan Cina datang ke Indonesia untuk berdagang. Mereka datang tanpa senjata, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan orang-orang lokal - maksudnya tidak ada dominasi kekuasaan dan pemaksaan,  maka dialog budaya itu berhasil dengan baik. Lihatlah misalnya berkembangnya Buddha, Hindu, Islam pada abad-abad sebelum kedatangan Belanda.              


DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Deddy. Jalaluddin Rakhmat (ed). Komunikasi Antarbudaya. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1990

Sutrisno, Mudji. Filsafat Kebudayaan.Ikhtiar Sebuah Teks. Hujan Kabisat: Jakarta, 2008.
         
Tilaar, H.A.R.. Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam  Transformasi Pendidikan Nasional. Grasindo: Jakarta, 2004.

_____________  Kolonialisme/Pascakolonialisme. Bentang Budaya: Yogyakarta, 2003.





[1] Lih. Mulyana, Deddy. Jalaluddin Rakhmat (ed). Komunikasi Antarbudaya. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1990
[2] Mudji Sutrisno. Filsafat Kebudayaan.Ikhtiar Sebuah Teks. Hujan Kabisat: Jakarta, hlm. 42-86
[3] Ibid, hlm. 50
[4] Ibid, hlm. 65
[5]  H.A.R. Tilaar. Multikulturalisme. Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam  Transformasi Pendidikan Nasional. Grasindo: Jakarta, hlm. 80

Comments