By Dr. Pele Widjaja, IAI.[2]
Abstrak
Keberadaan rumah dengan segala bentuk kehidupan di dalamnya menjadi elemen sentral yang menentukan bentuk dan dinamika perkembangan serta ketahanan permukiman kampung kota hingga dapat survive sampai hari ini. Pengorganisasian ruang rumah dan lingkungan kampung kota berlangsung secara pragmatik sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, diyakini dilandasi oleh suatu pedoman bertindak yang disebut teritorialitas. Teritorialitas domestik rumah dipahami sebagai sebuah konsep sosio-spasial terkait pengorganisasian dan penataan ruang rumah dan lingkungannya yang terepresentasikan melalui suatu mekanisme perilaku pembedaan ruang serta kontrol terhadap pewujudan dan penempatan batas-batasnya.
1. Prolog : Rumah dan Teritorialitas
Suatu lingkungan binaan (arsitektur) seperti apa pun bentuknya, baik itu rumah, permukiman, bahkan ruang-ruang publik sekali pun tidak akan terwujud dan terbina tanpa berada pada suatu teritori dimana manusianya dapat tinggal atau melakukan aktivitas-aktivitas kehidupannya dengan perasaan bebas, aman dan nyaman. Manusia, baik sebagai individu maupun kelompok sosial, dipastikan akan selalu menempati suatu teritori tertentu dan kegiatan sehari-hari manusia pun dipahami sebagai kegiatan berpindah dari satu teritori ke teritori lainnya. Memahami teritorialitas berarti memahami prinsip-prinsip dasar pengorganisasian ruang dari suatu penataan lingkungan binaan yang sesuai dengan kebutuhan dan perilaku penggunanya. Hal ini sangat penting bagi dunia arsitektur khususnya, karena rancangan arsitektur yang baik selayaknya memahami kebutuhan dan sesuai dengan perilaku penggunanya dan salah satu bentuk perilaku tersebut adalah teritorialitas.
Rumah merupakan salah satu bentuk teritori yang penting dalam kehidupan bermukim manusia. Rumah menunjukkan tempat tinggal, tempat dimana sebagian besar praktek-praktek domestik dilakukan dan keberadaan diri penghuninya terekspresikan. Rumah juga dipahami sebagai ranah domestik yang paling intensif berinteraksi dengan penghuninya. Kemapanan bertempat tinggal pada suatu rumah memungkinkan seseorang memiliki kontrol teritorial merupakan hal yang sangat penting untuk mendefinisikan eksistensi dan status diri seseorang. Pengidentifikasian diri, (baik individual maupun kelompok) secara spasial dalam definisi menghuni (to dwell) ini, memungkinkan seseorang untuk menjadi bagian dari suatu tempat dan memaknai lingkungan sekitarnya (Schulz,1985).
Kehadiran rumah dalam bentuk yang paling sederhana pun, tidak semata-mata ditanggapi hanya sebagai suatu ruang fisik yang memberi keamanan dan tempat berlindung dari ancaman cuaca atau gangguan alam lainnya saja, melainkan juga sebagai tempat yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan integratif manusia yang mencakup mulai dari kebutuhan fisik, psikis, sosial, kultural hingga kebutuhan estetisnya (Rapoport, 1985). Dalam pemenuhan kebutuhan integratifnya ini, teritorialitas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masalah pengorganisasian spasial, sosial maupun pemaknaan sebuah rumah. Teritorialitas sebagai suatu gagasan pengorganisasian ruang, berisi perangkat-perangkat model kognisi dan sistem simbolik yang terjalin secara menyeluruh. Perangkat-perangkat ini digunakan secara selektif oleh masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, membina, menghubungkan antara pengetahuan, sikap dan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan integratifnya (Geertz, 1973). Teritorialitas selanjutnya dapat dipandang sebagai suatu unsur integratif yang mengikat dan mempersatukan pedoman-pedoman bertindak yang berbeda-beda menjadi suatu rancangan ruang bermukim yang utuh, menyeluruh, dan operasional serta dapat diterima sebagai hal yang bernilai.
Selanjutnya, pemahaman ini digunakan untuk memahami teritorialitas domestik rumah pada salah satu bentuk permukiman urban khas Indonesia, yaitu kampung kota dan bagaimana teritorialitas domestik rumah ini memberi kontribusi terhadap ketahanan permukiman kampung kota hingga dapat bertahan selama ini.
2. Permasalahan Umum Rumah di Kampung Kota
Secara umum diketahui bahwa sebagian besar rumah di kampung kota dimana pun, memiliki luasan yang relatif terbatas dan oleh karena keterbatasan inilah, maka susunan ruang di rumah-rumah kampung kota biasanya diatur untuk mendapatkan nilai efisiensi dan fleksibilitas yang tinggi dengan menata ruang-ruang tersebut secara fungsional tanpa menempatkan sekat-sekat pemisah secara permanen, kecuali untuk kamar tidur dan kamar mandi. Dengan ketiadaan sekat pemisah ini, suatu ruang dapat diatur penggunaannya dan diberikan fungsi-fungsi secara luwes sesuai dengan keperluannya. Rumah-rumah di kampung kota, sebagian telah dihuni secara turun temurun dan difungsikan hanya sebagai tempat tinggal saja. Namun, tidak sedikit pula yang menggunakannya untuk melangsungkan kegiatan usaha rumahan seperti berdagang kecil-kecilan, home industry atau tempat kos-kosan. Kebanyakan rumah kampung kota dihuni oleh satu keluarga tetapi banyak pula yang dihuni bersama oleh beberapa keluarga, baik dalam hubungan saudara maupun bisnis semata melalui menyewaan kamar-kamar di dalam rumah.
Kondisi-kondisi seperti ini telah berdampak terhadap semakin intensifnya setting domestik rumah-rumah di kampung kota, dimana batas-batas atau jenjang setting antara kamar, rumah, lingkungan sekitar rumah dan lingkungan kampung menjadi sangatlah bias. Pola tumpang tindih ini mengakibatkan gang sebagai suatu ruang publik kampung, secara fungsional dapat menjadi “ruang milik” yang dapat digunakan untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan yang tidak terakomodasikan di dalam rumah. Dengan demikian, suatu ruang yang secara fungsional didefinisikan sebagai “ruang publik”-nya rumah dapat berubah seketika menjadi bersifat semi privat bahkan privat dan sebaliknya, suatu ruang yang secara fungsional didefinisikan sebagai ruang privat-nya rumah dapat menjadi bersifat semi publik atau bahkan publik pula. Meskipun lahan milik dari rumah-rumah di kampung kota sudah ditandai secara jelas dan tegas oleh keberadaan batas-batas fisiknya, namun dalam kenyataannya, batas teritorial rumah yang sesungguhnya lebih terasa bukan karena batas-batas fisiknya berdasarkan hak legalnya, melainkan karena fungsi dan kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Hal ini mengindikasikan bahwa batas-batas teritorial rumah, secara fungsional tidak identik dengan batas-batas legalnya. Pagar dan dinding rumah lebih menunjukkan batas kepemilikan tanah daripada sebagai batas sosial bagi penghuni maupun para tetangganya. Seluruh keadaan ini berdampak terhadap ketidakjelasan atau biasnya batas-batas antara ruang privat dengan ruang publik di kampung kota.
Hal menarik dari seluruh fenomena penggunaan ruang domestik, baik di dalam maupun di luar rumah di lingkungan kampung kota terkait okupasi terhadap domain publik untuk kepentingan privat adalah bahwa kondisi-kondisi tersebut tidak pernah sampai menimbulkan konflik-konflik sosial yang berakibat munculnya gangguan-gangguan serius dalam kehidupan bermukim masyarakat kampung kota. Berita tentang tawuran antar warga di dua kampung lebih sering kita dengar dibandingkan dengan berita bahwa disatu kampung telah terjadi suatu konflik sosial yang serius, seperti misalnya terjadi keributan antar tetangga yang berujung pada tindakan kriminal atau anarkis yang dipicu oleh permasalahan okupasi terhadap domain publik untuk kepentingan privat ini.
Meskipun secara sosial, kampung-kota merupakan suatu komunitas dari orang perorang yang menyesuaikan diri mereka dengan situasi perkotaan dan kian hari kian banyak orang yang datang untuk bekerja sama, bersaing dan tinggal di kampung-kota. Namun, kondisi-kondisi tersebut diyakini justru telah memberi kontribusi dalam memperkuat ikatan sosial ketetanggaan di antara para penghuni rumah di kampung kota (Berner dan Korff, 1995 dalam Evers & Korff, 2002:410). Hal ini dapat dibuktikan bahwa suatu lingkungan permukiman kampung kota tidak mungkin terbina eksistensinya sedemikian lama, jika tidak terjalin suatu ikatan sosial yang kuat dari para penghuninya. Segala bentuk keterbatasan dan kepentingan yang sama dalam kehidupan bermukim dan melangsungkan kegiatan-kegiatan domestiknya serta kedekatan dalam bertetangga dan bertempat tinggal, nampaknya telah membangun kesadaran dari para penghuni rumah di kampung kota bahwa mereka harus dapat saling berbagi dan mengatur ruang bermukimnya secara lebih fleksibel dan efisien dalam batas-batas kepentingan yang dapat diterima bersama dan kesepakatan secara sosial. Hanya dengan cara inilah, mereka tetap dapat survive dan tinggal bermukim di kampung kota.
Di sisi lain, terutama bagi pihak pemerintah, isu bias batas ruang privat dan publik ini menyebabkan kampung kota dianggap sebagai suatu lingkungan permukiman urban yang sulit untuk “disentuh”. Secara konkrit, implikasi dari bias batas domain privat dan publik ini, terlihat ketika program dan rencana pembangunan kota tidak tidak dapat dijalankan, ketika diterapkan pada situasi dan kondisi aktual yang ada di kampung-kota. Hal ini disebabkan karena rencana tersebut biasanya disusun oleh pemerintah bersama para perencana kota dengan mendasarkan pada parameter-parameter perencanaan formal (baca:urban-modern) dimana masalah antara ruang publik dan privat ini dari awal sudah jelas pemisahannya, sehingga jelas pula wewenang pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan di tempat tersebut. Pemahaman tersebut nampaknya tidak berlaku di kampung kota karena sekali pun suatu ruang di lingkungan kampung-kota yang karena sifat dan kegiatannya mengindikasikan bahwa ruang tersebut bersifat publik, tetapi dalam kenyataannya ruang tersebut dapat saja merupakan ruang-ruang privat, atau pun sebaliknya. Dengan kondisi ini, kebanyakan rencana maupun program pembangunan kampung kota tidak dapat terealisasikan, Kalau pun ada, pembangunan yang menyentuh kampung-kota, kebanyakan hanyalah bersifat temporer dan artifisial saja, tanpa mampu menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Keadaan inilah yang menjadi salah satu faktor utama penyebab mengapa kampung kota menjadi suatu lingkungan permukiman urban marginal yang selalu diingkari eksistensinya.
Biasnya memahami batas-batas antara ruang privat dan publik hanyalah suatu fenomena yang nampak dan menjadi persoalan biasa dalam kehidupan bermukim sehari-hari di kampung kota. Namun, jika isu mengenai ketidakjelasan batas antara ruang privat dan publik ini dikonsepkan sebagai pengejewantahan dari kekuasaan yang mengaturnya, maka akan selalu ada kewenangan atas setiap ruang yang memiliki aturan. Gagasan ruang menjadi identik dengan gagasan tentang teritori sebagai ruang yang terkontrol, sehingga secara konseptual setiap ruang ada pemiliknya. Dengan demikian, isu tentang ruang privat dan publik di kampung kota ini sangat terkait dan menjadi bagian dari permasalahan teritorialitas. Oleh karena isu tersebut didasarkan atas keberadaan rumah di kampung kota dan kehidupan bermukim di dalamnya, maka secara spesifik, permasalahan tersebut fokus pada permasalahan teritorialitas domestik rumah di kampung kota.
Seperti telah diketahui bahwa di kampung kota tidak terdapat aturan-aturan formal maupun panduan rancangan yang terkait dengan pembangunan lingkungan permukiman tersebut, termasuk pula pada pembangunan rumah-rumah di dalamnya. Seluruh proses pembangunan yang terjadi di kampung kota dilakukan secara alamiah dan self-organized, didasarkan atas kepentingan-kepentingan individual dan kesepakatan-kesepakatan sosial yang terjalin di antara para warganya sendiri. Pembangunan rumah-rumah tidak dilakukan secara masal atau pun direncanakan. Rumah dibangun secara individual di atas tanah milik dalam batas-batas sumber daya yang dimilikinya. Keterbatasan lahan dan tidak adanya aturan-aturan formal yang bersifat teknis, mengakibatkan kebanyakan pemilik tanah di kampung kota membangun rumah mereka dengan memaksimalkan penggunaan ruang tanah miliknya tersebut. Ruang-ruang rumah disusun secara pragmatik sebatas pemahaman dan kebutuhannya pada saat itu. Penempatan sekat-sekat pembatas ruang dalam rumah dilakukan seminimal mungkin hanya untuk membatasi ruang milik atau ruang yang benar-benar dianggap privat atau secara nyata membutuhkan pembatas fisik seperti kamar tidur atau kamar mandi.
Pembentukan dan penempatan ruang tidak didasarkan pada penetapan fungsi ruang tersebut terlebih dahulu. Dalam kasus rumah di kampung kota, kebanyakan fungsi ruang ditempatkan dengan menyesuaikan dengan ruang fisik yang ada. Secara singkat, penataan ruang rumah di kampung kota, pada umumnya mengikuti prinsip “fungsi mengikuti bentuk”. Dengan prinsip ini serta didukung oleh bentuk dan tatanan ruang yang relatif terbuka, maka alih fungsi atau tambah fungsi dalam penggunaan satu ruang di dalam rumah sangat mudah dilakukan. Di sisi lain, para penghuni rumah di kampung kota pun selalu siap menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ruang yang terjadi.
Rumah-rumah di kampung kota, pada umumnya memiliki luasan yang sangat terbatas. Kondisi ini mengakibatkan pemilik rumah cenderung melakukan tindakan-tindakan ekspansi teritorial untuk mewadahi berbagai kegiatan domestik di dalam rumah. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilik atau penghuni rumah di kampung kota, tidak hanya mengorganisir ruang-ruang di dalam batas-batas tanah miliknya tetapi juga mencakup ruang-ruang bukan milik di luar tanah miliknya. Penggunaan ruang bukan milik di kampung kota, seperti gang, kebanyakan dapat dilakukan secara temporer dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir oleh para penghuni rumah lainnya di kampung tersebut. Penggunaan ruang bukan milik ini juga sangat tergantung pada waktu-waktu dimana ruang tersebut memang dibutuhkannya. Dengan kecenderungan perilaku ekspansi ini, maka secara perseptual, ruang bukan milik tersebut dapat dianggap sebagai “ruang milik”-nya. Dengan demikian, pengorganisasian ruang domestik rumah di kampung kota tidak hanya mencakup di dalam area tanah miliknya saja tetapi mencakup pula area bukan milik yang dibutuhkannya untuk mewadahi kegiatan-kegiatan domestik yang tidak tertampung di dalam area tanah milik. Pengorganisasian ruang dilakukan secara pragmatik sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.
Dengan mengacu pada permasalahan-permasalahan tersebut, maka kita patut bertanya pedoman bertindak apakah yang dianut oleh para penghuni rumah di kampung kota dalam mengorganisasikan ruang domestiknya tersebut. Secara naluriah, manusia memiliki kesadaran tentang sesuatu yang berhubungan dengan masalah pengontrolan ruang yang digunakannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar dalam kehidupannya, terutama dan yang paling mendasar adalah seperti kebutuhan ruang untuk tinggal dan melindungi dirinya. Kesadaran ini mengakibatkan manusia memiliki keinginan untuk dapat menguasai atau memiliki suatu tempat dan mengontrol pengunaan serta siapa saja yang dapat atau tidak dapat memasukinya. Kesadaran ini selanjutnya menjadi suatu pedoman bertindak, terutama ketika dihadapkan pada suatu kondisi dimana manusia harus berinteraksi dengan manusia lainnya yang juga memiliki kebutuhan dasar yang sama. Dengan adanya pedoman bertindak ini maka manusia, satu sama lainnya dapat mengorganisir diri maupun hubungan sosial di antara mereka melalui pembatasan-pembatasan ruang yang dikuasainya. Pedoman bertindak yang merupakan naluri dasar manusia ini disebut teritorialitas.
3. Konsepsi Teritorialitas Domestik Rumah Kampung Kota
Penelitian Widjaja (2006) mengungkap bahwa konsepsi dari struktur teritorialitas domestik rumah kampung kota dibentuk oleh kesatuan dari dua domain yang berbeda yaitu (1) area rumah yang merupakan “ruang milik” dan (2) ruang gang depan rumah yang merupakan “ruang bukan milik”, namun secara temporal dan perseptual telah menjadi bagian “ruang milik”. Berdasarkan hubungan antara domain yang berbeda tersebut, selanjutnya dapat dirumuskan bahwa terdapat prinsip-prinsip dasar dalam pembedaan ruang dan pengontrolan batas-batas teritorial rumah kampung kota sebagai dasar dalam memahami teritorialitas domestik rumah. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) Pemisahan “ruang milik” dan “ruang bukan milik”, (2) Pemisahan sekaligus penyatuan “Dalam” dan “Luar” rumah,(3) “Depan” sebagai arah orientasi utama sekaligus kontrol teritorial, dan (4) Rumah sebagai “Pusat” dan ruang perluasan (ekspansi) sebagai “Batas”.
Selanjutnya, berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka hubungan antar prinsip tersebut dan dikaitkan dengan ketiga aspek teritorialitas, yaitu (1) legalitas, (2) aktivitas dan (3) persepsi penghuni sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsepsi struktur teritorialitas domestik rumah di kampung kota, termasuk lingkungan sekitanya yang terkait akibat kegiatan domestik rumah tersebut.
Aspek legalitas membedakan secara tegas antara ruang-ruang yang berada di dalam batas-batasnya sebagai “ruang milik” dan yang berada di luar batas-batasnya sebagai “ruang bukan milik”. Pembedaan ruang dengan menekankan aspek kepemilikan ini menjadi dasar pembentukan teritorialitas domestik rumah. Teritorialitas domestik rumah dapat diwujudkan hanya jika terdapat bentuk penguasaan terhadap suatu tempat yang didefinisikan sebagai “ruang milik” dan diperkuat oleh suatu tindakan penghunian (occupancy) tempat tersebut secara terus menerus sebagai suatu ruang tempat tinggal maupun ruang untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan domestiknya.
Aspek aktivitas menegaskan pembedaan “ruang milik” dan “ruang bukan milik ini” sekaligus menyatukannya melalui penggunaan ruang-ruang tersebut untuk melangsungkan berbagai kegiatan domestik, baik yang bersifat sehari-hari maupun kegiatan yang bersifat insidental. Baik yang bersifat kegiatan individual rumah tangga maupun kegiatan yang bersifat interaksi sosial. Keluwesan susunan ruang di dalam “ruang milik” yang pada umumnya tanpa sekat-sekat pembatas, kecuali kamar tidur maupun keluwesan dalam penggunaan ruang-ruang tersebut, memungkinkan terjadinya pembedaan sekaligus penyatuan, baik antar ruang di dalam “ruang milik” maupun antara “ruang milik” dengan “ruang bukan milik” yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingannya pada suatu waktu. Pembedaan sekaligus penyatuan ruang teritorialitas domestik rumah ini menjadi dasar pengaturan ruang dan penetapan batas-batas cakupannya. Dalam hal ini, batas-batas teritorialitas domestik rumah lebih terasakan oleh batas-batas fungsionalnya, bukan oleh batas-batas fisiknya. Batas-batas fungsional ini memiliki jangkauan lebih luas keluar dari batas-batas legal “ruang milik” dari suatu teritori rumah.
Aspek persepsi menegaskan dan memperkuat penyatuan antara “ruang milik” dan “ruang bukan milik ini” melalui penguasaan secara perseptual dan penggunaan secara temporer terhadap “ruang bukan milik ini”. Aspek ini melandasi persepsi pemilik/penghuni rumah dan membangun perasaan memiliki (sense of belonging) terhadap gang depan rumah sebagai “bagian dari ruang milik”-nya. Dalam hal ini, ekspansi teritorial terhadap gang depan rumah yang merupakan “ruang bukan milik” menjadi bagian integral dalam perilaku teritorialitas domestik rumah kampung kota.
Rumah yang didirikan di atas area tanah milik, yang karena fungsi pentingnya sebagai tempat tinggal dan secara perseptual menjadi orientasi penghuninya, maka rumah dalam struktur entitas teritorialitas domestik memiliki hirarkhi tertinggi dan didefinisikan sebagai “pusat”. Sedangkan “batas” dalam struktur teritorialitas domestik rumah ditentukan oleh ruang-ruang yang memiliki hirarki lebih rendah yaitu ruang-ruang yang berada di dalam cakupan area perluasan teritori domestik rumah. Ruang-ruang area perluasan tersebut, terutama ruang gang depan rumah, menentukan tingkat kemampuan untuk mempertahankan atau melindungi teritori domestik rumah terhadap gangguan yang tidak diinginkan. Terkait dengan “pusat” maka ruang gang depan ini merupakan “batas dalam” sekaligus batas kontrol teritorial, baik secara fungsional maupun secara perseptual. Sedangkan ruang-ruang pada area perluasan seperti ruang gang kampung selain ruang gang depan rumah, rumah tetangga maupun fasilitas publik kampung, dalam jarak jangkau cakupan terluarnya mendefinisikan “batas luar” sekaligus batas domain dari keseluruhan teritori domestik rumah.
Berdasarkan konsepsi struktur teritorialitas domestik rumah tersebut, maka pemahaman teritorialitas domestik rumah kampung kota, pertama-tama berhubungan dengan penguasaan terhadap dua tempat yang berbeda yang merupakan elemen esensial pembentuk teritorialitas domestik rumah kampung kota yaitu area rumah sebagai “ruang milik” dan ruang gang depan sebagai “bagian dari ruang milik”. Penguasaan terhadap area rumah dilandasi oleh legalitas hak milik individual atas tanah, baik secara formal maupun non formal (adat). Dengan hak ini, pemilik rumah mempunyai kompetensi sekaligus kebebasan yang dibutuhkan untuk dapat menguasai dan menghuni tempat. Kompetensi adalah hak mutlak untuk menguasai, mengendalikan dan memanfaatkan segala sesuatu yang ada di dalam batas-batas kepemilikannya. Sedangkan kebebasan adalah kompetensi yang digunakan di dalam ruang miliknya tersebut sesuai dengan kehendak, kepentingan atau tujuan-tujuan yang ditetapkannya sendiri, dimana pihak luar bukan anggota keluarga pemilik tidak berhak terlibat tanpa seijin sang pemilik. Kepemilikan berdasarkan legalitas ini bersifat aktual dimana memang nyata bahwa bahwa individu atau suatu keluarga tertentu benar-benar memiliki tempat tersebut dan menyatakannya sebagai “ruang milik”. Penguasaan aktual ini ditandai batas-batas kepemilikannya secara eksplisit dengan menempatkan obyek-obyek fisik pembatas, seperti pagar, dinding atau pembedaan-pembedaan fisik lainnya.
Berbeda dengan penguasaan terhadap “ruang milik” yang dilandasi oleh legalitas hak milik, maka penguasaan terhadap gang depan rumah yang dianggap sebagai “bagian dari ruang milik” bersifat perseptual atau hanya merupakan “kehendak” untuk menguasai tempat tersebut. Penguasaan secara perseptual ini juga bersifat temporer atau berlangsung sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan-kepentingan pribadi / keluarga. Penguasaan terhadap “ruang bukan milik” ini ditandai secara simbolik melalui rutinitas penggunaan dan tindakan pemeliharaan terhadap ruang tersebut. Batas-batas dan cakupan penguasaan terhadap “ruang bukan milik” ini bersifat lentur, dapat mengembang hingga mencakup keseluruhan area gang depan rumah atau menyusut hanya sampai pada bagian-bagian tertentu seperti pada daerah pintu pagar atau pintu rumah saja, sepanjang sisi tepi pagar dan lain-lain atau berhimpit dengan batas-batas “ruang milik” dari rumah itu sendiri.
Penguasaan tempat yang mencakup penguasaan terhadap area rumah yang merupakan “ruang milik” dan meluas hingga ke ruang gang di depannya yang merupakan “ruang bukan milik”, menunjukkan bahwa dalam teritorialitas domestik rumah kampung kota, ekspansi teritorial merupakan bagian integral dari perilaku penguasaan tempat. Selain dilandasi kebutuhan penyediaan ruang kegiatan tambahan karena keterbatasan ruang rumah, tindakan ekspansi ini penting untuk tujuan melindungi diri, keluarga dan teritori rumahnya ; mengontrol hubungan sosial antar tetangga ; serta menjadi salah satu sarana yang dapat mengungkapkan identitas diri pemilik rumah, meski hanya bersifat temporal dengan diadakannya perhelatan-perhelatan ritual sehingga rumah menjadi fokus publik.
Jika penguasaan terhadap “ruang milik” maupun “ruang bukan milik” di atas, dikaitkan dengan makna teritorial rumah sebagai ruang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survive) dan jaminan rasa aman atau perlindungan bagi diri, maka dengan hak kepemilikannya, pemilik rumah dapat melakukan tindakan-tindakan pengendalian atau kontrol terhadap teritorinya. Pengertian kontrol dalam konteks teritorialitas domestik rumah kampung kota merupakan kemampuan untuk menempati suatu tempat (area rumah dan area perluasannya), menutup atau membatasi penggunaan dan akses ke dalam tempat tersebut, terutama dalam hubungannya dengan pihak di luar dirinya. Kompetensi dalam penguasaan tempat merupakan landasan bagi pengaturan ruang yang tercakup dalam teritori domestik rumah melalui pengontrolan dalam penggunaan ruang-ruang di dalamnya dan akses ke dalamnya.
Sehubungan dengan penggunaan ruang-ruang di dalam area rumah kampung kota, maka sebagian besar rumah kampung kota telah digunakan secara maksimal sebagai tempat tinggal yang pada beberapa rumah terkadang bercampur (mixed-use) dengan fungsi tempat bekerja dan sekaligus juga tempat usaha. Kesahajaan pada kebanyakan rumah-rumah kampung kota, dengan pembagian dan susunan ruang di dalamnya yang secara fisik tidak begitu kentara batas-batasnya, kecuali ruang untuk tidur atau kamar, memberikan petunjuk bahwa di dalamnya terancang ruang-ruang yang sangat luwes (flexible) bagi berbagai kegiatan yang dilakukan di dalam rumah. Perwujudan rumah dengan ruang-ruang di dalamnya yang tanpa sekat atau bersekat tidak penuh ini, dilandasi oleh berbagai pertimbangan yang disesuaikan dengan kebutuhan penghuninya. Yang jelas, walaupun mungkin tidak disadari sepenuhnya, rancangan dan susunan ruang semacam ini memberi keleluasaan gerak yang diperlukan untuk melangsungkan kegiatan domestik sehari-hari, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaan yang menjadi mata pencahariannya serta memudahkan atau menghemat biaya perawatan dan pemanfaatannya. Dengan demikian, batas-batas dalam area rumah kampung kota lebih terasa karena fungsinya bukan karena batas fisiknya. Meski pun ditandai secara implisit tanpa keberadaan pembatas fisik (sekat), namun setiap bagian dalam area rumah tampaknya tetap disadari fungsi utamanya sebagai ruang yang dapat menampung suatu kegiatan domestik tertentu, yaitu dengan cara melihat posisi ruang tersebut dalam keseluruhan tatanan rumah.
Dengan keluwesan penggunaan ruang bagi kegiatan dan menghubungkannya dengan pihak-pihak yang menggunakannya, maka sulit mendefinisikan keberadan hirarki dan order ruang di dalam teritori domestik rumah. Meskipun pembedaan ruang secara fungsional menunjukan adanya aturan-aturan dan prinsip-prinsip penataaan dan penempatan fungsi ruang rumah yang juga berlaku umum pada rumah-rumah masyarakat lainnya, namun berdasarkan penempatan kegiatannya terlihat perbedaan dan ketidaksesuaian antara aturan fungsional ruang dengan teknis penggunaannya. Satu ruang yang secara fungsional didefinisikan sebagai “ruang publik”-nya rumah, seketika dapat berubah menjadi bersifat semi privat bahkan privat atau sebaliknya, tergantung pada moment dan bentuk kegiatan yang diprioritaskan pada suatu waktu tertentu. Dalam satu bagian rumah, baik bagian depan, tengah atau belakang dapat mengakomodasi sifat-sifat publik maupun privat melalui penetapan fungsi ruang dan kegiatan yang dilangsungkannya.
Apakah suatu ruang tertentu yang tercakup dalam teritori domestik rumah bersifat privat atau publik, sepenuhnya tergantung pada persepsi seseorang. Peristiwa dan bentuk kegiatan di dalam teritori rumah sangat dinamis dan dapat dengan segera berubah-ubah baik bentuk, sifat maupun maknanya yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Perubahan susunan ruang ini berhubungan dengan kontrol akses ke dalam teritori rumah yang mengatur siapa saja orang-orang yang dapat mengakses atau tidak dapat mengaksesnya. Pengontrolan akses ke dalam teritorialitas domestik rumah kampung kota dilandasi oleh 2 aspek utama yaitu (1) kedekatan (intimacy) hubungan antar personal, dimana semakin dekat hubungan personal maka semakin terbuka akses ke dalam teritori rumah. (2) Pengawasan teritorial dalam jangkauan pandangan mata. Semakin intensif penggunaan suatu ruang dalam teritori rumah atau semakin dekat dan berada dalam jangkauan pandangan mata, maka semakin tinggi tingkat pengawasan terhadap ruang tersebut. Dengan demikian, definisi publik-privat lebih didasarkan pada persepsi bahwa ruang yang sama dapat dianggap bersifat privat secara terus-menerus bagi mereka yang tetap tidak diijinkan masuk ke ruang tersebut dan dianggap publik bagi mereka yang berasal dari “dalam” teritori domestik tersebut, yaitu orang-orang yang bebas masuk ke dalam atau keluar dari ruang tersebut pada setiap saat.
Namun demikian, dari ruang-ruang yang ada di dalam teritori rumah, terdapat satu ruang yang secara nyata dapat didefinisikan sebagai ruang privat. Ruang tersebut adalah kamar tidur. Ruang ini adalah satu-satunya ruang yang tidak dapat begitu saja diakses oleh pihak luar bahkan oleh tetangga terdekatnya sekalipun. Diperlukan ijin khusus dan kepentingan atau alasan yang sangat kuat untuk dapat mengakses ke dalam kamar tidur. Ruang ini juga adalah satu-satunya ruang yang dibatasi secara fisik pada keempat sisinya. Kamar tidur ini selalu berpintu atau setidaknya terdapat obyek fisik pembatas seperti tirai. Jika kamar tidur ditempatkan pada posisi bagian depan dari rumah yang berdekatan dengan ruang gang dan terdapat jendela, maka pada bukaan tersebut selalu ditempatkan suatu obyek fisik penghalang pandangan dari luar sebagai bentuk kontrol visual. Dengan demikian, masih dapat ditemukan adanya hirarki dan order dalam susunan ruang teritori rumah berdasarkan domain publik – privat ini. Berdasarkan tingkat privasinya, maka kamar tidur menduduki hirarkhi tertinggi dalam susunan ruang rumah kampung kota.
Melalui tindakan mengontrol pemanfaatan mau pun akses, teritorialitas domestik rumah kampung kota selanjutnya dapat dipahami sebagai suatu bentuk mekanisme pengaturan batas diri. Mekanisme ini dirancang untuk mengatur interaksi sosial dan memuaskan berbagai motif sosial dan fisik. Bagi pemilik atau penguasa teritori rumah, teritorialitas sebagai mekanisme pengaturan batas diri, secara fisik bermakna sebagai suatu strategi untuk memantapkan rasa aman dan perlindungan pribadinya.
Sedangkan bila dikaitkan dengan konteks sosialnya, maka teritorialitas dipahami tidak hanya untuk memunculkan privasi, tetapi juga berarti menstabilkan hubungan-hubungan, baik secara fisik maupun sosial atau dengan lingkungannya.
Dalam pengaturan dan pembatasan penggunaan maupun akses ke dalam teritori rumah kampung kota, tercermin upaya-upaya pemilik atau penghuni untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan integratifnya. Yang pertama, dalam satuan material bangunan rumah, tercermin upaya pemilik/penghuni rumah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Dari sisi ini, teritori rumah merupakan ruang fisik yang digunakan untuk tempat berlindung dari keganasan alam serta tempat untuk beristirahat, tidur dan mengembangkan keturunan serta dapat pula melakukan kegiatan ekonomi yang mendukung kelangsungan hidup rumah tangganya. Kedua, di dalam teritori rumahnya, pemilik/penghuni dapat pula memenuhi kebutuhan sekundernya. Pemilik dan anggota keluarganya secara leluasa dapat menyelenggarakan kehidupan domestik sehari-harinya, merawat dan mendidik keturunannya, mengatur pola-pola hubungan dan memainkan peranan dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan di rumah yang dihuninya itu. Ketiga, teritori rumah juga merupakan tempat atau dirancang guna memenuhi kebutuhan integratif. Rumah, dalam bentuk yang sangat sederhana pun merupakan tempat yang dibuat oleh pemiliknya agar dapat menyelenggarakan kegiatan-kegiatan budaya. Upacara ritual pernikahan misalnya, sebagian besar dan di dalam banyak kelompok masyarakat kampung kota tetap diselenggarakan di rumah sendiri.
4, Epilog : Teritorialitas Domestik Rumah dan Ketahanan Kampung Kota
Sebagai penutup, bahwasannya inti pemahaman dari teritorialitas domestik rumah di kampung kota dalam kaitannya dengan resiliensi permukiman tersebut, dapat disimpulkan dalam beberapa tesis berikut ini:
Teritori domestik rumah kampung kota adalah ruang-ruang yang dikuasai oleh suatu unit sosial terkecil (keluarga). Teritori ini dibentuk oleh kesatuan dari dua domain yang terpisah yaitu area rumah yang didefinisikan sebagai “ruang milik” dan area gang depan rumah merupakan “ruang bukan milik” namun secara temporal dan perseptual telah dikuasai dan dianggap menjadi bagian “ruang milik”. Penyatuan dua domain ini dilandasi oleh adanya perilaku ekspansi teritorial ke ruang-ruang bukan milik yang digunakan untuk mewadahi kegiatan-kegiatan domestik maupun pemenuhan hasrat untuk melindungi teritori rumah. Keterbatasan ruang menjadi faktor penyebab utama yang mendorong munculnya perilaku ekspansi teritorial ini.
Aspek legalitas kepemilikan menjadi landasan terkuat dalam pembentukan teritori domestik rumah di kampung kota karena memiliki sifat-sifat penguasaan yang aktual dan permanen dalam arti bahwa ruang domestik tersebut memang nyata dimiliki oleh individu tertentu dan diakui penguasaannya oleh pihak-pihak lain berdasarkan aspek legalitas yang dimilikinya. Legalitas menjadikan area rumah sebagai ruang milik sekaligus pusat teritori domestik. Sedangkan aspek fungsional (aktivitas) dan perseptual menjadi aspek yang mengatur pemisahan dan/atau penyatuan antara rumah sebagai ruang milik – dalam dan gang depan rumah sebagai ruang bukan milik –luar yang di-claim sebagai bagian ruang milik.
Berdasarkan tingkatan peranan dalam pembentukan dan pemaknaan teritori domestik pada rumah kampung kota, aspek legalitas memiliki tingkatan peran tertinggi karena aspek ini membentuk teritori domestik rumah yang aktual,. Sedangkan aspek fungsional dan perseptual memiliki tingkatan peran di bawah aspek legal, karena kedua aspek tersebut bersifat hanya merupakan “kehendak” untuk menguasai atau mengontrol suatu teritori.
Menjadikan aspek legal sebagai landasan utama dalam pembentukan dan pemaknaan teritori domestik ini menunjukkan bahwa masyarakat di kampung kota telah memiliki kesadaran terhadap keberadaan hukum modern tentang kepemilikan. Dalam pemahaman ini, teritori tidak hanya dipahami sebatas suatu “ruang yang dikuasai” tetapi lebih menekankan pada pemahaman tentang “ruang yang dimiliki”. Pemahaman istilah “dimiliki” mempunyai makna yang lebih kuat daripada “dikuasai”. Menguasai suatu tempat belum tentu harus memiliki tempat tersebut, tetapi dengan memiliki suatu tempat maka seseorang dipastikan memiliki hak untuk menguasai tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam pemahaman teritori sebagai “ruang yang dimiliki” terkandung makna penguasaan yuridis yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan mutlak kepada pemegang hak tersebut untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki tersebut dan menggunakannya secara bebas, tanpa batas waktu (Pasal 20 UUPA). Dengan makna tersebut, maka teritori domestik rumah adalah suatu ruang eksklusif bagi pemilik rumah beserta keluarganya.
Namun demikian, keberadaan dua faktor situasional yang menjadi karakteristik utama kampung kota, yaitu keterbatasan ruang dan faktor ekonomi berpengaruh terhadap sifat “ruang milik” tersebut. Kedua faktor situasional tersebut berimplikasi terhadap kondisi dimana ruang-ruang teritori rumah difungsikan secara spontan, memiliki fleksibilitas yang tinggi dan sifat ruang dengan premis-premis fungsional, sosial dan komersial akan terus berlanjut. Konfigurasi ruang selalu siap berubah bilamana diperlukan dan sebaliknya manusia penghuninya selalu siap menyesuaikan diri pada setiap perubahan ruang. Dimensi dan fungsi ruang tidak lagi menjadi suatu hal yang pasti. Ruang bagaikan kandungan yang setiap saat siap melahirkan banyak ruang-ruang” baru” sebagai suatu bentuk antisipasi dan adaptasi dari berbagai kemungkinan di masa mendatang.
Dengan fleksibilitas ruang yang tinggi, maka pemahaman publik-privat dalam konteks teritorialitas domestik rumah di kampung kota sangat relatif, tergantung persepsi, kegiatan yang diprioritaskan dan kedekatan hubungan (intimacy) personal. Ruang yang sama dapat dianggap bersifat privat secara terus-menerus bagi mereka yang tetap tidak diijinkan masuk ke ruang tersebut dan dianggap publik bagi mereka yang berasal dari “dalam” teritori domestik tersebut, yaitu orang-orang yang bebas masuk ke dalam atau keluar dari ruang tersebut pada setiap saat.
Pengontrolan teritori domestik rumah di kampung kota lebih memiliki makna untuk melindungi obyek milik, termasuk teritori rumah itu sendiri. Dalam pengertian ini teritori domestik rumah adalah tempat yang terlindungi secara legal dan oleh karenanya ada kewenangan yang jelas di dalamnya untuk mengontrol teritorinya. Kewenangan ini mengatur tingkat keterbukaan maupun ketertutupan akses teritori rumah. Bagi orang-orang yang telah dikenalnya dengan baik, teritori rumah cenderung bersifat terbuka. Dengan keterbukaan ini, maka kontrol teritorial yang dilakukan pun lebih luwes dan longgar. Pengontrolan teritori domestik juga memiliki makna pengontrolan interaksi sosial melalui kontak visual yang selalu terpelihara di daerah batas maupun di ruang akses teritori rumah. Hubungan sosial yang erat antar tetangga di lingkungan kampung kota dibentuk melalui kontak interaksi sosial yang terjalin secara terus menerus. Kontak interaksi sosial ini dapat terjadi dimana pun, baik di dalam teritori rumah, di ruang gang maupun tempat-tempat lainnya di lingkungan kampung. Terbukanya teritori rumah, terutama bagi pihak-pihak yang telah dikenal secara baik dan dekat merupakan salah satu cara membina hubungan sosial diantara mereka ini. Etika dalam budaya bermasyarakat dan pola hubungan sosial yang akrab antar penghuni menjadi landasan yang membentuk sifat terbuka dari teritori rumah ini.
Dengan demikian, meski pun teritori domestik rumah di kampung kota didefinisikan sebagai “ruang yang dimiliki”, namun ruang ini memiliki sifat-sifat yang fleksibel dan terbuka. Fleksibilitas dalam pengaturan ruang dibutuhkan untuk dapat mengadaptasi segala bentuk perubahan yang diperlukan dan penghuninya selalu siap menyesuaikan diri pada setiap perubahan ruang tersebut. Sedangkan
Keterbukaan teritori rumah berarti mengurangi pembatasan-pembatasan terhadap hak miliknya bagi orang lain. Hal ini disebabkan karena bila mereka membatasi milik pribadi maka mereka juga tidak dapat menggunakan milik pihak lain, sementara milik pribadi belum tentu dapat mencukupi kebutuhannya. Maka dengan merelakan teritori pribadi ini, berarti mereka “berhak” untuk memanfaatkan ruang pihak lain, baik itu ruang publik maupun ruang privat milik tetangga. Tujuan dari semua ini adalah kelangsungan hidup keluarga dalam segala kondisi yang serba terbatas dan tekanan-tekanan kehidupan kota yang dihadapi oleh para penghuni rumah di kampung kota.
Segala bentuk keterbatasan dan kepentingan yang sama dalam kehidupan bermukim dan melangsungkan kegiatan-kegiatan domestiknya serta kedekatan dalam bertetangga dan bertempat tinggal, nampaknya telah membangun kesadaran dari para penghuni rumah di kampung kota bahwa mereka harus dapat saling berbagi dan mengatur ruang bermukimnya secara lebih fleksibel dalam batas-batas kepentingan yang dapat diterima bersama secara sosial. Hanya dengan cara inilah mereka tetap dapat survive dan bertahan tinggal di kampung kota menjadi landasan ketahanan dari permukiman ini dalam menghadapi perubahan jaman.
Pokok-Pokok Diskusi
• Kampung kota diyakini tidak akan hilang atau tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ketahanan dalam kelangsungan hidup (survive) dari suatu lingkungan kampung kota ini sangat tergantung dari seberapa kuat legitimasi penguasaan tempat (tanah dan/atau rumah) secara sosial dan seberapa intensif okupasi, pemanfaatan, pemeliharaan, pengontrolan dan pertahanan dari setiap teritori domestik rumah yang ada di dalam kampung kota tersebut serta kemampuannya dalam beradaptasi menghadapi berbagai situasi dan kondisi perubahan.
• Program-program pembangunan berbasis komunitas, selain menekankan pada aspek pemberdayaan secara sosial terhadap masyarakat kampung kota, perlu pula mempertimbangkan aspek teritorialitas sebagai suatu bentuk potensi sekaligus strategi survival dan ketahanan mereka. Dengan pemahaman terhadap perilaku, entitas dan makna teritorialitas yang terdapat di kampung kota, maka teritorialitas dapat dipandang sebagai “alat kontrol” dalam kehidupan bermukim masyarakat kampung kota ini. Alat kontrol tersebut bersumber dan terbentuk dari diri mereka sendiri. Penetrasi program pembangunan melalui “alat kontrol” yang menjadi bagian yang integral serta melekat dalam diri dan kehidupan masyarakat kampung itu sendiri akan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan “perangkat baru” yang diimpor dari gagasan-gagasan yang tidak mengakar pada perilaku bermukim masyarakat tersebut.
Pustaka Rujukan
Evers, H.D. dan Korff, R. (2002), Urbanisme Di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Culture. New York : Basic Book
Jellinek, L. (1998), Jakarta Kampungs Under Siege, dalam Freestone R. The Twentieth Century Urban Planning Experience, Procedings, The University of New South Wales.
Kraussc, G.H. (1975), The Kampungs of Jakarta – Indonesia : A Study of Spatial Pattern in Urban Poverty, Disertasi Program Doktor, University of Pittsburg.
Muanas, D. (1985), Perkampungan Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial Daerah Jawa Barat, Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta.
Rapoport, A., (1969), House Form and Culture, Prentice Hall, Inc. London.
Sack, R.D., (1986), Human Territoriality : Its Theory and History, Cambridge University Press, London.
Schulz, C.N., (1985), The Concept of Dwelling ; On The Way to Figurative Architecture, New York : Electa Rizzoli. Widjaja, Pele (2006), Teritorialitas Domestik Rumah Pada Dua Kampung di Kota Bandung, Disertasi ITB, tidak dipublikasikan)
[1] Makalah disajikan dalam UPH-Habitat For Humanity Housing Forum 2017 Preliminary Event Asia Pasific Housing Forum 6. Inclusive & Resilient Housing: Indonesia’s Experience, Lippo Karawaci, 30 Agustus 2017.
[2] Peneliti / Kepala Divisi Inkubator Pengembangan Produk Centre or Adaptation and Resilence Environmental Design Studies (CAREDs) & Dosen Prodi Arsitektur dan Sekolah Pasca Sarjana Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Comments
Post a Comment