A. Pengantar
Seluruh pemikiran Marx berdasarkan praanggapan
bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Menurut Marx
keterasingan manusia adalah hasil penindasan suatu kelas oleh kelas lainnya.
Emansipasi dari keterasingan itu hanya dapat tercapai melalui perjuangan kelas.
Untuk memahami struktur-struktur kekuasaan serta potensi pembebasan yang ada
dalam sebuah masyarakat, perlu diadakan analisa terhadap kelas-kelas sosial
masyarakat itu. Dalam pembahasan ini pertama-tama akan dilihat apa itu kelas sosial
menurut Marx, kemudian inti pembahasan yang mencakupi: pertama kelas atas dan kelas bawah, kedua individu, kepentingan kelas dan revolusi.
B. Apa itu Kelas Sosial?
Kesulitan pertama yang langsung kita jumpai adalah
bahwa, Marx sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah
mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan istilah “kelas”. Seakan-akan arti
kata itu sudah jelas dengan sendirinya. Pada umumnya mengikuti sebuah definisi
termashur Lenin, “kelas sosial” dianggap sebagai “golongan sosial dalam sebuah
tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi”.[2]
Itu pun belum jelas seratus persen. Apakah para cendekiawan merupakan sebuah
kelas tersendiri (pada umumnya disangkal oleh kaum Marxis)? Bagaimana halnya
golongan pegawai negeri, baik sipil mau pun militer? Mahasiswa dianggap bukan
kelas sosial. Lalu mereka itu apa?
Begitu pula tidak jelas apakah “kelas” merupakan kenyataan selama seluruh sejarah. Apakah dalam semua kebudayaan pascaprimitif terdapat kelas sosial? Pertanyaan ini pada umumnya dibenarkan, terutama karena kalimat termashur pada permulaan Manifesto Komunis: “sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”.[3] Tetapi dalam tulisan Marx terdapat juga indikasi bahwa, bertentangan dengan hal itu, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan sosial dalam masyarakat feodal dan kuno lebih tepat disebut “kasta”.
Dasar anggapan kedua adalah bahwa bagi Marx sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara objektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. Dalam arti ini hanya kelas buruh industri yang merupakan kelas dalam arti yang sebenarnya, dan, meskipun kurang tajam, juga borjuasi (dan pada akhir abad ke-20) juga kaum tani di negara industri maju yang barangkali merupakan kelas sosial paling militan dalam masyarakat mereka).
Pertanyaan ini tidak dapat diputuskan. Sebagai jalan tengah pragmatis berikut ini, di satu pihak, istilah ”kelas” digunakan dalam arti pertama, jadi bagi setiap golongan sosial yang mempunyai kedudukan spesifik dalam proses produksi, tetapi dengan pengertian bahwa ciri sebagai kelas baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan itu juga menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas.
Begitu pula tidak jelas apakah “kelas” merupakan kenyataan selama seluruh sejarah. Apakah dalam semua kebudayaan pascaprimitif terdapat kelas sosial? Pertanyaan ini pada umumnya dibenarkan, terutama karena kalimat termashur pada permulaan Manifesto Komunis: “sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”.[3] Tetapi dalam tulisan Marx terdapat juga indikasi bahwa, bertentangan dengan hal itu, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan sosial dalam masyarakat feodal dan kuno lebih tepat disebut “kasta”.
Dasar anggapan kedua adalah bahwa bagi Marx sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arti sebenarnya, apabila dia bukan hanya “secara objektif” merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga “secara subjektif” menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. Dalam arti ini hanya kelas buruh industri yang merupakan kelas dalam arti yang sebenarnya, dan, meskipun kurang tajam, juga borjuasi (dan pada akhir abad ke-20) juga kaum tani di negara industri maju yang barangkali merupakan kelas sosial paling militan dalam masyarakat mereka).
Pertanyaan ini tidak dapat diputuskan. Sebagai jalan tengah pragmatis berikut ini, di satu pihak, istilah ”kelas” digunakan dalam arti pertama, jadi bagi setiap golongan sosial yang mempunyai kedudukan spesifik dalam proses produksi, tetapi dengan pengertian bahwa ciri sebagai kelas baru terpenuhi secara sempurna apabila golongan itu juga menyadari dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas.
C. Kelas Atas dan Kelas Bawah
Menurut Karl Marx pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial. Karena itu kita hanya dapat memahami sejarah dengan segala perkembangan yang terjadi apabila kita memperhatikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Yang harus diperhatikan bukan hanya kelas macam apa yang ditemukan, melainkan bagaimana struktur kekuasaan di antara mereka. Menurut Marx, akan terlihat bahwa dalam setiap masyarakat terdapat kelas-kelas yang berkuasa dan kelas-kelas yang dikuasai. Marx berbicara tentang kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah. Karena perhatian Marx terutama terarah pada masyarakat zamannya, kita akan melihat perbedaan itu pada kritik Marx terhadap masyarakat kapitalis.
Sebagai catatan pendahuluan perlu diperhatikan bahwa menurut Marx masyarakat kapitalis terdiri dari tiga kelas, bukan dua kelas, sebagaimana anggapan pada umumnya, juga dalam banyak kalangan Marxis. Tiga kelas itu adalah kaum buruh (mereka hidup dari upah), kaum pemilik modal (hidup dari laba) dan para tuan tanah (hidup dari rente tanah). Tetapi, karena dalam analisis keterasingan tuan tanah tidak dibicarakan dan pada akhir kapitalisme para tuan tanah akan menjadi sama dengan para pemilik modal, berikut ini hanya dibicarakan dua kelas pertama.
Kita bertolak dari analisis keterasingan. Keterasingan dalam pekerjaan terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan jatuh dalam dua kelas sosial yang berlawanan, yaitu kelas buruh dan majikan. Kelas para majikan memiliki alat-alat kerja: pabrik, mesin, dan tanah (kalau mereka tuan tanah). Kelas buruh melakukan pekerjaan, tetapi karena mereka sendiri tidak memiliki tempat dan sarana kerja, mereka terpaksa menjual tenaga kerja mereka kepada kelas pemilik itu. Dengan demikian hasil kerja dan kegiatan bekerja bukan lagi milik para pekerja itu sendiri, melainkan milik para majikan. Itulah dasar keterasingan dalam pekerjaan.
Jadi, dalam, sistem produksi kapitalis, dua kelas saling berhadapan: kelas buruh dan kelas pemilik. Keduanya saling membutuhkan: buruh hanya dapat bekerja apabila pemilik membuka tempat kerja baginya. Dan majikan, hanya beruntung dari pabrik dan mesin-mesin yang dimilikinya apabila ada buruh yang mengerjakannya. Tetapi saling ketergantungan itu tidak seimbang. Buruh tidakdapat hidup kalau ia tidak bekerja. Dan ia tidak dapat bekerja kecuali apabila diberi pekerjaan oleh seorang pemilik. Sebaliknya, meskipun si pemilik tidak mempunyai pendapatan kalau pabriknya tidak berjalan, tetapi ia masih dapat bertahan lama. Ia dapat hidup dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja; ia dapat menjual pabriknya.
Ciri khas masyarakat kapitalis adalah keterbagian dalam kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas adalah para pemilik alat-alat produksi, kelas bawah adalah kaum buruh. Kelas atas adalah kelas sosial yang menguasai bidang produksi, kelas bawah adalah mereka yang harus tunduk terhadap kekuasaan kelas atas. Apa keuntungan kelas atas dari kedudukan mereka itu? Keuntungannya ialah bahwa mereka tidak perlu bekerja sendiri, karena dapat hidup dari pekerjaan kelas bawah. Buruh hanya diberi pekerjaan apabila ia bekerja demi keuntungan pemilik. Pekerjaan yang melebihi waktu yang diperlukan buruh untuk memenuhi kebutuhannya sendiri merupakan keuntungan si pemilik. Karena itu, hubungan antara kelas atas dan kelas bawah pada hakikatnya merupakan hubungan penghisapan atau eksploitasi. Kelas pemilik hidup dari penghisapan tenaga kerja kelas buruh. Pemilik modal, si kapitalis, secara hakiki adalah seorang penghisap tenaga kerja orang lain, dan sebaliknya buruh secara hakiki merupakan kelas terhisap.
D. Individu, Kepentingan Kelas, dan Revolusi
Perlu diperhatikan bahwa pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan tidak ada sangkut-pautnya dengan sikap hati atau moralitas masing-masing pihak. Kontradiksi yang terjadi adalah sebuah kenyataan objektif yang tidak tergantung pada individu-individu.[4] Pertentangan antara mereka bukan karena para buruh iri atau para majikan egois, melainkan karena kepentingan dua kelas itu secara objektif berlawanan satu sama lain. Menurut Marx, setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya dan kepentingannya ditentukan oleh situasinya yang objektif.
Pada kelas majikan hal itu berarti bahwa mereka berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak mungkin. Bukan karena para pemilik secara pribadi rakus atau asosial, melainkan karena hanya dengan mencapai laba mereka dapat mempertahankan diri dalam persaingan pasar bebas. Dan, karena itu, setiap majikan dengan sendirinya akan menekan biaya tenaga kerja buruh yang dibelinya serendah mungkin. Begitu pula sebaliknya. Dengan sendirinya kelas buruh berkepentingan untuk mendapat upah sebanyak-banyaknya, untuk mengurangi jam kerja, dan untuk menguasai sendiri kondisi-kondisi pekerjaan mereka, dan dengan demikian untuk mengambil alih pabrik tempat mereka bekerja dari tangan kelas pemilik. Kelihatan bahwa secara objektif kepentingan dua kelas itu bertentangan. Majikan yang bersikap sosial pun, serta buruh yang berkomunikasi baik dengan pemilik pabrik secara objektif, tetap mempunyai kepentingan yang bertentangan.
Tampak bahwa hubungan kerja dalam sistem produksi kapitalis, dilihat dalam perspektif Marx, tidak stabil. Kepentingan dua aktor utama tidak dapat disesuaikan. Bahwa sistem kapitalis untuk sementara stabil, adalah karena salah satu dari dua pihak berkuasa sedangkan pihak yang lain dikuasai. Karena para pemilik menguasai bidang ekonomi, mereka dapat memenangkan kepentingan mereka terhadap kepentingan kelas buruh. Tetapi, begitu kekuasaan kelas atas berkurang, hubungan sosial tidak dapat stabil lagi: kelas buruh secara otomatis akan semakin mampu memenangkan kepentingan mereka, sehingga akhirnya terjadi revolusi, dan hak milik pribadi dapat mereka hapuskan. Inilah nasib kelas atas yang hancur ditandai hukuman yang tidak bisa ditawar lagi di tangan kelas bawah yang menjadi algojonya.[5]
Ada beberapa unsur dalam teori kelas Karl Marx yang perlu diperhatikan.
Pertama, tampak betapa besar peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antara buruh dan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif yang ditentukan oleh kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi. Maka seruan agar masing-masing mawas diri, agar mereka mau memecahkan secara musyawarah konflik-konflik yang mungkin timbul, agar kepentingan umum lebih didahulukan daripada kepentingan golongan dan sebagainya, tidak mempan. Masalahnya bukan di situ. Selama sistem ekonomi berdasarkan monopoli hak kekuasaan kelas pemilik atas proses produksi berlangsung, niscaya ada pertentangan antara kedua kelas itu. Bukan perubahan sikap yang mengakhiri konflik kelas, melainkan perubahan struktur kekuasaan ekonomis.
Kedua, karena kepentingan kelas pemilik dan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya mesti bersikap konservatif sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan bersikap progresif dan revolusioner. Kelas atas sudah berkuasa, ia hidup dari pekerjaan kelas bawah. Karena itu, kelas atas secara hakiki berkepentingan untuk mempertahankan status quo, untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan. Mengingat mereka sudah mantap, setiap perubahan mesti mengancam kedudukan mereka itu. Sebaliknya kelas-kelas bawah berkepentingan terhadap perubahan. Karena mereka tertindas, setiap perubahan merupakan kemajuan. Bagi mereka setiap perubahan mesti berupa pembebasan.
Ketiga, dengan demikian menjadi jelas mengapa bagi Marx setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan kepentingan kelas atas, jadi akan mengubah ketergantungannya dari para pemilik dan itu berarti membongkar kekuasaan kelas atas. Sebaliknya, kelas atas, karena la kelas atas, berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka kelas atas tidak pernah mungkin merelakan perubahan sistem kekuasaan, karena perubahan itu niscaya mengakhiri peranannya sebagai kelas atas. Karena itu, sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat tercapai dengan jalan kekerasan, melalui revolusi.
E.
Tanggapan Kritis
Marx
membicarakan sesuatu yang sangat riil. Jika Anda adalah pekerja / karyawan, maka Marx berbicara tentang hubungan Anda dengan owner / pemilik perusahaan Anda. Marx berbicara tentang Anda, teman-teman Anda, saya, teman-teman saya, dan jutaan orang lainnya di luar sana, yang statusnya pekerja.
Sekarang mari kita cek indikator kesamaan maupun ketidaksamaannya. Di Jabodetabek dan sekitarnya; apakah pemilik modal/perusahaan jumlahnya sedikit, dibandingkan dengan jumlah pekerja/karyawan? Namun, apakah kita yang saat ini adalah pekerja tidak ada kemungkinan untuk naik kelas menjadi pemberi kerja / pemilik modal / pemilik perusahaan? (pada masyarakat Marx, hal ini tidak dimungkinkan). Apakah serikat pekerja kita sering cekcok dengan para pemilik perusahaan karena faktor upah dan sistem kerja yang tidak fair? Namun, apakah kita mengamini bahwa konflik kepentingan antara pekerja dan owner perusahaan hanya dapat dipecahkan secara adil melalui cara-cara kekerasan, atau revolusi (dalam bahasa Marx)? Apakah produk hukum kita sudah memberikan perlindungan baik kepada pihak pekerja maupun perusahaan, sehingga hak-hak keduanya terjamin pemenuhannya? (Marx tidak memperhitungkan peran hukum dalam keadilan di bidang ekonomi). Dan apakah sistem ekonomi kita mengedepankan pemerataan dan pemberdayaan usaha kecil-menengah, daripada condong ke sistem monopoli? (Masyarakat Marx hidup dalam sistem ekonomi monopoli kelas atas).
Sekarang mari kita cek indikator kesamaan maupun ketidaksamaannya. Di Jabodetabek dan sekitarnya; apakah pemilik modal/perusahaan jumlahnya sedikit, dibandingkan dengan jumlah pekerja/karyawan? Namun, apakah kita yang saat ini adalah pekerja tidak ada kemungkinan untuk naik kelas menjadi pemberi kerja / pemilik modal / pemilik perusahaan? (pada masyarakat Marx, hal ini tidak dimungkinkan). Apakah serikat pekerja kita sering cekcok dengan para pemilik perusahaan karena faktor upah dan sistem kerja yang tidak fair? Namun, apakah kita mengamini bahwa konflik kepentingan antara pekerja dan owner perusahaan hanya dapat dipecahkan secara adil melalui cara-cara kekerasan, atau revolusi (dalam bahasa Marx)? Apakah produk hukum kita sudah memberikan perlindungan baik kepada pihak pekerja maupun perusahaan, sehingga hak-hak keduanya terjamin pemenuhannya? (Marx tidak memperhitungkan peran hukum dalam keadilan di bidang ekonomi). Dan apakah sistem ekonomi kita mengedepankan pemerataan dan pemberdayaan usaha kecil-menengah, daripada condong ke sistem monopoli? (Masyarakat Marx hidup dalam sistem ekonomi monopoli kelas atas).
Adalah fakta bahwa jumlah usia angkatan kerja kita membeludak, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja; para pemilik modal terbatas kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja. Belum lagi jumlah angkatan kerja yang sedemikian banyak, tidak dilengkapi dengan skill yang mumpuni.
Kondisi-kondisi di atas kerap membuat posisi tawar para pekerja menjadi lemah di hadapan para pemilik modal/perusahaan. Bukan rahasia lagi bahwa masih ada perusahaan-perusahaan "nakal" yang mengupah pekerjanya di bawah UMR yang sudah ditetapkan pemerintah. Selain persoalan upah, masih ada lagi persoalan jam kerja yang tidak fair, jaminan kesejahteraan, hingga PHK massal secara sepihak.
Singkat cerita, kisah-kisah ketidakakuran antara kelas pemilik modal dan pekerja di era Marx, rupanya masih terjadi juga di sekitar kita saat ini, meskipun tidak dalam bentuk dan kadar yang persis sama. Lalu bagaimana kita bereaksi? Kekerasan dan revolusi solusinya?
Menurut hemat saya, solusi yang ditawarkan Marx sarat frustasi dan dangkal. Ada beberapa alasan kenapa solusi Marx lemah. Pertama, Marx terlalu mendewakan sistem ekonomi monopoli, dimana kelas pemilik modal mati-matian mempertahankan status quo mereka dengan terus-menerus menekan biaya produksi yang berimbas pada upah rendah, dan tentu saja makin memburuknya hubungan antara majikan dan buruh. Marx tidak memberi tempat pada otonomi hukum yang pada era itu sudah dikenal sebagai salah satu pilar dasar kehidupan bersama / bernegara.
Daripada bersusah-susah mencari cara supaya ada hukum yang mengatur penguasaan terhadap alat-alat produksi, hukum yang melindungi tenaga kerja, hukum yang menjamin kesamaan akses dan kesempatan terhadap sumber-sumber ekonomi, hukum yang mengatur dinamika pasar; Marx melihat jalan pintas, kekerasan dan revolusi sebagai keniscayaan dari situasi masyarakatnya saat itu. Jadi, di Indonesia yang adalah negara hukum (meskipun penegakan hukum masih terseok-seok), solusi revolusi ala Marx untuk mencapai kekadilan di bidang ekonomi, rasanya tidak laku dan tidak relevan.
Kedua, Marx tidak memberi tempat pada adanya "kesadaran moral dan etis" kaum buruh. Marx yakin sekali bahwa suatu saat kaum buruh tidak bisa menahan amarahnya sehingga terjadi baku hantam dengan para majikan, kekerasan masif, dan revolusi. Marx rasanya sangat obsesif dengan cara kekerasan dan revolusi untuk memecahkan suatu kebuntuan / masalah dalam kehidupan bersama. Padahal cara-cara kekerasan dan revolusi ala Marx makin menjauhkan pihak-pihak yang berselisih dari solusi terbaik yang diinginkan. Marx lupa bahwa para buruh yang ia gambarkan tertindas, bisa saja memiliki kebijaksanaan yang jauh lebih besar daripada dirinya. Para buruh/pekerja dalam konteks ini tidak melihat ada faedahnya cara-cara kekerasan untuk mengubah suatu keadaan; maka langkah yang mereka tempuh pun menjadi lain sama sekali dari opsi Marx.
Kondisi-kondisi di atas kerap membuat posisi tawar para pekerja menjadi lemah di hadapan para pemilik modal/perusahaan. Bukan rahasia lagi bahwa masih ada perusahaan-perusahaan "nakal" yang mengupah pekerjanya di bawah UMR yang sudah ditetapkan pemerintah. Selain persoalan upah, masih ada lagi persoalan jam kerja yang tidak fair, jaminan kesejahteraan, hingga PHK massal secara sepihak.
Singkat cerita, kisah-kisah ketidakakuran antara kelas pemilik modal dan pekerja di era Marx, rupanya masih terjadi juga di sekitar kita saat ini, meskipun tidak dalam bentuk dan kadar yang persis sama. Lalu bagaimana kita bereaksi? Kekerasan dan revolusi solusinya?
Menurut hemat saya, solusi yang ditawarkan Marx sarat frustasi dan dangkal. Ada beberapa alasan kenapa solusi Marx lemah. Pertama, Marx terlalu mendewakan sistem ekonomi monopoli, dimana kelas pemilik modal mati-matian mempertahankan status quo mereka dengan terus-menerus menekan biaya produksi yang berimbas pada upah rendah, dan tentu saja makin memburuknya hubungan antara majikan dan buruh. Marx tidak memberi tempat pada otonomi hukum yang pada era itu sudah dikenal sebagai salah satu pilar dasar kehidupan bersama / bernegara.
Daripada bersusah-susah mencari cara supaya ada hukum yang mengatur penguasaan terhadap alat-alat produksi, hukum yang melindungi tenaga kerja, hukum yang menjamin kesamaan akses dan kesempatan terhadap sumber-sumber ekonomi, hukum yang mengatur dinamika pasar; Marx melihat jalan pintas, kekerasan dan revolusi sebagai keniscayaan dari situasi masyarakatnya saat itu. Jadi, di Indonesia yang adalah negara hukum (meskipun penegakan hukum masih terseok-seok), solusi revolusi ala Marx untuk mencapai kekadilan di bidang ekonomi, rasanya tidak laku dan tidak relevan.
Kedua, Marx tidak memberi tempat pada adanya "kesadaran moral dan etis" kaum buruh. Marx yakin sekali bahwa suatu saat kaum buruh tidak bisa menahan amarahnya sehingga terjadi baku hantam dengan para majikan, kekerasan masif, dan revolusi. Marx rasanya sangat obsesif dengan cara kekerasan dan revolusi untuk memecahkan suatu kebuntuan / masalah dalam kehidupan bersama. Padahal cara-cara kekerasan dan revolusi ala Marx makin menjauhkan pihak-pihak yang berselisih dari solusi terbaik yang diinginkan. Marx lupa bahwa para buruh yang ia gambarkan tertindas, bisa saja memiliki kebijaksanaan yang jauh lebih besar daripada dirinya. Para buruh/pekerja dalam konteks ini tidak melihat ada faedahnya cara-cara kekerasan untuk mengubah suatu keadaan; maka langkah yang mereka tempuh pun menjadi lain sama sekali dari opsi Marx.
Ketiga, Marx terlalu ambisius dan menggenaralisir kompleksitas dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat dengan label konflik antara kelas. Pertanyannya
adalah apakah semua gerak dalam masyarakat harus dipahami sebagai konflik
antara kelas-kelas sosial yang berebutan kekuasaan? Bukankah konflik antarkelas
sosial hanyalah satu saja di antara sekian banyak kemungkinan konflik? Di
hadapan pertanyaan-pertanyaan seperti ini pendapat Marx tidak dapat
dipertahankan. Konflik soial dapat juga berdasarkan perbedaan agama, etnis,
atau budaya dan begitu sering terjadi di berbagai belahan negeri ini. Struktur
kelas sosial bukan satu-satunya faktor kehidupan masyarakat, akan tetapi salah
satu yang kalau diabaikan akan membuat kita tidak mengerti bagaimana masyarakat
itu bergerak.[6]
Daftar Pustaka
F.
Hardiman, Budi. Filsafat Modern. Dari
Machiavelli sampai Nietzsche.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
FX. Sutrisno,
Mudji & F. Budi Hardiman. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Magnis-Suseno,
Franz. Pemikiran Karl Marx. Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003
T.Lavine,
Z,. Petualangan Filsafat. Dari Socrates ke Sartre. Yogyakarta: Jendela,
2002.
[1]Mengikuti uraian Franz Magnis-Suseno dalam
Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,
hlm. 110-119
[2] C.D.
Kernig (ed.), Marxism, Communism and
Western Society, Vol. II dalam Franz
Magnis-Suseno, hlm.111
[6] Franz Magnis-Suseno, “Karl Marx” dalam Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman, hlm. 129
Comments
Post a Comment