By Danang Priatmodjo[1]
PENGANTAR
Penyediaan tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah amanat Undang-Undang Dasar. Masyarakat berpenghasilan menengah ke atas mampu memenuhi sendiri kebutuhan tempat tinggal mereka. Menjadi kewajiban pemerintah di tingkat pusat maupun daerah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Masalah penyediaan perumahan rakyat (perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah) adalah masalah nasional, karena menyangkut ketimpangan kesejahteraan (kesempatan kerja sebagai hasil pembangunan ekonomi) antara kota-kota besar dan kota-kota kecil serta wilayah-wilayah perdesaan. Ketimpangan ini berakibat mengalirnya penduduk desa-desa dan kota-kota kecil menuju kota-kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Kota-kota besar harus menyediakan permukiman bagi mereka.
Tidak semua pendatang memiliki keahlian atau keterampilan yang mencukupi untuk mencari pekerjaan di kota besar. Sebagian besar mereka berlatarbelakang petani. Mereka yang tidak beruntung memperoleh pekerjaan yang baik – namun tetap bertahan dengan bekerja serabutan di kota – tidak mampu membayar sewa rumah yang layak, maka mereka berjejal di perumahan kumuh, bahkan menciptakan permukiman kumuh di tanah-tanah kosong yang biasanya berstatus tanah negara.
Masalah yang dihadapi oleh kota-kota besar dalam penyediaan perumahan rakyat adalah kelangkaan lahan perkotaan. Bila pun tersedia, harganya sangat mahal, sehingga tidak terjangkau oleh golongan masyarakat yang akan dirumahkan. Untuk itu, pemerintah kota harus pandai-pandai mencari peluang ketersediaan lahan serta menciptakan pola-pola subsidi atau subsidi silang agar dapat membangun perumahan rakyat di tengah kota.
Dengan situasi seperti di atas, upaya penyediaan perumahan rakyat harus dilakukan serentak di dua tingkatan, yaitu tingkat nasional dan tingkat kota. Pada tingkat nasional, perlu dilakukan upaya pemerataan kesejahteraan dengan cara membangun infrastruktur di daerah-daerah yang mampu meningkatkan kegiatan ekonomi, sehingga penduduk desa-desa dan kota-kota kecil tidak harus berhijrah ke kota-kota besar mencari lapangan pekerjaan. Di tingkat kota, perlu dirancang pola penyediaan perumahan rakyat yang dapat menjamin setiap penduduk kota memperoleh tempat tinggal yang layak secara berkelanjutan.
PEMERATAAN KESEJAHTERAAN DI TINGKAT NASIONAL
Pembangunan infrastruktur yang sedang digalakkan akhir-akhir ini telah mulai menampakkan hasil. Disparitas harga antara wilayah Jawa dan wilayah luar Jawa sedikit demi sedikit telah diatasi. Upaya ini perlu didukung dan ditingkatkan volumenya, sehingga kemakmuran yang selama ini menumpuk di Pulau Jawa – dan khususnya di Jakarta – hendaknya bisa didistribusikan secara merata ke daerah-daerah di luar Jawa, khususnya di wilayah timur Indonesia. Bila kesejahteraan telah merata, diharapkan angka urbanisasi ke kota-kota besar akan menurun secara signifikan.
Upaya pemerintah pusat melalui pembangunan infrastruktur ini akan lebih memberikan hasil manakala pemerintah daerah setempat (kabupaten/kota) menyambut dengan menggali potensi daerah masing-masing dan menciptakan program-program yang menyejahterakan masyarakatnya. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo berhasil mengembangkan PDAM bukan hanya memenuhi kebutuhan air bersih bagi warganya, melainkan juga memproduksi air minum kemasan (botol/gelas) yang mampu menciptakan lapangan kerja sekaligus memberikan tambahan PAD Kabupaten.
Contoh lain, Kabupaten Banyuwangi berhasil menciptakan berbagai event tingkat nasional maupun internasional, yang membuat kota ini menjadi kota tujuan, bukan sekedar “dilewati” orang Jawa dalam perjalanan menuju Bali, atau sebaliknya. Kegiatan ekonomi di kota Banyuwangi meningkat tajam, sehingga kota kecil itu kini memiliki bandara sendiri, yang melayani penerbangan langsung ke Jakarta.
Banyak kota-kota kecil lain yang mencatat keberhasilan serupa. Kota Blitar, misalnya, sejak lebih dari lima tahun yang lalu telah menyatakan diri bebas dari perumahan kumuh. Selain dana stimulans yang diberikan oleh pemerintah kota, penduduk (para tetangga) juga ikut bergotong-royong membantu biaya memperbaiki rumah-rumah yang kondisinya rusak berat.
Kunci keberhasilan kota-kota kecil tersebut dalam menyejahterakan warganya adalah kesungguhan, ketulusan dan integritas kepala daerahnya (bupati atau walikota). Pemerintah pusat hendaknya mengawal proses pencalonan dan pemilihan kepala daerah, agar diperoleh bupati dan walikota yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Meski pesona kota besar tetap akan menarik sebagian penduduk desa atau kota kecil, tapi bila kesejahteraan di daerah lebih terjamin, angka perpindahan penduduk ke kota besar tentu akan turun. Hal ini merupakan prakondisi yang penting, agar kota-kota besar tidak terbebani penduduk tambahan akibat arus urbanisasi.
Guna menjamin keberlanjutan (sustainability) perumahan rakyat yang dibangun di perkotaan, diperlukan perencanaan yang matang menyangkut: (1) Penyediaan lahan; (2) Pengaturan kehidupan sosial yang serasi; (3) Pengembangan ke arah vertikal; (4) Pembiayaan; (5) Perencanaan kawasan dan bangunan.
1. Penyediaan lahan
Sebagaimana telah disebutkan di bagian pengantar, penyediaan lahan untuk perumahan rakyat merupakan hal pelik bagi kota-kota besar. Harga tanah di dalam kota sangat mahal, sehingga sering terjadi perumahan rakyat dibangun di pinggiran atau luar kota yang harga tanahnya masih relatif murah. Ini tidak menjawab kebutuhan, karena mereka yang dirumahkan di situ akan kesulitan menjangkau tempat bekerja, terutama jika sarana transportasi publik yang layak belum tersedia. Khusus untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang pada umumnya bekerja di sektor informal, tempat tinggal harus sedekat mungkin dengan lokasi tempat mereka memiliki mata pencaharian.
Pemerintah kota harus mengupayakan ketersediaan tanah di dalam kota untuk membangun perumahan rakyat. Bila masih ada pabrik-pabrik atau gudang-gudang di dalam kota, perlu dilakukan relokasi – dipindahkan ke kawasan luar kota – agar tersedia lahan untuk perumahan. Demikian juga sarana-sarana lain semisal instalasi militer yang tidak harus berada di dalam kota, dapat direlokasi dan dimanfaatkan tanahnya untuk membangun perumahan rakyat.
Salah satu kemungkinan lain adalah menerapkan “subsidi silang” pada pengembangan skala besar yang dilakukan oleh pengembang swasta. Pada saat ini, di kota-kota besar pengembang membebaskan tanah dalam skala besar. Dengan pola urban renewal, tanah-tanah dengan intensitas rendah (biasanya kawasan perumahan 1-2 lantai) diratakan dengan tanah dan dibangun menara-menara tinggi dengan fungsi bisnis/komersial serta hunian (rumah susun mewah). Pemerintah kota bisa menerapkan aturan perizinan yang mewajibkan pengembang menyerahkan sekian persen lahan kepada pemerintah, guna dibangun perumahan rakyat.
Pada dasarnya, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewajiban menyiapkan Kasiba (kawasan siap bangun) yang terdiri atas satu atau lebih Lisiba (lingkungan siap bangun), atau Lisiba BS (Lisiba yang berdiri sendiri), sesuai amanat PP No. 80/1999. Kasiba dan Lisiba adalah lahan skala besar yang dilengkapi jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan ini akan berfungsi sebagai “bank tanah” yang bisa menjamin masyarakat berpenghasilan rendah bisa tinggal di rumah yang layak, karena harga tanah tidak dilipatgandakan oleh para spekulan tanah.
2. Pengaturan kehidupan sosial yang serasi
Dengan mekanisme pasar yang berjalan selama ini, para pengembang yang menguasai tanah di tengah kota hanya akan membangun fasilitas bagi masyarakat berpenghasilan tinggi. Hunian yang dibangun adalah apartemen mewah. Hal ini akan mengakibatkan terciptanya kantong-kantong hunian eksklusif yang rawan bila terjadi kerusuhan sebagaimana pernah kita alami pada tahun 1998. Dengan kata lain, lingkungan hunian eksklusif semacam itu secara sosial tidak sustainable.
Pemerintah kota harus bisa mengatur agar terjadi percampuran strata sosial di suatu kawasan hunian. Kita telah memiliki peraturan tentang “hunian berimbang” yang mewajibkan pengembang untuk membangun perumahan dengan komposisi semula 1 : 3 : 6 (SKB 3 Menteri tahun 1992 yang dikukuhkan dalam UU No. 1/2011) lalu diubah menjadi 1 : 2 : 3 (Peraturan Menpera No. 10/2012). Artinya, setiap membangun 1 rumah mewah harus disertai 2 rumah menengah dan 3 rumah sederhana. Kenyataan di lapangan, peraturan ini sering tidak dilaksanakan oleh pengembang dan pemerintah kota tidak mampu untuk menindaknya.
Kiranya perlu dilakukan pendekatan kepada para pengembang agar ketentuan tentang hunian berimbang ini dapat dipatuhi. Konsep hunian berimbang ini bertujuan untuk menjaga keserasian sosial melalui hidup berdampingan antara warga masyarakat dari berbagai strata sosial dalam satu lingkungan hunian. Bukan hanya kebutuhan kita di Indonesia, tuntutan untuk menghadirkan hunian “bercampur” ini merupakan kesadaran yang bersifat universal, sebagaimana tercermin dalam gerakan “New Urbanism” – yaitu gerakan pembaruan dalam konsep perancangan/penataan kota – yang mulai marak di awal tahun 1980an dan kemudian dikukuhkan dalam “Charter of the New Urbanism” (1993). Butir ke-4 dari 10 butir prinsip New Urbanism adalah “Mixed Housing” yang dideskripsikan sebagai: A range of types, sizes and prices in closer proximity. Seluruh dunia sudah menyerukan perlunya hidup berdampingan antara berbagai strata sosial, maka kita harus lebih bersungguh-sungguh melaksanakan peraturan tentang hunian berimbang.
3. Pengembangan ke arah vertikal
Khusus untuk kota-kota besar yang sudah padat dan mengalami kelangkaan tanah perkotaan, hunian vertikal tidak dapat dielakkan. Pengembangan secara vertikal dibutuhkan untuk efisiensi penggunaan lahan perkotaan. Bila tidak, kota akan berkembang secara horisontal, “memakan” lahan-lahan pertanian di tepi dan luar kota. Akan terjadi sprawl. Ukuran kota menjadi semakin luas, memboroskan sarana dan prasarana kota, memboroskan energi warga kota yang setiap hari pergi-pulang dari tempat tinggal ke tempat bekerja dan sebaliknya, serta mengakibatkan kemacetan lalu lintas di berbagai wilayah kota. Pengembangan vertikal akan membuat kota menjadi kompak, hemat sarana dan prasarana, hemat biaya transportasi, dan dengan demikian lebih sustainable.
Sampai hari ini masih saja terdengar suara yang mengatakan: “Rumah susun tidak sesuai dengan budaya kita”. Pandangan seperti ini perlu diluruskan. Di negara manapun, rumah susun hadir karena kebutuhan, bukan karena kebudayaan. Karena ada kebutuhan, maka harus dibudayakan. Hendaknya diingat bahwa kebudayaan bukan merupakan suatu hal yang statis, melainkan selalu berubah seiring dengan perkembangan jaman.
Terkait dengan kebutuhan mengembangkan hunian secara vertikal, upaya semacam perbaikan kampung (slum upgrading) pada situasi sekarang ini sudah tidak memadai, karena membiarkan penggunaan tanah perkotaan secara tidak efisien.
4. Pembiayaan
Tak dapat dipungkiri, pembiayaan adalah masalah terbesar dalam penyediaan perumahan rakyat. Hal ini dikarenakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah – terlebih MBR – memiliki affordability yang rendah, yang tidak memungkinkan untuk bisa tinggal di rumah yang layak tanpa subsidi pemerintah. Untuk itu perlu dicarikan upaya-upaya kreatif menggali sumber dana guna membangun perumahan rakyat. Subsidi silang adalah salah satu cara. Golongan atas dan menengah atas ketika membeli rumah harus dipungut sekian persen subsidi untuk golongan bawah dan menengah-bawah. Golongan menengah adalah batas keseimbangan, tidak perlu disubsidi namun juga tidak bisa memberikan subsidi. MBR mutlak memerlukan subsidi, bukan hanya dalam pengadaan, melainkan juga pemeliharaan. Seperti kita ketahui, rumah susun bagi MBR pada umumnya menjadi kumuh setelah beberapa tahun dihuni, karena mereka tidak mampu membiayai pemeliharaan bangunannya.
Upaya kreatif lain yang bisa dilakukan adalah menerapkan pajak progresif bagi pemilik tanah dan bangunan dalam jumlah banyak (sebagaimana diterapkan pada kepemilikan kendaraan bermotor). Dengan nama pemilik yang sama, kepemilikan tanah/bangunan ke-dua, ke-tiga, dan seterusnya mestinya dinaikkan pajaknya sekian persen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang kaya banyak membeli tanah atau rumah untuk investasi. Tanah menjadi komoditas, maka harganya selalu naik dengan cepat. Ini tidak adil bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Pada dasarnya, investasi tanah sama dengan “menimbun sembako”, karena tanah juga merupakan kebutuhan pokok yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Alokasi anggaran perumahan rakyat di APBN perlu ditingkatkan secara signifikan. Menyusul keberhasilan pemerintah di bidang pelayanan kesehatan (dengan alokasi anggaran yang besar), serta alokasi anggaran yang sangat besar untuk bidang pendidikan (meskipun hasilnya belum begitu terlihat), maka kini saatnya pemerintah menggelontorkan anggaran yang besar untuk bidang penyediaan perumahan rakyat.
Hal yang perlu dicermati terkait dengan subsidi perumahan rakyat adalah pengawasan dan pengendalian agar subsidi tidak jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak (baca: golongan masyarakat yang mampu). Lagi-lagi telah menjadi rahasia umum, bahwa unit-unit rumah susun yang pembangunannya disubsidi oleh pemerintah banyak yang dibeli oleh kalangan mampu dan sangat mampu untuk diberikan kepada anak-cucu atau untuk investasi.
5. Perencanaan kawasan dan bangunan
Perumahan rakyat perlu dibangun di kawasan-kawasan tengah kota yang berdekatan dengan tempat bekerja para penghuninya. Lebih baik lagi bila berdekatan dengan stasiun kereta api atau dekat dengan jalan raya yang dilalui jalur sistem transit (MRT, LRT, atau BRT). MBR yang bekerja di sektor informal tidak bisa menghuni perumahan yang lokasinya jauh dari tempat mereka mencari nafkah. MBR harus dirumahkan di pusat-pusat kegiatan di mana mereka memiliki peluang memperoleh pekerjaan (berjualan, sebagai buruh, dsb.).
Kawasan perumahan hendaknya merupakan percampuran antar berbagai lapisan sosial masyarakat, agar mereka hidup berdampingan, menggunakan sarana umum (seperti taman bermain serta fasilitas pelayanan publik lainnya) bersama secara harmonis. Dalam kerangka efisiensi penggunaan lahan dan menciptakan livability kawasan, perlu dikembangkan mixed-use – hunian ditempatkan di atas sarana-sarana bisnis/komersial. Beberapa tahun yang lalu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pernah punya rencana membangun menara-menara perumahan rakyat di atas pasar-pasar yang dikelola PD Pasar Jaya. Bila hal ini bisa direalisasikan, tentu akan banyak membantu penyediaan perumahan rakyat.
Dalam kasus peremajaan kawasan kumuh atau pemindahan penghuni permukiman ilegal ke perumahan rakyat, perlu didahului dengan pendataan penduduk secara cermat, agar tidak terjadi “percaloan” atau penyerobotan oleh orang yang tidak berhak. Kiranya kita dapat mencontoh cara pendataan yang dilakukan oleh Yayasan Budha Tzu Chi ketika memindahkan penghuni tepian Kali Angke ke rumah susun yang mereka bangun di Cengkareng.
Bangunan perumahan rakyat (baik landed houses maupun rumah susun) harus memenuhi syarat rumah tinggal dan layak. Besaran luas unit rumah harus memungkinkan terjadinya kehidupan keluarga yang sehat lahir dan batin. Bangunan harus sederhana, dalam arti perawatannya mudah, agar tidak cepat menjadi kumuh karena penghuni tidak mampu membiayai pemeliharaan.
Selain itu perlu diberikan panduan bila pemilik/penghuni akan melakukan pengembangan atau perluasan unit rumah yang dimiliki. Unit rumah susun harus dikendalikan dengan tegas, agar penghuni tidak membuat perubahan yang bisa berpengaruh pada kekuatan struktur bangunan. Unit rumah tapak perlu diberikan panduan perubahan atau penambahan, agar kesehatan tetap terjaga (cukup sirkulasi udara serta sinar matahari) dan peresapan air hujan ke dalam tanah tetap terjaga.
PENUTUP
Dengan perencanaan yang matang, diharapkan penyediaan perumahan rakyat di perkotaan dapat dilakukan dengan selalu mempertimbangkan prinsip keberlanjutan. Melihat kemajuan di berbagai bidang telah dicapai oleh pemerintah saat ini, kiranya kita bisa berharap sektor penyediaan perumahan rakyat segera mendapat giliran penanganan yang all-out, agar amanat UUD untuk memberikan tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap warga negara dapat kita laksanakan.
Setelah sukses dengan “Kartu Indonesia Sehat” dan “Kartu Indonesia Pintar”, tidak berlebihan kiranya bila kita berharap dalam waktu dekat pemerintah menerbitkan “Kartu Indonesia Mapan”, yang memberikan jaminan setiap warga negara bisa menempati rumah tinggal yang layak.
Buchwald, Emilie (ed.)
2003, Toward the Livable City, Minneapolis: Milkweed Editions
Hughes, Kingsley John
1996, “Hong Kong: making the most of a compact city”, Urban Design International, vol.1, no.1, p. 95-99
Masnavi, M.R.
1998, “Sustainability of the Compact City: Can it be a new Paradigm for Urban Planning in the New Millennium ?”, The Twentieth Century Urban Planning Experience, editor : Robert Freestone, p. 604-609, FBE-UNSW, Sydney
van der Molen, Paul & Christiaan Lemmen
2005, “Modern Land Consolidation” dalam Archive, Volume 19, Issue 1, January
Priatmodjo, Danang
2015, “Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan Rakyat” dalam HUD-Magz, edisi 5
United Nations
2006, Guidelines on Social Housing: Principles and Examples, Geneva: Economic Commission for Europe
[1] Danang Priatmodjo adalah dosen Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara
[2] Pengembangan dan revisi bagian makalah Danang Priatmodjo berjudul “Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan Rakyat” dipresentasikan dalam Diskusi Percepatan Pembangunan Perumahan Rakyat Skala Besar melalui Kasiba dan Lisiba BS di Daerah, diselenggarakan oleh HUD Institute di Jakarta, 14 Januari 2015, dan kemudian dimuat di HUD-Magz edisi 5, tahun 2015.
Comments
Post a Comment