RUMAH SEBAGAI BASIS KETAHANAN KELUARGA

By Parwoto [2]


ABSTRAK
“Rumah selalu menjadi kebutuhan dasar manusia dan pemenuhan kebutuhan hunian tersebut secara swadaya akan membuat yang bersangkutan tangguh dan mampu bertahan dari berbagai tantangan hidup. Sebaliknya pemenuhan kebutuhan hunian tersebut dengan cara dipasok atau malah diberi akan sangat melemahkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.”


PENGANTAR


“Sejak jaman purba peran rumah sebagai tempat berlindung telah secara luas dipahami. Utamanya berlindung dari iklim atau cuaca meskipun ada juga alasan berlindung dari serangan binatang buas. Hal tersebut dapat dilihat dengan nyata dari perbedaan morfologi antara rumah di negara sub tropis dengan 4 musim dan rumah di negara tropis yang hanya mengalami 2 musim. 


RUMAH SEBAGAI BASIS KETAHANAN KELUARGA

Di negara sub tropis dengan 4 musim dan ada musim salju yang sangat ganas, maka terlihat bahwa rumah mereka sebenarnya adalah dinding yang tertutup tetapi karena mereka juga perlu cahaya dan udara segar maka dinding tertutup tersebut di lubangi yang kita namai jendela. Sementara rumah rumah di wilayah tropis justru terbalik manusia pada dasarnya pingin tinggal di alam tetapi karena privasi dan keamanan maka mereka membangun bidang bidang penutup meskipun tidak rapat seluruhnya yang kemudian kita kenal sebagai kamar”



1.       BEBERAPA PANDANGAN MENGENAI RUMAH


UUD 45 pasal 28H melihat bahwa rumah adalah hak dasar manusia atau “human right”[3] artinya bahwa bertempat tinggal yang layak itu adalah hak dari setiap orang. Oleh sebab itu harus menjadi tanggung jawab negara sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehingga tiap orang dapat hidup layak dan terbuka peluang mengembangkan diri. Sementara beberapa pihak melihat bahwa rumah adalah tiket (cover chart) untuk masuk ke ekonomi perkotaan. 


Faktanya orang yang tinggal di rumah dengan alamat yang jelas artinya rumah layak lebih mudah mendapat pekerjaan dari pada yang alamatnya tidak jelas. Setiap orang pasti ragu kalau ada orang melamar sebagai pembantu rumah tangga/satpam dengan alamat yang tidak jelas. Jadi benar rumah tentunya rumah yang layak adalah tiket untuk masuk ke ekonomi perkotaan (urban economy). 


Bung Hatta malah menekankan rumah sangat berpengaruh atas jiwa manusia. Menurut Bung Hatta, tinggal di dalam gubuk yang kumuh itu identik dengan sikap pasrah dan menerima kenyataan (ingat masa itu adalah masa perjuangan). Oleh sebab itu untuk membebaskan jiwa rakyat dari sikap pasrah maka “gubuk-gubuk derita” harus digantikan dengan rumah yang bermartabat dan didalamnya harus tertanam dasar untuk menghargai kebudayaan. Sehingga banyak pihak juga sependapat bahwa rumah dan lingkungannya adalah pusat persemaian budaya keluarga yang pada gilirannya menjadi pusat persemaian budaya bangsa.


Sebagian orang lagi dan pada umumnya para pengembang justru melihat rumah sebagai benda komoditi yang dapat diproduksi secara massal untuk diperjualbelikan dan untuk investasi keluarga maupun negara. Sedang banyak pandangan sudut sosial justru melihat rumah sebagai benda untuk didistribusikan sebagai jalan pintas redistribusi asset dalam rangka mengurangi kesenjangan.


Sementara rakyat kecil yang biasa disebut kaum MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) justru melihat bahwa rumah adalah markas dan ekspresi proses perjuangan keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan dan penghidupan. Jadi jejak perjuangan hidupnya akan sangat nyata terlihat dari rumahnya.



2.       ARUS UTAMA PENYEDIAAN RUMAH


Tidak semua pandangan tersebut kondusif terhadap ketahanan masyarakat utamanya masyarakat berpenghasilan rendah yang secara populer disebut rakyat.  


Pandangan yang melihat rumah sebagai hak dasar yang didukung pemikiran bahwa rumah adalah budsarman (kebutuhan dasar manusia), rumah sebagai persemaian budaya dan membangun martabat keluarga dan tentu saja rumah sebagai markas bagi keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan dan penghidupan dalam aplikasinya sangat mendorong ketahanan keluarga dan pada gilirannya ketahanan masyarakat dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Dalam konteks tertentu seperti antara lain bencana alam, relokasi dan sebagainya, pandangan bahwa rumah adalah obyek yang dapat didistribusikan gratis ke yang lemah atau korban sebagai upaya mengurangi kesenjangan dapat dipahami.


Meskipun hampir semua pandangan tersebut di atas mendorong atau kondusif terhadap ketahanan masyarakat tetapi pandangan yang melihat rumah sebagai benda komoditi justru tidak berhasil meningkatkan ketahanan masyarakat tetapi justru sadar tidak sadar meningkatkan kesejahteraan pengusaha penyediaan rumah atau para pengembang.


Ironinya, arus utama (main stream) penyediaan perumahan di Indonesia justru menganut pandangan bahwa rumah adalah benda komoditi dan mendudukkan sektor formal sebagai mitra utama pemerintah dalam penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah maupun bagi masyarakat yang non penghasilan rendah. Dengan kata lain, mendudukkan penyelesaian perumahan sepenuhnya pada kemampuan pasar komersial yang dianggap oleh banyak pihak utamanya pemerintah mampu menyelesaikan persoalan perumahan bagi masyarakat banyak. Pasar komersial ini  diharapkan mampu memberikan solusi kepada kedua jenis kebutuhan perumahan, yaitu perumahan sebagai kebutuhan dasar dan perumahan sebagai komoditi.


Pasar komersial ini dipasok oleh pola penyediaan perumahan yang secara formal diterima sebagai bagian dari kebijakan dan strategi penyediaan perumahan, yaitu pola penyediaan oleh pihak ke tiga atau pengembang yang menghasilkan unit-unit rumah sebagai komoditi untuk dipasarkan. Sedangkan urusan perumahan untuk masyarakat penghasilan rendah yang membutuhkan perumahan sebagai kebutuhan dasar dititipkan pada mekanisme pasar komersial ini melalui pembangunan rumah bersubsidi.


Dari sisi penyediaan pola ini ternyata hanya menyediakan kurang dari 20% kebutuhan perumahan selebihnya masyarakat harus menggantungkan pemenuhan kebutuhan masing masing melalui pola swadaya. Ini pun sering kali dipertanyakan apakah kemampuan pengadaan pasar komersial ini benar-benar mampu memenuhi kebutuhan nyata yang diharapkan masyarakat dengan berbagai kriterianya sebagaimana yang sebenarnya terjadi di lapangan, khususnya untuk masyarakat yang menjadi sasaran utama penyediaan rumah bersubsidi yaitu para PNS gol I dan II, buruh, pedagang kaki lima, supir angkutan umum, sektor informal dan masyarakat penghasilan rendah atau miskin lainnya, yang masing-masing memiliki karakteristik permintaan (demand) yang berbeda-beda. Belum lagi produk yang dihasilkan sering kali jauh di bawah standar yang ditentukan.


Koran Tempo tgl 22 Agustus 2017 mencatat pengamatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bahwa 30-40% rumah bersubsidi yang dibangun developer dalam rangka sejuta rumah justru tidak layak huni padahal hingga kini Pemerintah sudah menyalurkan 504.079 unit rumah bersubsidi kepada masyarakat.


Situasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa 80% kebutuhan perumahan telah dipenuhi melalui mekanisme pasar yang lain yaitu pola penyediaan perumahan swadaya atau yang sering kita kenal sebagai pasar sosial dimana fungsi demand dan supply berada dalam satu tangan; dari, oleh dan untuk masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar yang tidak terlayani oleh pasar komersial. Anehnya pola ini sampai saat ini masih tetap tidak dapat menjadi arus utama (main stream) dari penyediaan perumahan nasional meskipun secara nyata pola ini telah mampu memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat lebih dari 80%.


3.       ANCAMAN
Berbagai pandangan yang akhirnya bermuara pada pola penyediaan rumah yg kondusif thd ketahanan masyarakat sering kali menghadapi banyak ancaman.


Ancaman yang sangat nyata adalah komersialisasi dan faktanya arus utama penyediaan perumahan Indonesia adalah justru pola pasokan melalui pasar komersial. Ini berarti prioritas alokasi sumberdaya pasti jatuh ke pasar komersial yang berarti pola swadaya atau pasar sosial yang dilakukan oleh masing masing calon penghuni akan kesulitkan dalam bersaing mendapatkan sumberdaya kunci perumahan seperti lahan, dana, bahan bangunan, dsb.

Komersialisasi ini mempunyai 2 dampak sebagai berikut :

a.  Kelangkaan sumberdaya kunci perumahan karena penguasaan besar besaran utamanya lahan oleh pengembang.

b.  Naiknya harga berbagai sumberdaya kunci perumahan termasuk harga lahan, bahan bangunan dan upah buruh.


Situasi ini, kelangkaan dan kenaikan sumberdaya kunci perumahan sangat menyulitkan masyarakat penghasilan rendah untuk dapat mengorganisasi pembangunan rumah mereka secara swadaya. Padahal penyelenggaraan perumahan secara swadaya ini sangat kondusif dalam membangun ketahanan masyarakat karena masyarakat bertindak sebagai pelaku utama dan subyek pembangunan bukan hanya obyek yang selalu diberi atau disediakan.


Akhirnya banyak pembangunan perumahan yang dilakukan masyarakat penghasilan rendah secara swadaya oleh sebab keterbatasannya dilakukan di lokasi lokasi yang ilegal atau lokasi lokasi yang rentan bahaya seperti pinggir sungai, sepanjang rel kereta api, dibalik balik dinding pabrik dsb. Situasi ini juga memperburuk citra pembangunan perumahan secara swadaya yang dicap menghasilkan permukiman kumuh di kota kota besar, sedang dan kota kota kecil yang sedang tumbuh pesat.


Fakta fakta ini memperkuat anggapan beberapa pejabat bahwa mitra kerja penyediaan rumah yang memenuhi syarat hanyalah sector formal yang dalam hal ini diwakili oleh para pengembang (developer), masyarakat hanya dianggap sebagai sumber persoalan.


Untungnya masih banyak pihak yang melihat kegagalan pola swadaya adalah karena banyaknya keterbatasan yang dihadapi masyarakat berpenghasilan rendah yang seharusnya malah menjadi tanggung jawab pemerintah seperti menetapkan lokasi yang layak, penyediaan lahan murah, dsb,  yang  selama ini tidak terjadi. Jadi dengan kata lain ini yang terjadi adalah “free fight” antara pasar komersial dan pasar sosial atau antara sector formal dan informal.


Ketidakadilannya justru karena sektor formal mendapat berbagai dukungan sementara sector informal harus mengandalkan kekuatan sendiri. Situasi ini sebenarnya sudah sangat lama terjadi dan tidak pernah diselesaikan. Sebagai contoh, di awal sembilan puluhan dimana untuk perbaikan kampung 1 ha mendapat dukungan dana Rp 3,2 juta sementara pengembang yang mau membangun RS/RSS diberikan dukungan psdpu (prasarana sarana dasar ke-pu-an) Rp 1,2 jt per unit rumah. Padahal satu ha itu dapat menampung lebih dari 80 unit rumah, artinya para pengusaha yang ingin mendapat untung dari pekerjaan tersebut menerima bantuan dana mínimum sekitar Rp 96 jt, sementara masyarakat yang membangun rumah dan lingkungannya sendiri untuk digunakan sendiri sebagai pemenuhan budsarman (kebutuhan dasar manusia) hanya dapat dukungan Rp 3,2 juta/ha.


Semua ini akhirnya berbuntut pada kondisi perumahan yang cukup parah seperti munculnya perumahan tidak layak huni, permukiman kumuh dan sebagainya dengan rincian sebagai berikut: backlog perumahan masih saja 7,6 juta (penghunian), 13,5 juta (kepemilikan), rumah tidak layak huni 3,4 juta, sementara kumuh perkotaan mencapai 38.341 ha, kumuh perdesaan 78.384 ha dan wilayah khusus 3.049 ha[4] dengan hasil akhirnya melemahnya ketahanan masyarakat.



4.       POLA PASOKAN LAWAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Melihat kegagalan yang menahun dari pola penyediaan perumahan yang  mengandalkan sektor formal dengan mekanisme pasar komersial perlu dipikirkan kembali alternatif solusi yang berbeda bukan “business as usual”.


Untuk membahas itu perlu dijernihkan dahulu dua hal, yaitu pengertian Pola Pasokan dan Pemberdayaan Masyarakat. Pola Pasokan disini dimaksudkan sebagai pola penyediaan perumahan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pola ini menitik beratkan pada kemampuan penyedia/pemasok yang dalam hal ini adalah pemerintah dan mitra kerjanya untuk memproduksi rumah yang biasa kita kenal sebagai pengembang. 


Persoalan utama yang ingin dijawab adalah kelangkaan rumah atau sering disebut sebagai “housing backlog”. Pola ini melihat rumah sebagai produk yang dapat diproduksi secara besar besaran oleh pemerintah dan mitra kerjanya (para pengembang). Pola ini juga menekankan nilai tukar (exchange value) sehingga segala sesuatu terkait dengan harga rumah akan sangat diperhatikan, seperti misalnya kosmetik rumah dan surat surat/legalitas rumah. 


Pola ini juga memisahkan antara fungsi “supply” dan fungsi “demand” masing-masing berada di pihak yang berbeda. Pola pasokan ini hanya mengandalkan pengembang untuk memproduksi rumah dengan dibantu banyak fasilitas oleh pemerintah. Ironisnya orientasi pengembang tetap adalah profit, sehingga kemampuan produksinya juga terbatas khususnya untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah padahal backlog perumahan justru terkait dengan masyarakat berpenghasilan rendah.


Sementara itu pola pemberdayaan masyarakat menekankan pelaku utama penyediaan perumahan adalah masyarakat luas atau semua unsur masyarakat yang diberdayakan agar mampu memenuhi kebutuhan masing masing melalui pola swadaya yang terbukti telah mampu memenuhi 80% kebutuhan perumahan di Indonesia.


Hal tersebut mudah dimengerti karena secara historis penyediaan rumah secara swadaya sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat oleh sebab dua hal, (1) karena teknolgi pembangunan rumah (non engineering structure) sdh dikenal sejak dulu (2) sebagai implikasi berkepanjangan dari dikotomi kebijakan penanganan kota sebelum kemerdekaan yang secara administrasi memisahkan wilayah kota menjadi dua, "the official city" (kota resmi) pada umumnya sepanjang jalan utama, dimana tanah dibeli dan dikonversikan dalam bentuk hak-hak Barat yang kemudian juga dikenal sebagai "bebouwdekom" (built up area/wilayah terbangun) dan secara administrasi berada di dalam yurisdiksi pemerintahan kota. Konsekuensinya menerima banyak sekali subsidi khususnya dalam menyediakan pelayanan prasarana. 


Sedangkan wilayah kota lainnya disebut "Inlandse gemeenten" (permukiman mandiri penduduk asli), dimana sebagian besar masyarakat atau penduduk asli tinggal dan mengembangkan lingkungan mereka berdasarkan hukum adat tanpa dukungan pemerintah kota sebab tidak dianggap sebagai bagian wilayah kota yang juga disebut “kampung” dan berada dibawah yurisdiksi pemerintahan kabupaten. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di kota-kota besar sejak sebelum kemerdekaan tumbuh dalam bentuk permukiman spontan (spontaneous settlements) yang lebih dikenal sebagai kampung [5]) yang pada umumnya terletak di belakang dari bangunan-bangunan gedung yang teratur penataannya yang sebelum kemerdekaan dikenal sebagai wilayah terbangun (bebouwdekom).


Berangkat dari pemikiran tersebut maka diusulkan beberapa langkah strategis dalam pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat luas utamanya masyarakat berpenghasilan rendah , sebagai berikut:


a)      Masyarakat sebagai pelaku utama
Kedudukkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pola swadaya, dimana baik sisi supply maupun demand berada dalam satu tangan si  penghuni atau calon penghuni yang membangun rumahnya secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, dalam pikirannya hanya ada satu kata hemat. Pola ini memanfaatkan sumberdaya pribadi dan sangat menekankan nilai guna (use value) sehingga segala sesuatu yang terkait dengan fungsi dan kegunaan rumah menjadi perhatian utama seperti kedekatan dengan tempat mencari nafkah, luas ruangan yang mampu diadakan, pilihan bahan bangunan, dsb.


b)    Pemberdayaan
Mengingat saat ini masyarakat utamanya yang berpenghasilan rendah menghadapi berbagai hambatnya dalam menyelenggarakan perumahan mereka maka langkah kedua yang harus dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat agar masyarakat mampu menyelenggarakan perumahan mereka dan mampu menentukan sejarah hidup mereka. Melalui pemberdayaan ini penyediaan perumahan dapat dilakukan secara serentak diseluruh nusantara karena pelakunya adalah masyarakat sendiri.


c)    Menciptakan iklim yang kondusif
Pemberdayaan saja tidak cukup harus disertai dengan menciptakan iklim yang kondusif:

·  Bangun iklim yang adil, termasuk cegah komersialisasi dan penerapan mekanisme pasar dalam penyediaan perumahan.

·    Singkirkan berbagai hambatan, termasuk hambatan legalitas, kelembagaan,  dsb[6] .

·     Buka akses ke berbagai sumber daya kunci termasuk lahan antara lain dengan menetapkan kawasan pemberdayaan di pusat pusat kegiatan yang strategis untuk permukiman masyarakat berpenghasilan rendah, bantuan teknik dan manajemen.


5.       BEBERAPA PELUANG EMAS YANG TERLUPAKAN

Dibagian akhir ini penulis ingin berbagi keyakinan melalui kasus-kasus yang dengan sedikit fasilitasi masyarakat mampu menunjukkan ketangguhannya dan akan banyak sekali membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk persoalan perumahan. Contoh ketika tsunami Aceh, pola rekonstruksi ala Rekompak dengan melibatkan kelompok sasaran sebagai pelaku utama telah menyelesaikan tidak saja membangun rumah tetapi juga peletakkan sesuai tapak masing-masing pemilik,  sementara yang dibangun dengan pola pasokan hanya cepat membangun tetapi tidak jelas tapak dan siapa kelompok sasarannya menyisakan banyak persoalan sampai sekarang. Pola Rekompak ini kemudian direplikasi saat pasca gempa di DIY dan hasilnya 320 ribu rumah dibangun kembali atau direhabilitasi dalam waktu kurang dari 2 tahun tanpa konflik yang berarti.


Mari kita lihat lebih lanjut apa saja yang dapat diperankan masyarakat yang berdaya.


1)       Menggandakan unit hunian

Untuk itu harus kita sepakati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan unit hunian disini, yaitu bagian dari rumah sebagai unit terpisah dan memiliki dapur sendiri.
Berdasarkan laporan BPS Indonesia memiliki 64,041,200 rumah tangga atau kita bulatkan saja menjadi 64 juta dan rata-rata anggota rumah tangga adalah 3,9 orang maka bila ditawarkan bahwa tiap rumah tangga yang mampu menggandakan unit huniannya akan diberikan bantuan teknik, perizinan/legal dan dibebaskan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) selama 5 tahun pasti banyak yang berminat.


Bila hanya 50% adalah rumah tangga di perkotaan maka ada 32 juta rumah tangga di perkotaan dan bila hanya 20% dari rumah tangga di perkotaan tersebut menanggapi maka akan diperoleh tambahan hunian sebanyak 6,4 juta unit dalam waktu kurang dari satu tahun atau bila dilakukan bertahap dalam 5 tahun maka sama dengan 1,28 juta unit hunian per tahun dengan dana yang harus dikeluarkan pemerintah relatif kecil.


Oleh karena sejak 2014 PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) sudah menjadi penghasilan daerah maka perlu dipikirkan kompensasinya, misalnya berbasis kinerja sehingga pemerintah daerah akan secara aktif terlibat sebab ini menjadi bagian dari kinerja daerah.


Kelebihan pola ini dengan ditawarkan secara acak kesemua rumah tangga di Indonesia maka yang akan menanggapi pasti yang melihat ada pasarnya, sehingga unit hunian yang dibangunnya pasti tidak kosong. Harga sewa/kontrak dapat ditetapkan dari awal misalnya maksimum X rupiah yang akan dapat diberikan bantuan tersebut di atas, sehingga rumah tangga yang akan ikut program ini tahu seluruh konsekuensinya termasuk berapa investasi yang masih layak atau masih memberikan untung.


2)    Mengalang kapital social yang telah dibangun

Beberapa program pemberdayaan telah meletakkan landasan yang kuat untuk memulai program-program berbasis masyarakat dan salah satunya adalah program penanggulangan kemiskinan perkotaan.

Sampai saat ini program penanggulangan kemiskinan perkotaan sudah bekerja di 11,066 kelurahan di perkotaan dan mereka memiliki berbagai asset dalam bentuk (i) data primer seperti keluarga miskin, rumah tidak layak huni, kelangkaan air minum dan sanitasi, (ii) lembaga pimpinan kolektif masyarakat (BKM/LKM) di 11,066 kelurahan, (iii) sumberdaya manusia 113.055 orang anggota pimpinan kolektif BKM/LKM, 80 orang konsultan dari berbagai disiplin ilmu di tingkat nasional, 569 orang konsultan di tingkat propinsi, 1.300 orang konsultan yang berfungsi sebagai koordinator kota/kabupaten dan 6.654 orang fasilitator yang mendampingi kelurahan.

Bila struktur yang telah terbangun ini diminta mendata berapa keluarga kurang mampu atau miskin yang membutuhkan rumah di tiap kelurahan maka dalam waktu kurang satu bulan data pasti sdh tersedia dan kalau kemudian diminta untuk tiap kelurahan menyelesaikan kebutuhan rumah warga miskinnya dengan diberikan bantuan teknik, pengadaan tanah dan dana maka selebihnya masyarakat dapat menyelenggarakannya dalam waktu singkat dan semuanya tepat sasaran serta tidak ada rumah yang tidak dihuni karena dibangun bersama calon penghuni.

Program penanggulangan kemiskinan juga sudah merambah ke penataan lingkungan permukiman berbasis komunitas (PLPBK / Neigbourhood Development) dalam upaya antisipasi pertumbuhan penduduk. Pola ini sudah diterapkan di lebih dari 200 kota dan mencoba menata ulang lingkungan perumahan yang sudah tidak cocok lagi dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakatnya. Pembangunan lingkungan dalam hal ini hanya dilihat sebagai wahana dimana masyarakat dapat menjalankan hajad hidup mereka dengan lebih baik.

Persoalannya hanya akan terjadi di kota-kota metropolitan dimana kekurangan rumah harus dipenuhi dengan membangun vertical atau rumah susun yang sudah seharusnya diurus oleh Pemerintah Daerah dan para ahli. Untuk ini penulis mengusulkan penyediaan rumah social (social housing) yang dapat disewa warga masyarakat dengan harga murah dan tidak boleh dimiliki, Rumah sosial ini haruslah dikelola Pemerintah Daerah di lokasi lokasi strategis. Keuntungan pola ini adalah dapat dengan segera dilakukan dan pembangunan lebih merupakan pelayanan bukan bisnis.

3)     Koperasi perumahan
Saat ini Indonesia tidak memiliki koperasi perumahan yang handal padahal koperasi koperasi lain tumbuh dengan subur. Nah niat membangun perumahan ini juga dapat dilihat sebagai peluang untuk membangun koperasi perumahan yang handal di Indonesia.

Dimulai dengan koperasi karyawan, dikeluarkan peraturan dimana tiap perusahaan dengan karyawan lebih dari 100 orang harus membentuk koperasi perumahan karyawan dengan dukungan perusahaan dalam bentuk dukungan dana untuk pengadaan lahan dan konstruksi Kemudian tiap rumah yang jadi dihipotekkan atas nama karyawan yang bersangkutan sehingga mendapat dana segar kembali untuk melanjutkan pembangunan.

Keuntungan pola ini adalah karyawan tidak dapat ditekan oleh perusahaan misalnya dengan mencabut hak menghuni rumah dinas, dsb. Dana bantuan dari perusahaan sebagai modal awal dapat diminimumkan dengan pola hipotek berantai. Seluruh cicilan dilakukan antara karyawan yang bersangkutan dengan bank dan dijamin perusahaan melalui potongan gaji. Bank komersial akan lebih tertarik karena ada jaminan dari perusahaan. Bila ini telah melembaga, dapat dikembangkan koperasi perumahan untuk warga masyarakat umum. Hal ini penting karena masyarakat selalu perlu contoh.

Koperasi perumahan ini primernya harus dikembangkan berbasis wilayah administrasi, misalnya kelurahan sehingga cukup mudah dikendalikan oleh para anggotanya karena dalam skala kelurahan akan memudahkan organisasi tatap muka dan transparansi dapat digalang lebih nyata. Organisasi sekundernya/pusat koperasi dapat di tingkat kecamatan dan organisasi Induk di tingkat kota atau kabupaten sehingga gerakan koperasi perumahan ini harus menjadi gerakan “rakyat dan pemerintah daerah”, sehingga dapat disebut sebagai gerakan daerah. Di tingkat nasional cukup dibentuk federasi dari koperasi-koperasi daerah. Pemerintah Daerah dapat bertindak sebagai Pembina dan sekaligus wasit terhadap kemungkinan penyimpangan yang dapat terjadi.


Box 2

Sejak awal tahun 1980-an desakan kebutuhan perumahan bagi karyawan RS St Borromeus mulai terasa setelah banyak karyawan yang terpaksa menyewa/mengontrak rumah meminjam uang ke manajemen rumah sakit maupun ke koperasi. Menanggapi hal tersebut sejak awal tahun 1980-an Koperasi Kredit Borromeus telah mengambil inisiatif dengan membuka pinjaman khusus perumahan baik untuk menyewa, mengontrak, memperbaiki maupun membeli lahan. Keterbatasan kemampuan Kopdit dalam mengakumulasi dana telah menyebabkan cakupan pelayanan program ini menjadi sangat terbatas. Pada awal 1983 mulai dirintis program perumahan yang lebih menyeluruh melibatkan pihak manajemen rumah sakit, pengurus Perhimpunan St Borromeus dan bekerja sama dengan Pusat Litbang Pemukiman, Badan Litbang Pekerjaan Umum. Langkah pertama yang dilakukan program ini adalah pendataan melalui sistem survai sendiri (community self survey). Dari survey ini diperoleh data bahwa dari 1200 karyawan RS St. Borromeus dan RS St Yusuf ada 400 karyawan yang tinggal di rumah sewa/kontrak/ikut orang tua/kondisi rumahnya sangat memprihatinkan (liar, kumuh, dsb). Untuk menangani kasus ini maka dibentuklah Panitia Perumahan oleh Kopdit Borromeus didukung oleh pihak manajemen maupun pengurus Himpunan dan didampingi oleh Pusat Litbang Pemukiman, Badan Litbang Pekerjaan Umum. Program ini mencoba memanfaatkan KPR BTN yang sudah ada pada saat itu dengan pola hipotek berantai dengan debitur adalah kelompok yang dalam hal ini adalah Koperasi Kredit Borromeus. Model ini telah dipilih sebagai salah satu program pembangunan perumahan yang inovatif dan mendapatkan penghargaan oleh Habitat Negeri Belanda.

  
6.       DUKUNGAN DAN TANTANGAN


Ketiga contoh kasus tersebut di atas hanya sebagian kecil bukti bukti ketangguhan masyarakat setelah diberdayakan. “Pertanyaannya mengapa tidak diterapkan secara massif diseluruh nusantara ???”

Menggalang potensi masyarakat untuk perumahan intinya mempromosikan pembangunan perumahan berbasis komunitas [7] , sehingga terjadi gerakan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat yang kondusif terhadap ketahanan masyarakat.

Untuk itu di perlukan beberapa dukungan seperti yang diuraikan di bagian 4 Pola Pasokan lawan Pola Pemberdayaan yang secara tegas dibagian ini dirumuskan sebagai berikut:

1)      Stop komersialisasi

Kesulitan masyarakat khususnya masyarakat penghasilan rendah adalah melambungnya berbagai harga sumberdaya perumahan, seperti lahan, harga bahan bangunan, dll juga harga rumah jadi. Bila rumah memang diakui sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia maka sudah seharusnya pemerintah mematok harga khususnya untuk rumah-rumah dengan luas lantai dan luas lahan tertentu misalnya lantai 45 m2 dan lahan 90 m2.

2)    Rencana tata ruang
   
   Melalui rencana tata ruang harus ada lokasi/kawasan di tiap kota yang harga tanah dan bangunannya dikendalikan ketat dan hanya diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah bukan untuk dimiliki tetapi hanya sebagai fasilitas bagi MBR untuk diberdayakan dan mengembangkan diri dan akan selalu dievaluasi tiap tahun bila penghasilannya sudah mencapai taraf tertentu akan dibimbing untuk masuk ke pasar normal. Kawasan ini kemudian diberi nama “kawasan Pemberdayaan”/”empowerment zone”.

3)     Penyediaan lahan perkotaan yang murah

 Caranya antara lain :

·    Prioritas untuk membeli lahan perkotaan adalah pemerintah dan pemerintah hanya membayar sesuai NJOP. Bila pemerintah menyatakan tidak akan membeli maka baru dapat dijual ke umum.

·  Menuntut kembali kewajiban pengembang untuk menyediakan 20% lahan yang dibebaskan untuk perumahan masyarakat penghasilan rendah.

·     Memutihkan tanah tanah terlantar yang sudah atau belum dimanfaatkan oleh warga agar dpt digunakan oleh warga masyarakat untuk membangun perumahan dengan dasar hukum yang jelas.

4)       Penangkal Jentrifikasi

Untuk mencegah jentrifikasi terjadi, maka berbagai hunian yang dibangun dengan memanfaatkan berbagai subsidi dari pemerintah tidak dapat dijual langsung tetapi harus dikembalikan ke pemerintah dan semua dokumennya di bedakan sehingga (seperti mobil AX) bila dijual dibawah tangan dan pemilik baru ingin melakukan balik nama maka dikenakan denda yang sangat besar.

5)       Pemerintah Daerah sebagai nahkoda

Menegaskan bahwa urusan perumahan adalah urusan daerah dan membangun berbagai mekanisme dan pendanaan yang mendudukkan Pemerintah Daerah sebagai nahkoda. Ini perlu reformasi UU 23 tahun 2014.

    Tantangan selanjutnya terkait dengan warisan pola pasokan yang perlu selalu harus              diwaspadai         dan mungkin perlu revolusi mental.

6)     Sikap pelaku pembangunan

Secara umum, para pelaku pembangunan belum siap dan memahami perubahan peran yang seharusnya mereka lakukan oleh sebab pola pikir (mind set) yang masih diwarnai oleh paradigma lama yang melihat posisi pemerintah sebagai penguasa dan penyedia (provider) dan masyarakat adalah pihak yang lemah, tidak berdaya, tidak dapat diandalkan dan hanya pantas untuk menerima saja. Hal ini seringkali justru terjadi oleh sebab pudarnya nilai-nilai luhur yang seharusnya disandang oleh mahluk yang menyandang martabat manusia.

·   Pihak masyarakat sudah terlalu lama dan terbiasa ditentukan oleh pihak lain dan menerima hasil dari pihak lain sehingga mereka menjadi tidak peka dan apatis. Tidak menganggap perlu mengorganisasi diri untuk menyelesaikan persoalan yang tidak mereka rasakan. Lebih suka menerima, mengambil dari pada memberi.

·  Pihak pemerintah baik perangkat pusat maupun daerah tidak siap menghadapi perubahan peran yang sangat mendasar ini. Mereka yang tadinya berkuasa memutuskan/menentukan sekarang harus berbagi kekuasaan dan merelakan pihak lain (kelompok masyarakat) untuk mengambil keputusan malah harus memfasilitasi masyarakat untuk dapat mengambil keputusan yang tepat.  Baik mental maupun metodologi perangkat pemerintah ini belum siap. Lebih suka memerintah dari pada melayani.

·   Pihak swasta yang tadinya menguasai posisi strategik dalam menguasai sumber-sumber  daya kunci untuk keuntungan mereka sendiri sekarang tidak mungkin lagi sehingga ada ketidakrelaan dalam melepaskan posisi kunci mereka. Lebih suka mengambil kalau perlu merampok secara prosedural dari pada memberi.

·  Pihak lembaga nirlaba termasuk dalam hal ini para konsultan pembangunan dan lembaga swadaya masyarakat yang juga masih lebih banyak memberikan advokasi ketimbang bekerja bersama masyarakat menyelesaikan berbagai permasalahan mereka yang sangat kompleks yang justeru memerlukan profesionalisme yang tinggi dengan tingkat kepiawaian yang tinggi pula. Malah sering kali lebih suka mengejar popularitas diri ketimbang melayani masyarakat.

7)     Pola Kelembagaan

Sesuai dengan arus utama model pembangunan yang menerapkan pendekatan pasokan (supply side oriented approach), maka bentuk-bentuk kelembagaan (organisasi, aturan main, tata peran) diciptakan untuk mendukung model pembangunan dengan pendekatan pasokan yang jelas tidak sesuai dengan kelembagaan yang dibutuhkan untuk melaksanakan model pembangunan berbasis komunitas atau swakelola. 

Hal ini terlihat dengan jelas bahwa berbagai aturan main untuk mendapatkan sumberdaya kunci masih sangat bias ke sektor formal yang menjadi kelembagaan andalan model pembangunan dengan pendekatan pasokan sehingga sulit sekali bagi masyarakat miskin dan sektor informal untuk mendapatkan akses ke bank misalnya, ditambah lagi dengan pola pikir pelaku bank yang masih menganut paradigma lama yang melihat martabat dalam kaitan dengan kepemilikan material.

Kedua hal tersebut di atas, 6) dan 7), menjadi penyebab utama terjadinya bias-bias dalam menentukan prioritas pembangunan, kelompok sasaran dan rangkaiannya yang tentu saja berdampak pada alokasi sumber daya yang dibutuhkan, dsb sehingga terciptalah serangkaian hambatan yang sistemik dan jalin-menjalin.


7.       PENUTUP


Komersialisasi sumber daya kunci perumahan khususnya lahan harus dihapus.
Penulis hanya berharap gagasan tersebut di atas dapat memberikan kontribusi dalam diskusi nanti. Bila apa yang digagas di atas dapat diterapkan secara konsisten, insha Allah kondisi perumahan kita akan membaik.


Terima kasih







[1]) Disajikan dalam  Kegiatan UPH – Habitat for Humanity Indonesia Housing Forum.

[2]) Penulis adalah pengamat perumahan dan permukiman serta praktisi pembangunan berbasis komunitas.

[3]) UUD 45 pasal 28H menekankan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, 
hak atas jaminan social, hak milik pribadi.

[4]) Presentasi DR Eko Heripoerwanto dalam FGD Evaluasi Kinerja Perumahan.

[5] ) Kampung dalam hal ini adalah kawasan perumahan (residential area) yg dibangun secara swadaya oleh masyarakat penghuninya sebagai lingkungan multi guna (hunian, tempat kerja, dsb).

[6]) Antara lain PP 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, pasal 13 mensyaratkan perencanaan dan perancangan rumah harus dilakukan oleh seorang ahli yang bersertifikat yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi, dan banyak lagi kelemahan peraturan perundangan terkait dengan perumahan dan permukiman. UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah mendudukkan penanganan perumahan MBR di pundak Pemerintah Pusat, dsb.

[7]) Perlu disepakati terlebih dahulu bahwa pembangunan perumahan memang mutlak diperlukan disamping untuk memenuhi kebutuhan juga untuk menggerakkan sector rieel karena pembangun perumahan selalu memberi backward and forwad effect. Artinya setiap pembangunan perumahan akan menggerakan ratusan kegiatan ekonomi terkait, seperti produksi berbagai macam bahan bangunan dan lapangan kerja. 

Comments