MELAMPAUI KEMATIAN TUHAN

1. Pengantar

Perkenalan pertama kali saya dengan seorang Nietzsche terjadi pada tahun 2004. Semuanya berawal dari sebuah majalah berdebu yang terpampang di rak buku Wisma Xaverian Yogyakarta. BASIS Edisi Khusus Akhir Abad XX, Nietzsche Si Pembunuh Tuhan. Demikianlah kira-kira sekelumit tulisan di cover majalah itu. Saya langsung tersentak, dan terpukau bagaimana seorang Nietzsche menjadi pembunuh Tuhan. Dari seluruh kegelapan yang menyelimuti saya ketika membaca majalah itu, hanya satu hal yang agak terang dan terus saya ingat bahwa Nietzsche adalah pembunuh Tuhan. Nietzsche seorang ateis. Peristiwa itu begitu istimewa sehingga membuat saya selalu membawa misteri tentang Nietzsce dalam hati sampai sekarang.


MELAMPAUI KEMATIAN TUHAN
Antara Nietzsche dan ateisme bagi saya kemudian tak terpisahkan. Mendengar atau membaca Nietzsche dengan sendirinya memikirkan ateisme. Nietzsche dalam pemikiran saya selama ini identik dengan ateisme. Tetapi ketika membaca Gaya Filsafat Nietzsche beberapa waktu lalu saya mulai mempertanyakan ulang hal ini. Lebih lagi sesudah membaca Para Pembunuh Tuhan, dan tentu saja dengan kuliah-kuliah tentang Nietzsche yang pernah saya ambil.

Apakah betul Nietzsche seorang ateis sebagaimana sering saya pikirkan? Kalau ateis, ateis seperti apa? Atau jangan-jangan ia malah seorang lain? Kalau lain, lalu apa itu? Demikianlah pergulatan kecil yang melatarbelakangi tulisan kecil ini. Dalam pembahasan nanti saya berusaha menjawab siapakah Nietzsche itu sebenarnya atau lebih tepat sebaiknya Nietzsche disebut apa.

Dalam pencarian terhadap kesangsian-kesangsian di atas, saya menggunakan pendekatan teks yang diambil dari aforisme (pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum) karya tangan Nietzshe sendiri.

2.  Teks

Nietzsche dalam Aforisme 343 “Buku Kelima” GS (The Gay Science or The Joyful Wisdom) yang ditambahkan pada edisi kedua GS yang terbit tahun 1886 menuliskan:

“Terhadap kabar bahwa ‘tuhan yang kuno sudah mati’ , kita para filsuf yang lain, para ‘roh bebas’ yang lain , kita merasa disentuh oleh berkas-berkas sinar fajar. Di depan kabar itu, hati kita dilampaui rasa syukur, ketakjuban, isyarat, penantian-lihatlah, sebuah horizon terbuka lagi meski belum sangat jelas; lihatlah, kapal-kapal-bebas kita berlayar lagi, menempuh segala risiko; demikianlah, segala keberanian akan pengetahuan diijinkan kembali secara baru, dan  lautan, laut kita, lihatlah, ia terbuka lagi secara baru, mungkin belum pernah ada ‘laut’ yang ‘terbuka’ seperti itu.”.[1]

3. Komentar 

GS 343 menguraikan adanya tiga macam sikap di depan warta kematian Tuhan. Yang satu tidak peduli, menganggap kematian Tuhan hanya  tenggelamnya sejenis matahari, belaka. Yang lain nya terlalu serius menanggap kematian Tuhan sebagai the end of the world. Hancurnya segala-galanya, keterserakan total. Di antara dua ekstrem tersebut Nietzsche sendiri menempatkan dirinya sebagai pengurai enigma di atas gunung.[2]

Tiga macam sikap di depan warta kematian Tuhan[3] berarti pula ada tiga jenis manusia. Mendahului pengelompokan manusia ini terlebih dahulu harus dikatakan manusia dalam filsafat Nietzsche, masih hidup. Maksudnya kematian Tuhan yang berarti hilangnya pegangan tidak disimpulkan sebagai kematian manusia seperti tampak dari analisis Michel Foucault[4]

Tiga kelompok manusia itu bisa dijelaskan demikian. Ada jenis manusia yang ‘mati’, yang dekaden, terserak, loyo, lelah, dan terus menerus butuh pegangan untuk bisa hidup. Ia hidup dalam nihilisme gelap total karena kematian Tuhan ia anggap sebagai terbenamnya satu-satunya matahari. Ia meratap. Tetapi ada jenis manusia lain yang percaya bahwa terbenamnya matahari tidak begitu merisaukan. Masih ada matahari-matahari lain yang ia percaya bisa ia munculkan. Kematian satu pujaan akan ia ganti dengan pujaan-pujaan lainnya: uang, pekerjaan, wanita, ideologi, atau apa pun. Era kematian Tuhan, zaman nihilisme tidak harus ditanggapi secara pasif atau loyo. Orang memang bisa menjadi loyo, apatis, menganggap diri sudah mati; tetapi orang juga bisa mencari pelarian dengan menciptakan tuhan-tuhan baru sesuai hoby masing-masing.

Namun berbeda dari dua ekstrem di atas, Nietzsche mengusulkan sosok manusia lain, yang berusaha menanggapi situasi nihilistik secara aktif, yang menjadi penebak enigma, yang tidak khawatir dengan terbenamnya satu-satunya matahari tersebut. Ia bukan tipe indefferen karena ia tahu bahwa pencarian matahari lain hanyalah sublimasi dari kebutuhan untuk percaya. Selama kebutuhan tersebut ada, selama itu pula manusia jatuh dalam lingkaran setan penciptaan dan penghancuran pujaan – yang adalah dirinya sendiri. Sosok manusia yang diajukan adalah sosok roh bebas, yang tidak butuh lagi percaya.[5]
           
4. Beberapa Tanggapan

a. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Setyo Wibowo[6] bahwa jika kita menimbang lagi soal ateisme, Niezsche tampaknya jauh lebih radikal daripada tokoh-tokoh ateis lain; Sartre misalnya. Nietzsche adalah roh yang membebaskan diri dari segala bentuk kepercayaan, termasuk ateisme yang dijadikan titik pijak indispensable bagi eksistensialisme sartrian.

Kematian Tuhan bukan berarti lahirnya pujaan baru yaitu manusia. Manusia justru harus mempertanyakan dirinya karena kematian Tuhan bisa jadi adalah kematian dirinya. Maka persis di sinilah letak kedalaman Nietzsche yang tidak jarang disalahmengerti oleh kebanyakan orang, termasuk Sartre. Sartre malahan menganggap doktrin ateisme sebagai kunci pemikiran Nietzsche. “ Nietzsche adalah orang ateis yang keras dan logis menarik seluruh konsekuensi dari ateismenya[7]”.   
b. Mengatakan bahwa “pujaan” adalah diri manusia sendiri sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah proyeksi diri manusia sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Franz Magnis-suseno dalam  Menalar Tuhan. Menurut Magnis sebetulnya Allah tidak dibunuh . Nietzsche tidak mau mengatakan bahwa Allah pernah ada. Allah tak pernah ada. Manusia yang menciptakan Allah. Allah yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan oleh manusia.[8]

c. Argumen M. Isak Wijaya, dalam Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan bahwa Tuhan kita (orang beragama) lain dari yang dimaksud oleh Nietzsche , maka kita masih boleh bertentram  diri dalam kepercayaan kita justru kena oleh kritikan Nietzsche. Nietzsche tidak mempedulikan apa atau siapa Tuhan kita. Mau dewa, mau Allah Bapa, uang, bahkan ateis sekalipun. Selama judulnya pegangan atau sandaran  selama itu pula Tuhan itu telah mati. Mestinya dikatakan, Tuhan yang dibunuh oleh Nietzsche adalah Tuhan isi kepercayaan atau proyeksi diri manusia. Sedangkan siapakah Allah pada dirinya sendiri tidak disentuh sama sekali oleh Nietzsche.
d.  Pertanyaan terakhir kepada Niezsche adalah tentang sosok manusia roh bebas yang tidak butuh percaya lagi. Pertanyaannya adalah bukankah klaim roh bebas yang tidak butuh percaya lagi adalah suatu kepercayaan juga? Nietzsche memang menempatkan diri di luar lingkaran kebutuhan untuk percaya yang di analisa tetapi sejatinya ia menjadi bagian dari lingkaran itu sendiri.

5. Penutup
Sebagai kesimpulan akhirnya bisa dikatakan bahwa pertama-tama memang Niezsche berhasil melampaui kematian Tuhan sebagaimana ia tunjukkan dalam GS 343 yaitu dengan menempatkan dirinya sebagai pengurai enigma di atas gunung. Kecuali itu Niezsche juga berhasil melampaui kematian Tuhan dengan menjadi sosok manusia roh bebas yang tidak butuh percaya lagi.

Akhirnya pertanyaan saya pada bagian pengantar tadi sedikit terjawab sekarang. Bahwa dalam arti ketat bolehlah mengatakan Nietzsche sebagai ateis. Tetapi harus hati-hati karena dalam arti tertentu Nietzsche justru menolak ateisme sebagai lawan dari teisme. Bagi Niezsche semua itu pegangan. Mungkin ‘julukan’ yang tepat untuk Nietzsche adalah “nihilis aktif”.   
    

KEPUSTAKAAN

Magnis-suseno, Franz. Menalar Tuhan. Kanisius: Yogyakarta, 2006.

Setyo, A.. Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche. Galang Press: Yohyakarta, 2004.

Setyo, A.. Wibowo, Para Pembunuh Tuhan. Kanisius: Yogyakarta, 2009.




[1] Bdk. A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, hlm. 21
[2] Meski pun dalam aforisme 125 “Buku Ketiga” La Gaya Scienza (GS) ditemukan gambaran atas Nietzsche yang resah pesimistik dan bingung, akan tetapi pada waktu selanjutnya nada keresahan ini hilang ketika aforisme 343 “Buku Kelima” GS ditambahkan pada edisi kedua GS yang terbit tahun 1886.
[3] Yang dimaksud adalah “Tuhan” sbagai “isi kepercayaan”. Bdk. A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, hlm. 333
[4] Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan. Hlm. 31
[5] Ibid
[6] A. Setyo Wibowo adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Romo Setyo meraih gelar S-2 Filsafat (2001), gelar DEA (2003) dan gelar Doktor Filsafat (2007) ia raih dari Université Paris IâPanthéon Sorbonne, Paris, Perancis.
[7] Jacques La Rider dalam A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, hlm. 29
[8] Bdk.  Franz Magnis-suseno, Menalar Tuhan, hlm. 77

Comments