AGAMA: MASALAH ATAU SOLUSI?

A. Pengantar

Tulisan ini adalah lanjutan dari dua tulisan saya sebelumnya, “Benarkah Agama Berbahaya?” dan “Apakah Keyakinan Religius Irasional dan Amoral”. Sebagaimana rujukan sebelumnya, kali ini juga saya menggunakan karya  Keith Ward,  Is Religion Dangerous?[1] sebagai sumber utama.

Bagian pertama akan berkonsentrasi pada efek atau pengaruh agama pada kehidupan personal para penganutnya. Pertanyaan Ward adalah apakah agama membawa efek yang baik bagi kehidupan personal setiap orang atau sebaliknya justru membawa efek yang buruk. Dalam menjawab pertanyaan di atas Ward mau tidak mau harus berurusan dengan soal psikologi. Meskipun demikian, Ward tidak bermaksud menggantikan peran para psikolog dan psikiater.

Di bagian kedua Ward kembali masuk dalam pertanyaan besar yang mungkin sering kali ditanyakan oleh banyak orang, “Apakah sejatinya agama menghasilkan keburukan dan kejahatan dalam hidup manusia; ataukah sebaliknya agama telah menginspirasi tumbuhnya kasih dan kebaikan”? Jika ‘ya’, kebaikan seperti apa dan sebaliknya jika “tidak”, keburukan atau kejahatan seperti apa.   

agama: masalah atau solusi?


B. Pembahasan

1. Apakah Agama Lebih berbuat Jahat daripada berbuat Baik dalam Kehidupan Personal?

Dalam membahas pengaruh agama dalam kehidupan personal, Ward mengajukan lima pertanyaan utama. Pertama, apakah keyakinan religius lebih memberikan penderitaan atau kebahagiaan bagi manusia secara individu? Kedua, apakah keyakinan religius mengarahkan kita pada komitmen moral dan altruisme yang lebih besar?
Ketiga, apakah keyakinan religius berkaitan dengan penyakit mental atau kesehatan mental? Keempat, apakah keyakinan religius hanyalah bentuk delusi? Kelima, apakah keyakinan religius disebabkan oleh kegagalan fungsi otak?

1) Iman dan Kebahagian
Masalah yang mau dipecahkan di sini adalah apakah keyakinan religius lebih membawa penderitaan, ataukah sebaliknya malah lebih membawa kebahagiaan. Kesimpulan Ward adalah pengalaman religius sangat bermanfaat untuk kebahagiaan dan kesehatan, meski tidak selalu demikian. Beberapa penelitian mengangkat fakta-fakta berikut.

  1. David Myers[2], mengadakan sejumlah survei di Amerika dan menyimpulkan bahwa orang-orang religius (orang-orang yang menganggap Allah penting dalam hidupnya) memberikan laporan bahwa hidup mereka membahagiakan. Sementara itu, orang-orang yang tidak menganggap Allah penting dalam hidupnya melihat hidup mereka tidak sebahagia yang dilaporkan kelompok pertama.
  1. Brian Johnson dan kawan-kawannya di Pusat Riset Agama dan Masyarakat Urban Universitas Pennsylvania meninjau lagi 498 studi yang telah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal majalah kampus. Kesimpulan mereka adalah mayoritas studi menunjukkan korelasi positif antara komitmen religius dan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi atas kesejahteraan dan harga diri, serta tingkatan-tingkatan lebih rendah atas hipertensi, depresi, dan prilaku kriminal.
  1. Xinzhong Yao dan Paul Badham yang melakukan survei untuk Pusat Ian Ramsey di Universitas Oxford. Temuan mereka adalah, Cina yang secara resmi ateistis 56,7% penduduknya memiliki pengalaman tentang kekuatan spiritual. 15% dari jumlah ini ternyata mengungkapkan kondisi psikologis yang lebih baik dalam hidup, dan hanya 7% yang melaporkan kalau suasana hatinya lebih buruk.
Menurut Ward, penemuan-penemuan di atas cukup membantah anggapan bahwa agama merupakan sumber ketakutan dan kesalahan, serta menyebabkan orang merasa tidak aman dan rendah diri. Ada korelasi yang menyeluruh antara komitmen religius, kesehatan, dan kebahagiaan. Keyakinan religius memberikan harapan utama agar dapat bertahan hidup dalam menghadapi penderitaan. Keyakinan religius memperkuat sejumlah keutamaan sosial yang positif, seperti kerendahan hati, pengampunan, dan syukur. Semua ini menurut Ward menunjukkan bahwa beragama bermanfaat demi kebahagiaan.

Akan tetapi menurut Ward, tidaklah benar kalau dikatakan bahwa agama selalu menghasilkan kebahagiaan. Ada bentuk-bentuk keyakinan tertentu atau agama tertentu yang membawa ketakutan dan penderitaan. Cara mengatasinya menurut Ward, bukan dengan mengeliminasi semua agama melainkan mempertemukannya dengan persepsi-persepsi lain untuk dipertanyakan sejauhmana keyakinan-keyakinan seperti itu masih bisa dipertahankan.


2) Iman dan Altruisme
Di bagian terdahulu hubungan antara agama dan kebahagiaan berpusat pada diri sendiri. Lalu, apakah keyakinan religius cenderung menjadikan orang-orang kurang altruistik? Inilah pertanyaan yang mau dijawab pada bagian ini.
Pendapat Ward adalah bahwa komitmen religius sangat berkorelasi dengan sikap altruistik daripada sikap yang berpusat pada diri sendiri bagi kehidupan. Efek umum dari keyakinan religius adalah mengembangkan partisipasi sosial dalam karya yang murah hati kepada orang lain.
Beberapa survei dan investigasi mengangkat hal-hal berikut.
  1. Survei Gallup[3] pada tahun 1984 di Amerika melaporkan bahwa 46% dari para pemeluk agama menjalankan karya amal, sedangkan 22% dari orang-orang yang tidak berafiliasi dengan agama melakukan karya amal.
  1. Survei Robert Putnam[4] pada tahun 2000 terhadap 200 organisasi amal menunjukkan bahwa keanggotaan kelompok religius secara positif dikorelasikan dengan keanggotaan organisasi amal.

Data-data di atas memperlihatkan bahwa persentase orang beragama  lebih  banyak daripada yang tidak beragama dalam hal beramal. Hasil pemeriksaan Ward menunjukkan bahwa keyakinan religius merupakan kekuatan positif untuk mendorong orang menjadi altruistik, dan sebaliknya mencegah lahirnya sikap egoistis.
Dengan demikian, penegasan Ward diawal pembahasan ini tidak terbantahkan. Benar bahwa keyakinan religius merupakan kekuatan positif bagi komitmen moral meskipun tidak semua pemeluk agama terlibat. Ketika agama bersandingan dengan sikap altruistik, agama mendukung total sikap altruistik ketimbang mengkerdilkan atau ‘membunuhnya’.

Kajian Putnam (poin [b]) sungguh menegaskan bahwa komitmen religius sangat berkorelasi dengan sikap altruistik. Apa yang mau dikatakan Ward dengan semua ini adalah bukan  semua pemeluk agama akan menjadi lebih altruistik dari semua orang yang ateis. Bukan pula pemeluk agama lebih baik secara moral daripada yang tidak percaya. Yang mau dikatakan adalah keyakinan religius sangat mendukung moral dan tingkah laku altruistik.

Sampai di titik ini, Ward dapat membantah tuduhan bahwa agama merupakan kekuatan demi kejahatan dan disintegrasi sosial. Fanatisme kelompok-kelompok tertentu yang cenderung egois, ternyata dibarengi dengan usaha terus menerus dari sejumlah kelompok lain, yang jumlahnya jauh lebih besar untuk membangun toleransi dan kepeduliaan sosial yang melampaui tapal batas manapun, termasuk agama.


3) Iman dan Penyakit Mental            

Pertanyaan yang diajukan di sini adalah apakah agama menjadi penyebab atau dapat dihubungkan dengan beberapa jenis penyakit mental tertentu, seperti skizofernia, paranoia atau epilepsi. Ward berpendapat bahwa agama bukan penyebab penyakit mental. Tidak ada bukti bahwa para pemeluk agama sering mengalami penyakit mental daripada kelompok sosial lainnya. Kebanyakkan penyakit mental bersumber dari fisik atau neurologis.

Beberapa fakta hasil kajian para ahli diajukan oleh Ward.

  1. Psikolog Oxford Michael Argyle dalam Psychology and Religion[5]. Dari berbagai survei dan latihan psikologis yang dibuat Argyle menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi positif antara tipe personalitas dan keyakinan religius.
  1. H. J. Cronin, dalam  Medical Review[6], berpendapat bahwa agama bukanlah penyebab timbulnya penyakit bagi para pasien neurotisnya. Tidak ditemukan bukti bahwa agama penyebab utama penyakit mental.
Menurut Ward, bagi para pemeluk agama ada dua hal penting yang muncul dari studi-studi di atas. Di satu sisi penyakit mental hendaknya tidak dikacaukan dengan kegagalan spiritual atau kekurangan iman. Penyakit mental lahir dari malfungsi otak. Di sisi lain, relasi positif dengan Allah membuat orang mengalami pendampingan Allah sepanjang waktu, misalnya di saat-saat sakit (meski Allah tidak dipikirkan sebagai zimat penyembuh penyakit).
            
4) Iman dan Delusi

Bagian ini akan mempertanyakan apakah keyakinan religius itu delusi. Menurut Ward delusi merupakan suatu keyakinan yang jelas salah, sehingga semua orang yang melihatnya menjadi salah[7]. Agama menurut Ward, bukanlah keyakinan yang aneh seperti itu.

Keyakinan akan Allah menurut Ward sangat beda. Jika delusi merupakan keyakinan irasional, tergolong penyakit mental, agama tidaklah demikian. Apakah gagasan tentang Allah itu bohong, irasional? Apakah keyakinan religius tidak masuk akal? Pertanyaan-pertanyaan ini sudah diatasi dalam bagian-bagian terdahulu[8] dan tak terbantahkan bahwa gagasan tentang Allah bukan pepesan kosong tetapi Kebaikan Tertinggi yang darinya segala sesuatu dijelaskan dan mendapat makna.    

Bila sebagai penyakit mental delusi membuat diri sendiri dan orang lain menderita, hal itu makin mempertegas kalau agama bukan delusi. Agama membantu orang untuk menemukan arti keberadaannya dan dia akan mengetahui siapakah dirinya dari hasil perjumpaan dengan orang lain. Jauh dari membuat seseorang menderita, agama malah menawarkan sukacita, pengampunan, pengharapan, dan kepastian.

Bila ketentuan umum untuk penyakit mental seperti delusi, adalah ketidakmampuan untuk berfungsi secara normal dan ketidakmampuan untuk memberikan alasan atas tindakan yang relevan bagi kebanyakkan orang, agama pasti bukan delusi. Banyak orang beriman[9] yang menjadi inspirator perubahan pada jamannya karena kesetiaan dan ketekunan mereka pada hidup doa dan ritual religius mereka masing-masing, yang bagi sebagian orang mungkin terlihat tidak normal dan tidak masuk akal.

Sampai di titik Ward, tidak ragu-ragu untuk menegaskan bahwa agama bukan delusi. Keyakinan religius sangat rasional dan membantu orang untuk hidup sepenuh-penuhnya baik sebagai pribadi maupun kelompok atau komunitas.

5) Iman sebagai Malfungsi Otak

Pembahasan bagian ini mau melihat apakah keyakinan religius tidak lebih dari aktivitas otak yang menghasilkan sebuah ilusi tenntang iman. Ward berpendapat bahwa benar keyakinan religius mempunyai dasar fisik pada otak, tetapi keyakinan religius lebih dari sekedar aktivitas otak. Otak tidak dapat memproses sendiri perbedaan antara kebenaran dan kesalahan-kesalahan. Seseorang tetap bebas untuk menentukan sendiri kebenaran terhadap proposisi-proposisi mengenai eksistensi Allah.


Ungkapan ‘tidak lebih’ sebenarnya digunakan oleh Francis Crick, dalam bukunya The Astonishing Hypothesis[10] . Crick menuturkan bahwa “Anda, kegembiraan-kegembiraan dan penderitaan, ingatan dan ambisi, identitas personal dan kehendak bebas Anda, kenyataannya tidak lebih dari tingkah laku sel-sel syaraf dan molekul-molekul yang disatukan”[11].  

Hipotesis Crick menurut Ward terlalu sederhana dan tidak didukung oleh studi ilmiah tentang otak. Aktivitas otak seakan dengan sendirinya bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah. Padahal menurut Ward, berdasarkan studi ilmiah tentang otak, pilihan untuk menentukan mana yang benar dan salah tidak terjadi secara otomatis. Artinya pilihan itu harus dibuat sendiri, melampaui tingkah laku sel-sel dan molekul-molekul. Hal ini menurut Ward didukung oleh opini umum psikiater yang melihat adanya modifikasi-modifikasi yang perlu dibuat oleh setiap orang dalam menentukan keyakinan-keyakinan dan perasaannya.

Apa yang bisa dikatakan tentang iman dan studi ilmiah tentang otak adalah bahwa iman mempunyai dasar fisik dalam otak.  Normal dan tidaknya otak turut mempengaruhi keyakinan dan praktek religius seseorang. Otak memproses munculnya kebenaran-kebenaran dan kesalahan-kesalahan. Namun, ruang modifikasi atau pilihan bagi tiap orang terbuka luas.  Di sana ia bebas menentukan pilihan, termasuk mempercayai Allah. Temuan dari psikologi evolusioner bahwa keyakinan dan ciri-ciri tingkah laku sekarang ini mempunyai kemampuan untuk tetap hidup di masa lalu semakin mematahkan slogan ‘tidak lebih’ dari Crick. Keyakinan religius melampaui aktivitas molekul dan sel-sel, dimana seseorang menggunakan otaknya bukan dibentuk oleh otaknya.   

2. Menyalahkan Agama

Pendapat bahwa agama adalah sebuah kesalahan kiranya lahir dari deretan panjang fakta-fakta berikut. Reputasi Kekristenan dihancurkan oleh Perang Salib dan Inquisisi zaman dulu. Reputasi Islam telah dihancurkan oleh organisasi-organisasi teroris Islam di seluruh dunia. Bahkan reputasi Hindu ternoda oleh aksi-aksi brutal beberapa pengikutnya di India, dimana mereka menghancurkan mesjid-mesjid dan membunuh orang-orang bukan Hindu.

Terhadap kenyataan-kenyataan di atas, pertanyaan jujur dan menantang dari Ward adalah tidakkah kita hidup lebih baik di dunia ini tanpa agama? Apakah memang agama adalah sebuah kesalahan? Menurut Ward, banyak konflik antaragama tidak disebabkan oleh keyakinan religius, tetapi oleh ketidaksempurnaan atau cacat personalitas dari para pemeluk agama, yang mempengaruhi keyakinan dan praktik religiusnya[12]. Jadi, tidak ada gunanya menyalahkan agama, sebab agama dalam kasus-kasus di atas telah diperalat atau disalahgunakan. Tidak ada gunanya menyalahkan agama, sebab agama bukan penyebab kebencian dan kekerasan.

Agama memang dapat digunakan untuk mengilhami kebencian menurut Ward, tetapi juga dapat digunakan untuk mengilhami kasih dan komitmen-komitmen untuk mengusahakan kebaikan. Dunia ini akan menjadi lebih malang tanpa Martin Luther King, Gandhi, dan Ibu Teresa; tanpa St. Fansiskus, Sidharta Gautama, Muhammad SAW, dan Yesus.

3) Mensyukuri Adanya Agama

Pertanyaan yang diajukan Ward adalah, adakah alasan-alasan positif untuk berpikir bahwa agama baik? Ward tidak ragu-ragu untuk mengatakan ‘ya’. Perlu disadari bahwa agama hanya ada karena manusia diperbudak oleh kebencian, ketamakan, dan egoisme. Dunia ini akan menjadi lebih buruk tanpa agama. 

Semua tradisi agama membantu orang untuk mengatasi egoisme, kebencian, ketamakan, serta membawa orang pada kebijaksanaan, kebahagiaan, dan kasih. Bila melihat dengan jeli dan mau jujur dengan kenyataan yang ada menurut Ward, kita akan menemukan kebenaran bahwa dunia telah menerima banyak dari agama. Dengan kata lain agama telah memberi banyak kepada dunia ini dan dengan demikian dunia berhutang budi agama.

Pemberian Yudaisme bagi dunia misalnya keyakinan bahwa tidak ada situasi manusia, bahkan di zaman yang paling gelap, melampaui harapan, demi masa depan yang tidak dapat dilihat. Inilah komitmen untuk memahami dan memelihara dunia sebagai ciptaan Allah. Ada beberapa orang Yahudi yang meski enggan mengatakan bahwa keyakinan akan Allah Abraham telah menjadikan orang-orang Yahudi sangat serius secara moral, cermat secara intelektual, berargumentasi tanpa akhir, bekerja keras, dan sangat murah hati.

Kekristenan membawa kabar gembira bagi dunia bahwa Allah adalah kasih. Karena begitu besar kasih Allah kepada dunia Ia mengutus putra-Nya Yesus Kristus supaya semua orang memperoleh hidup dan memperolehnya dalam kepenuhan. Kasih itu lebih kuat dari segala kejahatan dan penderitaan dunia ini. Inilah kabar sukacita yang menawarkan pengharapan bagi mereka yang putus asa, kekuatan bagi mereka yang lemah, dan penghiburan bagi siapa saja yang menderita. Orang-orang Kristen telah mendirikan rumah sakit-rumah sakit, sekolah-sekolah dan universitas-universitas. Karena diilhami visi religius yang kreatif mereka mensponsori karya-karya besar tentang seni lukis, seni pahat, seni sastra dan musik[13].

Islam mengembangkan salah satu gerakan mistikal terbesar di dunia yang disebut sufisme, dan sufisme lebih merupakan bentuk praktek religius yang mencari pengertian tentang kesatuan personal dengan Allah daripada ketaatan eksternal terhadap hukum-hukum religius. Orang Islam mendirikan berbagai rumah sakit dan universitas besar, melanjutkan tradisi-tradisi filosofis dan penyelidikan ilmiah yang diwarisi dari kekaisaran Yunani dan Bizantium. Mereka juga menciptakan budaya artistik yang agung dan rumit . 

Sementara itu, tradisi-tradisi India dengan tekanan kehadiran yang ilahi dalam diri setiap orang memberikan inspirasi soal inklusivitas kepada dunia. Segala sesuatu diterima dan dihargai, tidak boleh dimusnahkan karena masing-masing dari mereka merupakan bagian-bagian dari yang ilahi. Pandangan ini juga yang membuat penganut-penganut tradisi India seperti Gandhi sangat mengusahakan kasih, damai, dan kebijaksanaan dalam hidupnya.

Budhisme mengajarkan kasih yang universal bagi semua makhluk, dan cita-citanya adalah Bodhisattva, orang yang menangguhkan pembebasan diri dengan membantu orang-orang yang kehilangan hasrat dan cinta. Inilah ajaran yang memotivasi tingkah laku yang altruistik di tengah dunia yang terkungkung egoisme seperti sekarang ini.

 C. Rangkuman
                                                                                                                                                  
Dari pemaparan di atas dapatlah ditegaskan kembali di sini beberapa hal.
PERTAMA, Ward tidak ragu-ragu bahwa agama membawa efek positif bagi hidup personal setiap orang. Hal itu terbukti karena komitmen religius membantu setiap orang mengalami beberapa hal berikut.

Satu, kebahagiaan. Kebahagiaan itu sendiri, tercipta manakala seseorang setia pada kata hatinya, yaitu melakukan kebaikan dan menghindari kejahatan. Agama mendorong pengikutnya melakukan kebajikan, seperti kerendahan hati, pengampunan, solidaritas, kesabaran, harapan, dan lain-lain.

Meski demikian, menurut Ward tidaklah benar kalau dikatakan bahwa agama selalu menghasilkan kebahagiaan. Bentuk-bentuk keyakinan tertentu atau agama tertentu kadang membawa ketakutan dan penderitaan. Bila itu yang terjadi, yang perlu dilakukan adalah mempertemukan keyakinan-keyakinan tersebut dengan persepsi-persepsi lain, sehingga dapat dipertanyakan sejauh mana keyakinan-keyakinan seperti itu masih bisa dipertahankan.

Dua, keyakinan religius mendorong orang untuk menjadi altruis. Artinya nilai-nilai yang dibawa oleh agama menggugah orang untuk tidak terkungkung dalam kepentingan diri semata, tetapi juga berorientasi pada kebutuhan orang lain. Hal itu sendiri tidak berarti bahwa  semua pemeluk agama otomatis lebih altruistik dari semua orang  ateis. Yang mau dikatakan adalah keyakinan religius sangat mendukung moral dan tingkah laku altruistik.

Tiga, keyakinan religius membuat orang mengalami pendampingan Allah sepanjang waktu. Oleh karena itu, salah besar kalau menuduh keyakinan religius sebagai penyakit mental. Penelitian membuktikan bahwa  penyakit mental lahir dari malfungsi otak, bukan karena orang percaya kepada Tuhan (beriman).

Empat, keyakinan religius merupakan keputusan atau pilihan bebas manusia. Dalam kebebasannya seseorang memilih untuk menggantungkan hidupnya pada Allah. Dalam kebersamaan dengan Allah ia menemukan makna dan tujuan hidupnya. Oleh karena itu, keliru kalau mengatakan keyakinan religius itu “tidak lebih” dari aktivitas otak, delusi dan konyol. 

KEDUA, Ward juga tidak ragu-ragu bahwa agama lebih melakukan banyak kebaikan daripada keburukan dalam hidup manusia. Hal itu terbukti oleh beberapa fakta berikut. Pertama, tradisi agama-agama.  Semua agama membantu orang untuk mengatasi egoisme, kebencian, ketamakan, dan membawa orang pada kebijaksanaan, kebahagiaan, dan kasih.

Kedua, sumbangsih agama di berbagai bidang kehidupan. Menurut Ward, bila mau jujur dunia ini (peradaban manusia) sebenarnya telah menerima banyak dari agama. Agama menjadi perintis kary-karya sosial seperti mendirikan panti asuhan, panti jompo. Perintis karya pendidikan, perintis karya seni, menjadi guru atau pendidik moral di kebanyakan negara. Agama juga terutama menjadi perintis karya kasih dan kemanusiaan. Mendirikan rumah sakit, menyuarakan perdamaian dan persaudaraan sejati.

Singkatnya, agama sudah memberi banyak kepada dunia ini dan tidak berlebihan bila dikatakan dunia ini berhutang budi pada agama. Banyak konflik antara agama tidak disebabkan oleh keyakinan religius, tetapi oleh ketidaksempurnaan atau cacat personalitas dari para pemeluk agama itu sendiri, yang mempengaruhi keyakinan dan praktik religiusnya.

KEPUSTAKAAN
a.   Sumber Utama :
Ward, Keith. Is Religion Dangerous?. Oxford : Lion Hudson PLC, 2006.
b.   Sumber Pendukung :
Delanti, Gerard & Piet Strydom (edt.). Philosophies of Social Science. The Classic and Contemporary Readings. Philadelphia: Open University Press Maidenhead, 2003.
Maslow, H. Abraham. Agama, Nilai, dan Pengalamn Puncak. Maumere: LPBAJ, 2000.
Jones, James W. Contemporary Psychoanalysis and Religion. London: New Heaven, 1991.
Kung, Hans. Global Responsibility. In Search of a New World Ethic. New York: The Crossroad Publishing Company, 1991.
Magnis – Suseno, Franz. Menalar Tuhan.  Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sharot, Stephen. A Comparative Sociologi of World Religions. New York: New York University Press, 2001.






[1] Ward, Keith. Is Religion Dangerous?. Oxford : Lion Hudson PLC, 2006.

[2] David Myers, The Science of Subjective Well-Being, Guildford Press, 2007 dalam Keith Ward hlm. 156.
Buku ini berisi referensi lengkap atas survei-survei yang dikutip dalam teks tentang kebahagian dan altruisme.
[3] Keith Ward, hlm. 161.

[4] Ibid, hlm. 162.

[5] Michael Argyle, Psychology and Religion, Taylor and Francis, 1999 dalam Keith Ward hlm. 165.

[6] H.J. Cronin, Medical Review, 1934 dalam Keith Ward hlm. 167.

[7] Keith Ward hlm.170.

[8] Bdk. bagian 3.

[9] Misalnya Martin Luther King, Gandhi, Suster Thresa dari Kalkuta, Desmond Tutu, dll.

[10] Francis Crick, The Astonishing Hypothesis, Simon and Schuster, 1994 dalam Keith Ward hlm. 174.

[11] “You, your joys and your sorrows, your memories and your ambitions, your sense of personal identity and free will, are in fact no more than the behavior of a vast assembly of nerve cells and their associated molecules”, Ibid.

[12]  Ward hlm. 193.

[13]Sejumlah nama yang bisa disebutkan misalnya, Giotto, Rembrandt, Michelangelo, Dante, Agustinus, Milton, J.S. Bach, Mozart. (Keith Ward, hlm. 183 )

Comments