POLITIK “JUNGKAT-JUNGKIT”

A. PENDAHULUAN

“Jungkat-jungkit” adalah permainan yang biasanya digemari anak-anak dan umumnya tersedia di taman-taman bermain. Terbuat dari sebatang logam atau kayu panjang dan di tengah-tengahnya diberi poros dari bahan yang sama sebagai titik keseimbangannya. Dimainkan oleh dua orang sebelah menyebelah. Kenikmatannya adalah gerakan turun naik secara bergantian. Demikianlah saya melihat pola yang sama pada  hal-hal berikut.

  1. Anggapan tentang rakyat: pada ujung yang satu ada Machiavelli dan di ujung lainnya Montesquieu. Sedangkan Kant berada di tengah-tengahnya sebagai penyeimbang.
  1. Tindakan politis: pada ujung satu ada Machiavelli dan di ujung lainnya Kant. Sedangkan Hannah Arendt menjadi poros tengah yang mengimbangi keduanya.
Pola “jungkat-jungkit” ini menjadi model hubungan dari ketiga posisi berikut.  


politik jungkat jangkit


 B. PEMBAHASAN

1.Posisi Satu

Anggapan tentang rakyat.

Posisi ini, yang diwakili oleh Machiavelli melihat manusia sebagai mahkluk yang sifatnya tidak tahu berterima kasih, plin-plan, pura-pura, cinta diri dan sesat. Tentu saja ini pandangan yang negatif dan suram tentang manusia. Dalam “jungkat jungkit” tempatnya disalah satu ujung. Berbeda sekali dengan posisi ketiga yang melihat manusia dengan amat positif. Ini ujung yang lainnya. Agak berbeda dengan Kant sebagai poros penyeimbang. Kecuali manusia itu jahat, namun Kant masih melihat juga bahwa pada suatu saat manusia memilih untuk hidup bersama karena tidak mau terus menerus dibayangi oleh ketakutan satu sama lain  Pada Kant manusia hidup bersama satu sama lain, dimana keadilan ditegakan.

Kembali ke Machiavelli. Pertanyaannya adalah kenapa Machiavelli melihat manusia sedemikian suram? Jawabannya sangat sederhana, karena Machiavelli bukan filsuf eksitensialis. Machiavelli adalah seorang teoritikus politik yang cara kerjanya lain sama sekali dengan kebanyakan orang pada masa itu. Manusia dibicarakan oleh Machiavelli hanya sejauh dia sebagai warga Negara, bukan sebagai pribadi. Kalau begitu, apakah manusia punya nilai pada dirinya? Ataukah manusia itu hanya sekedar sarana untuk  tujuan tertentu? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian tanggapan nanti.   
        
Tindakan Politis

Setelah mengetahui kodrat manusia seperti di atas, maka seorang penguasa, dalam bahasa Machiavelli, pangeran, tidak perlu mememiliki sifat-sifat terpuji. Cukup bijaksana kalau seorang pangeran tahu bagaimana melepaskan diri dari nama jelek yang berhubungan dengan kejahatan demi kesatuan bangsa. Jadi bagi pangeran tidak perlu harus bersikap baik.

Apabila hal yang dianggap baik itu berlawanan dengan kepentingan-kepentingannya, maka seorang pangeran harus berani bersikap tidak baik. Dengan kata lain sangat perlu bagi penguasa untuk berpura-pura memiliki sifat baik, tetapi dibalik itu harus selalu siap untuk mengubah sikapnya ke sifat yang sama sekali bertentangan. Sederhananya tindakan politis di sini probirokrasi. Dalam “jungkat jungkit” tindakan politis ini menempati satu ujungnya.

2. Posisi Dua 

Anggapan tentang rakyat

Posisi dua ini diwakili oleh Kant. Manusia Kant penuh ambisi. Kant sangat percaya bahwa tujuan sejarah akan terwujud dalam diri manusia. Tetapi, disamping itu juga manusia egois, liar, dan kasar.  Pertanyaannya adalah bagaimana optimisme akan tujuan sejarah terwujud dalam diri manusia yang egois, liar dan kasar? Bagaimana mendekatkan antara yang sosial dan asosial?   

Menurut Howard jawaban Kant untuk problem ini adalah sebuah masyarakat yang dapat menjalankan keadilan secara universal (a civil society which can administer justice universally)[1] Di dalam masyarakat sipil ini ketaksosialan manusia harus dikekang. Setiap individu harus tunduk di bawah satu aturan hukum yang diakui bersama. Kant percaya bahwa masyarakat sipil menyediakan kemungkinan kebebasan yang sama bagi setiap individu.
Masyarakat sipil memag tidak akan menghilangkan pertentangan antara manusia tetapi ia hanya menjamin bahwa pertentangan itu tidak akan meruntuhkan masyarakat sendiri. Menurut Williams, Kant sangat yakin dengan perkembangan manusia meskipun sari kodratnya manusia itu egois, liar, dan kasar. Justru keadaan alamiah macam inilah yang memungkinkan manusia mengalami peradaban. Pandangan ini jelas sekali berbeda dari Machiavelli yang mengklaim manusia dari satu sisi saja. Sebentar akan kita lihat bahwa Montesqieu persis berdiri bersebrangan dengan Machiavelli dan Kant berada di tengah-tengahnya.   

Tindakan politis

Individu-individu yang telah masuk dalam masyarakat membutuhkan seperangkat aturan agar kebebasan di antara mereka bisa menghasilkan harmoni. Kant menegaskan tidak ada alasan apa pun terbentuknya sosialitas kecuali keharusan belaka (a sheer necessity)[2]. Keharusan ini muncul karena penderitaan akibat pertentangan alamiah antar manusia yang anarkis. Keadaan ini yang membuat mereka tunduk dibawa hokum positif. Dan hukum positif ini harus dijamin oleh sesuatu yan melampauinya yaitu Negara (state).
Ada tiga hal yang penting dalam kaca mata Kant menurut Williams yang berkaitan dengan otoritas yaitu: hukum positif, Negara, dan pemimpin. Hukum positif harus dijamin dalam sebuah Negara, dan sebuah Negara setidak-tidaknya harus memiliki pemimpi yang jujur. Kalau ketiga otoritas ini menjamin keadilan dan kejujuran, maka msyarkat akan tunduk terhadapnya.

Negara setidaknya membangun tiga kekuatan yang menghasilkan stabilitas, yaitu: keuntungan ekonomi, pertahanan militer, dan kebebasan politik. Menurut Kant kita hanya bebas secara politik kalau kita hidup di bawah konstotusi republikan. Tetapi konstitusi republik hanya dapat terlaksana dalam masyarakat yang sudah maju secara ekonomis. Ketika ekonomi sebuah Negara makin maju, kebebasan warga Negara makin dijunjung tinggi. Kemajuan ekonomi ini pada akhirnya harus dijamin dengan konstotusi yang benar. Dalam “jungkat-jungkit” posisinya persis bersebrangan dengan Machiaveli, diujung yang lainnya. Karena tindakan politis ini propasar.

3. Posisi Tiga

Anggapan tentang Rakyat

Pandangan tentang manusia dari  kelompok ketiga ini sangat positif. Apa yang dilontarkan oleh Machiavelli sebagai jahat, egois, dan pengecut sama sekali dibalik di sini. Manusia itu baik, menginginkan perdamaian, terarah pada kebersamaan, dan peduli pada yang lain. Manusia pada posisi ini menghidupi empat macam kodrat sebagai jati dirinya. Keempat hukumkodrat itu adalah tidak saling menyerang (perdamaian), pemenuhan kebutuhan alamiah (mencari makan), mengarahkan diri pada yang lain, dan keinginan untuk hidup bersama.[3]
Profil positif manusia dari Montesquieu jelas-jelas melampaui manusia Kant yang ketakutan satu sama lain. Meskipun pada akhirnya manusia-manusia itu memilih hidup bersama, hidup bersama itu hanyalah solusi untuk mengatasi rasa takut; bukan keterarahan alami manusia.

Tindakan Politis

Tindakan politis pada posisi ini yang diwakili oleh Hannah Arendt amat erat kaitaannya dengan pandangan tentang manusia. Ada hubungan sebab akibat antara keduannya. Karena manusia sedemikian sama posisinya dan hidup dalam kebersamaan maka cara menangani masyarakat adalah kerja sama dari semua pihak sehingga tercipta suatu kehidupan bersama yang lebih baik.

Berbeda sekali dengan Machiavelli yang mencirikan tindakan politis dengan manipulasi, kesewenangan, dan soal strategi dari seorang individu yang mempunyai kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya atas orang banyak. Meski Kant ketika berbicara tentang tindakan politis tidak mengisyaratkan adanya dominasi individu yang berkuasa atas masyarakat, tetap saja tidak berarti sama dengan Arendt. Arendt meletakan kesejahteraan masyarakat atau warga  Negara pada jalinan kerja sama diantara semua kelompok sosial yang ada.

Tugas Negara adalah memungkin terciptanya kondisi kebersamaan itu dalam ruang publik. Caranya dengan menciptakan undang-undang yang pro-publik sehingga dapat dipastikan semua orang memperoleh akses dan kesempatan yang sama untuk memperoleh semua hak dan kewajibannya sebagai warga Negara. Tindakan politis di sini pro publik. Dalam “jungkat-jungkit” menjadi poros penyeimbang antara kebijakan probirokrasi pada Machiavelli dan propasar pada Kant.            

C. TANGGAPAN

Klaim-klaim tentang rakyat dan tindakan politik di atas mempunyai warna dan karakter masing-masing. Ketika mendekati masing-masing posisi secara spontan saya mengajukan keberatan dan afirmasi.

Machiavelli

Untuk Machiavelli saya mengajukan pertama keberatan. Keberatan saya adalah pada sikap Machiavelli yang mengabsolutkan Negara dan mekanisme pemerintahannya. Negara dan mekanisme pemerintahan pada Machiavelli bagi saya tidak sekedar sebuah titik fokus pemikiran atau risalah tertentu tetapi lebih dari itu sebuah ideology. Ideology ini menihilkan semua yang bukan Negara dan pemerintah.

Di hadapan segala sesuatu Machiavelli bertanya, apakah “anda” berpengaruh pada tingkah laku sosial dan politik? Segala sesuatu itu bisa apa saja: moralitas (agama), manusia, dll. Machiavelli menghargai keadilan, keberanian, dan patriotism karena membuat Negara menjadi kuat. Dalam arti ini saja moralitas dihargai. Maka bagi saya kalau Machiavelli tidak menghargai manusia misalnya, itu bukan karena ia tidak sedang menteori kan siapakah manusia, tetapi karena manusia bagi dia (dalam arti pribadi) tidak ada. Yang ada hanya Negara.[4]

Kedua tentunya afirmasi. Yang patut dihargai dari pemikiran Machiavelli adalah ia menyandarkan pada pengalaman yang tak dapat diingkari, tidak hanya pengalamn pada zamannya tetapi juga pengalaman pada masa lampau. Generalisasinya tentang manusia dan pemerintahan, sebagaimana juga nasihat-nasihatnya, lebih merupakan buah pengalaman daripada studi sistematis. Ia sungguh cerdas, orisinil, meresapi maslahnya dengan keras kepala, tetapi tidak runtut.[5]

Kant

Untuk Kant, pertama saya mengajukan keberetan soal tindakan politis. Kalau mau disingkat kebijakan Kant bisa dikatakan propasar. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari antropologinya sendiri. Antagonisme sikap-sikap keji, jahat sebagai kondisi alamiah kini diterapkan dalam kehidupan bersama tetapi tetap dalam koridor tunduk pada hukum. Wujud dari pertikaian itu sekarang adalah kompetisi. Orang berlomba untuk menjadi pemenang dalam segala bidang.  Dengan ini tercipta keseimbangan kekuatan yang dinikmati bersama.

Pertanyaan saya adalah tidakah setiap kompetisi melahirkan pemenang tetapi sekaligus juga korban (yang kalah)? Bagaimanakah nasib yang kalah? Kalau dikatakan kompetisi itu pada gilirannya melahirkan keseimbangan, itu berarti yang kalah bangkit dan menjadi pemenang baru, begitu seterusnya dinamika itu berjalan.

Pertanyaan saya adalah apakah setiap ada yang kalah otomatis kemudian bangkit dan menjadi pemenang? Bukankah, pengalaman membuktikan bahwa dalam ekonomi pasar yang kalah bersaing justru tertinggal dan kemudin digilas oleh roda kemajuan itu sendiri? Dan tidakah yang kalah bersaing biasanya mereka yang tak berdaya karena korban ketidak adilan dan penindasan? Masih bisa dipertahankankah kebijakan pro pasar dari Kant dalam konteks seperti ini?

Kedua tentunya afirmasi. Antropologi Kant sangat terbuka akan dimungkinkannya hubungan antara dunia politik dan moral. Disini menurut Williams Kant melihat bahwa antara dunia politik dan moral ada pertalian yang erat. Dunia moral memberikan kepada kita konsepsi tentang sebuah komunitas ideal dimana setiap individu memperlakukan orang lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Dengan kehendak baik seorang politikus moral, cita-cita ini dapat berperan secara tepat dalam politik. Kant memang sangat menekankan moralitas seorang politikus, sebab seorang politikus harus mampu menjembatani dunia politik dan dunia moral. Jika dunia moral dan dunia politik harmonis maka tercapai keadilan.       

Montesquieu

Untuk Montesquieu saya ingin memberikan afirmasi. Dari ketiga posisi dalam pembahasan ini Montesquieu memberikan gambaran yang paling positif tentang manusia. Saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh montesquie bahwa pada keadaan yang paling awal dan di dalam kedalaman jiwanya terdapatlah perdamaian. Setiap orang pada kondisi yang netral merindukan perdamaian. Tidak ada manusia yang pada dasarnya cari ribut.

Montesquieu menantang Hobbes yang bercerita tentang manusia yang menggembok rumah mereka dan selalu menutup pagar mereka rapat-rapat. Alih-alih menunjukan kondisi awal manusia yang brutal dan kebinatangan, Montesquieu justru menunjukan kalau semua itu adalah akibat dari hubungan yang tidak adil setelah terbentuknya Negara. Selain makanan masih ada lagi kecenderungan untuk mengarahkan diri pada yang lain, dan kebutuhan akan hidup bersama sebagai hukum kodrat manusia.    
      
Hannah Arendt

Seperti untuk Montesquieu, hal yang sama saya berikan kepada Arendt yaitu sebuah afirmasi. Saya setuju dengan tindakan politis Arendt yang pro publik. Dalam kebijakan pro
publik kelompok-kelompok sosial diperdayakan sehingga menjadi mandiri. Akan tetapi kemandirian ini tidak mengarah pada individualistik.

Kalau ternyata dalam roda kehidupan sosial ada pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang tertinggal atau tidak diuntungkan oleh sistem yang berlaku. Semua orang atau paling tidak otoritas dalam hal ini Negara bertanggung jawab untuk memberikan uluran tangan dan mengangkat mereka keluar dari situasi itu. Jadi saya melihat di sini kebijakan politis propublik dari Arendt menjadi semacam poros tengah antara dua ekstrem yaitu kebijakan probirokrasi dari Machiavelli dan pro pasar pada Kant.

Kebenaran bahwa manusia hidup dari dan oleh kebersamaan, membuat kekuasaan bukan milik dari siapapun. Akibatnya penentu kebijakan bukan birokrasi di satu sisi dan pasar di sisi lain. Yang menentukan adalah kepentingan publik itu sendiri. Yang dimaksud bukanlah komunitarianisme dari Marx. Dalam batas tertentu birokrasi mengintervensi dan pasar berjalan sendiri. Tetapi di balik itu ada ruang publik yang menjadi tanggung jawab bersama. Birokrasi tidak terlalu mendikte dan individu tidak terlalu individualistik. Itulah kebijakan politis yang pro publik.

Posisi Akhir

Setelah mengikuti alur penalaran dari pokok-pokok di atas tibahlah saatnya bagi saya untuk secara tegas menentukan dimanakah posisi saya. Sebagaimana terlihat dari penekanan-penekan pada bagian-bagian di atas kiranya menjadi jelas kalau pilihan saya jatuh pada posisi tiga. Dengan posisi tiga ini berarti saya berada dipihak Montesquieu dan Hannah Arendt. Argument atas sikap ini pokok-pokonya sudah saya sampaikan dalam afirmasi terhadap Montesquie dan Arendt. Kalau mau diringkaskan dalam dua kalimat kira-kira berbunyi demikian.

  1. Montesquieu mengungkapkan inti terdalam dari jati diri manusia yaitu kedamaian, mempertahankan hidup (makanan), keterarahan pada yang lain, dan keniscayaan akan hidup bersama.

  1. Arendt mengungkapkan kebijakan politis yang paling adil dan seimbang melalui kebijakan propublik.             

Kepustakaan

Arendt, Hanna, 1995, Asal-usul Totalitarisme. Jilid II Imperialisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Hardiman, Budi Francisco, 2007, Filsafat Politik. Membangun Pemikiran Politis Melalui Interpretasi Karya-Karya Klasik (Edisi Embrional), Jakarta: STF Driyarkara

Howard, L. Williams , 1986, Kant,s Political Philosophy, New York: St. Martin Press


Montesquieu, 1993, Membatasi Kekuasaan. Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, Jakarta: Gramedia






[1] Williams, 1986, 10

[2] Ibid, 15

[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Politik, 59

[4] Machiavelli hanya mau membicarakan tentang mekanisme pemerintahan yaitu tentang bagaimana menciptakan Negara yang kuat dan pemerintahan yang bertahan lama. Machiavelli hanya memperhatikan tujuan tunggal yaitu politik

[5] The Discourses, I, 21

Comments