- SYLLABUS OF ERRORS OLEH PIUS IX
- Sejarah
Paus Pius IX1, dalam masa awal kepemimpinannya, dianggap sebagai seorang yang liberal, yakni seorang yang mampu mendekati tugas-tugas baru bagi Gereja dengan pandangan terbuka. Aspirasinya adalah untuk mendekatkan antara katolisme dan kebebasan. Puncak kejayaan dari Paus ini adalah Roma mencapai persetujuan dengan kerajaan Ottoman dan hasilnya berupa didirikannya kembali Patriakat Latin Yerusalem (Oktober 1847). Roma juga menjalin perdamaian dengan Rusia sejak negosiasi pada tahun 1845. Kendati sikap seperti ini hanya dipeluk dalam beberapa tahun awal pemerintahannya saja. Sebagian terbesar kurun waktu pemerintahannya (33 tahun) membawa kekecewaan bagi banyak orang lantaran sikapnya yang bertolak belakang, maksudnya menjadi kaku, radikal, dan fanatik dalam ikhtiar memerangi apa saja yang berbau liberal. Selain itu kritik dari para Intransigen2 terus mengalir, yang menolak dan tidak terbuka terhadap segala kemungkinan kompromi.
Kedua belah pihak (para Intransigen vs kaum liberal) saling menggelar argumen mereka. Situasi panas ini mendorong Paus Pius IX untuk menerbitkan 80 dalil yang disebut Syllabus of Erros. Ia berkeyakinan bahwa ide-ide filsafat baru dan politik baru harus dibendung dan jangan sampai meresap hingga ke jantung Gereja. Maka dari itu Ia menindaklanjuti sebuah usul dari Uskup Agung Pecci dari Perugia agar paus meformulasikan sebuah syllabus yang mendaftar segala ajaran-ajaran sesat atau daftar hal-hal menyimpang yang tidak boleh dipercayai oleh orang-orang Katolik termasuk pemikiran modern seperti: rasionalisme atau sosialisme, perkawinan di catatan sipil, dan banyak lagi bentuk-bentuk toleransi agama lainnya. Semula daftar ini mau diumumkan bertepatan dengan diresmikanya sebuah dogma bahwa Santa Perawan Maria bebas dari dosa asal (1854), tetapi proses pengumpulan dalil pada saat itu belum selesai.
Syllabus ini menolak baik sistem-sistem filsafat, seperti rasionalisme dan panteisme, maupun sistem-sistem sosial seperti komunisme, ajaran sesat mengenai hal moral, khususnya mengenai perkawinan, tetapi juga pendapat–pendapat sesat mengenai hubungan Gereja dengan negara. Hampir dimana-mana syllabus dipandang sebagai tantangan Gereja terhadap masyarakat modern, maka praktis itu dilarang.
Paus Pius IX ditunjuk oleh Provinsial Konsili dari Spoleto pada tahun 1849 untuk menyusun sebuah konstitusi yang akan mendaftar kesalahan-kesalahan dasar dalam Gereja. Dokumen pertama disusun oleh Kardinal Fornari dan berhasil menyebutkan 28 kesalahan besar dalam Gereja. Kemudian pada tahun 1860 P. Gerbet, Uskup Perpignan, telah mempublikasikan sebuah instruksi pastoral berisi 85 kesalahan-kesalahan gereja pada waktu itu.
Dengan berpatok pada dokumen uskup tersebut Paus Pius IX terdorong untuk meformulasikan sebuah syllabus baru di bawah peimpinan Kardinal Caterini. Syllabus baru ini menyebutkan 61 kesalahan lengkap dengan kualifikasi teologisnya masing-masing. Namun majalah antiklerikal di Turin Il Mediatore berhasil mempublikasikan kesalahan-kesalahan tersebut sehingga menimbulkan sebuah arus kemarahan menentang Gereja. Paus Pius IX menanggapi hal tersebut dengan menyusun syllabus terakhir yang berisi 80 tesis utama.
Proses publikasi menimbulkan kehebohan yang sudah diprediksikan sebelumnya. Pemerintah Italia dan Prancis tetap mengizinkan media massa untuk terus mempublikasikan syllabus tersebut. Akibatnya kesalahan konsepsi tentang kutukan Paus atas kesalahan-kesalahan tersebut semakin meluas khususnya ketika kebanyakan dari kesalahan tersebut ternyata memiliki hubungan dengan situasi Italia saat itu. Sebagai contoh adalah tesis 80 “the Roman pontiff can and should reconcile and harmonize himself with progress, with liberalism, and civilization”3 (Paus Roma bisa dan seharusnya mendamaikan dan menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, liberalisme dan peradaban sekarang) yang dikutuk melalui alokusi Jamdudum Cernimus.
Tesis ini dengan jelas berhubungan erat dengan ide pemerintahan Piedmontese tentang kemajuan dan peradaban. Orang-orang Katolik menjadi bingung tentang beberapa pengutukan walaupun sebagian besar kutukan tersebut sangat jelas, contohnya: kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan penyangkalan akan keilahian Kristus dan ateisme.
B. Isi
Syllabus ini terdiri atas sepuluh bagian utama yang berisi 80 tesis:
1. Panteisme, naturalisme, dan rasionalisme absolut (tesis 1-7)
2. Rasionalisme moderat (tesis 8-14)
3. Indifferentisme dan latitudinarianisme (15-18)
4. Sosialisme, komunisme, secret societas, bible societas, dan
clerical-liberal societas (19-38)
5. Gereja dan hak-haknya (39-55)
6. Negara dan relasinya dengan gereja (56-64)
7. Natural dan christian ethics (65-74)
8. Perkawinan Kristen
9. Kekuasaan temporal paus (75-76)
10. Liberalisme modern (77-80)
C. Interpretasi
Tulisan Paus Pius IX telah mengakibatkan munculnya banyak kesalahan interpretasi. Sebagai contoh adalah clerical-liberal societas yang dikutuk dalam tesis 18 menunjuk kepada kelompok-kelompok, didukung oleh biarawan Piedmontese, yang menentang sikap Paus dalam penutupan biara-biara. Banyak orang berpikir bahwa tesis ini secara langsung melawan Montalembert dan para pengikutnya di Prancis. Tesis 15 “everyone is free to adopt and profess that religion which he, guided by the light of reason, holds to be true”4 (setiap orang bebas untuk mengakui agama, dengan diterangi oleh akal budi, yang dia akui sebagai benar) ditafsirkan bahwa seorang manusia hanya bersandar pada kemampuan akal budinya dalam menerima kebenaran religius dan bukan pada kekuasaan Tuhan.
D. Kepentingan
Syllabus of errors memiliki peranan yang penting dalam sejarah gereja oleh karena serangannya pada arus rasionalitas pada abad ke-19 yang merusak Gereja, agama, dan masyarakat. Sementara mempertahankan hak-hak dasar dan keistimewaan Gereja, syllabus muncul untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh perkembangan kesalahan-kesalahan dan oleh klaim yang berlebihan bagi kekuatan akal budi. Dengan penolakan akan kesalahan-kesalahan ini menghapus pengaruh Gereja akan hidup individual, keluarga, dan bangsa. Syllabus of errors muncul untuk mengarakan perhatian manusia pada alam dan misi Gereja di dunia. Syllabus of errors juga membantu umat manusia agar terbebas dari penggunaan akal budi semata dan menjaga keharmonisan antara iman dan akal budi. Selanjutnya silabus ini membuka jalan bagi munculnya Konsili Vatikan I.
2. KONSILI VATIKAN I
Pada Desember 1864, dua hari sebelum dipublikasikannya syllabus of errors, Pius IX mengungkapkan maksud hatinya kepada para kardinal untuk memanggil konsili. Sebuah konsili ekumenis yang bakal berlangsung setelah konsili Trento, 300 tahun yang lalu. Intensi itu dipublikasikan pada tahun 1867 kepada sejumlah uskup dan jemaat beriman yang datang ke Roma untuk merayakan pesta kemartiran rasul-rasul agung, Petrus dan Paulus. Akhirnya pada 29 juni 1868 dilayangkan sebuah bulla Aeterni Patris Unigenitus. Bulla ini merupakan undangan untuk mengadakan konsili yang ditujukan antara lain kepada Gereja-Gereja “skismatis” Timur dan Protestan.
Adapun yang hendak dicapai (tujuan) dengan konsili ini adalah menyatukan kembali seluruh dunia Katolik dalam suatu manifestasi kebenaran. Maksud ini tentu saja langsung berhadapan dengan sejumlah pandangan yang dinyatakan oleh gereja sebagai ‘kesesatan’ zaman itu. Namun pada tanggal 6 Februari 1869, majalah La Civilta Cattolica menurunkan berita bahwa konsili yang akan berlangsung nanti itu bermaksud mendefinisikan dalil-dalil doktriner yang tercantum dalam Syllabus dan terutama doktrin mengenai Infalibilitas Paus (Paus yang tidak dapat sesat).5
Hal ini berakibat Batrik Konstantinopel mengembalikan surat itu dalam keadaan tertutup, karena mereka menganggap Roma tidak menghormati kesamaan dan persaudaraan Apostolik. Sikap yang sama juga diperlihatkan oleh Batrik Armenia, Jakobit, dan Koptis. Reaksi dari umat Protestan jauh lebih negatif daripada orang-orang timur. Konsistori Agung Gereja Protestan di Berlin menolak surat Paus itu karena dianggap sebagai suatu campur tangan yang tak dapat dipertanggungjawabkan ke dalam urusan gereja Protestan. Jelaslah dari permulaan bahwa konsili yang akan datang tidak merupakan konsili pemersatu.6
Tujuan konsili ini selain pengutukan terhadap dalil-dalil seperti yang terdapat dalam syllabus of errors, juga untuk mendefenisikan doktrin mengenai gereja. Selama sidang, ada dua dekrit dogmatis yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan I yang berbentuk konstitusi kepausan, yaitu:
o Dei filius(24 April 1870) mendefinisikan batas-batas iman dan kepercayaan, antara pengetahuan hasil iman kepercayaan dan pengetahuan hasil akal budi manusia.
o Pastor Aeternus (konstitusi dogmatik pertama Gereja mengenai Kristus, menguraikan tentang keutamaan dan infalibilitas uskup Roma ketika memberikan dogma).
Pecahnya perang Perancis-Prussia terjadi di tengah-tengah masa Konsili meyebabkan konsili ditunda dan tidak pernah dilanjutkan karena jatuhnya Roma. Konsili ini tidak pernah dituutp secara resmi sampai puluhan tahun berikutnya, dan secara resmi ditutup pada waktu persiapan Konsili Vatikan II (1962). Hasil dari Konsili Vatikan I ini menunjukkan kemenangan gerakan Ultramontanisme7 yang mendukung pemerintahan sentral Vatikan bagi Gereja Katolik.
· Infalibilitas Paus
Dekrit dogmatis tentang infalibilitas Paus Roma diformulasikan pada Konsili Vatikan I, khususnya dalam pembahasan tentang Pastor Aeternus pada tanggal 18 Juli 1870. Bagian terpenting berbunyi: “Kami mengajar dan menetapkan bahwa Uskup Agung Roma, bila bersabda ex chatedra yaitu selaku pengemban tugasnya sebagai Gembala dan Guru segenap umat Kristen berdasarkan kekuasaan apostolik yang tertinggi, menetapkan suatu ajaran yang berhubungan dengan iman dan kesusilaan supaya dianut oleh Gereja. Maka karena bantuan ilahi yang dijanjikan kepadanya dalam diri Santo Petrus , ia memiliki infabilitas yang menurut kehendak Penebus ilahi merupakan sifat Gereja agar dapat menentukan ajaran mengenai iman dan kesusilaan. Selanjutnya, penetapan-penetapan serupa itu yang dikeluarkan oleh uskup agung Roma karena daya kekuatannya sendiri dan tidak karena persetujuan Gereja, tak dapat dirubah lagi”8.
Bagian terakhir dari kalimat ini mengesampingkan keharusan agar seluruh Gereja memberikan persetujuan kepada definisi-definisi Paus yang bersifat dogmatis. Pada tanggal 15 Juli suatu perutusan dari kelompok minoritas yang terdiri atas Uskup Agung Darboy dari Paris, Simor dari Gran dan Schrer dari Munchen berserta beberapa Uskup lainnya, memohon agar menghapus rumusan tentang “tidak karena persetujuan Gereja”9. Bagian ini hendaknya diganti dengan rumusan bahwa penetapan Paus yang tak dapat sesat dalam hal dogma mempertimbangkan juga hasil kesaksian Gereja.
· Iman dan akal budi
Pembahasan tentang relasi antara iman dn akal budi yang terungkap dalam dogma Dei Filius menjadi sangat penting seiring dengan kebangkitan ilmu pengetahuan modern, pembaharuan studi sejarah, dan perkembangan dari filsafat modern. Tokoh yang utama dalam pembahasan ini adalah John Hendri Newman, yang mempertahankan konsep iman melawan mereka yang mengklaim bahwa orang yang berakal budi menolak iman. Newman membuat satu pertanyaan pokok sebagai respon terhadap akal budi bahwa akal budi tidak mungkin dengan standar ilmiahnya, dapat menjelaskan segala sesuatu. Solusi yang ditawarkan Newman adalah melihat iman yagn berdasar pada kemungkinan-kemungkinan untuk berfokus pada individu melalui sebuah respon moral. Sementara itu, Konsili Vatikan I menghindari fideisme (menyingkirkan akal budi sama sekali dari iman) dan rasionalisme (menyingkirkan segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan akal budi tanpa ada hubungan dengan agama).
Konstitusi dogmatik tentang iman Katolik menyatakan bahwa karena akal budi berkaitan erat dengan Tuhan yang menciptakannya maka akal budi harus menyerah kepada iman dalam kaitannya dengan Wahyu, bukan karena akal budi bisa melihat kebenaran intrinsik dari wahyu tapi karena kekuasaan Tuhan untuk mewahyu. Namun Tuhan memberikan dasar bagi iman agar selaras dengan akal budi dengan membuat mukjizat dan ramalan sebagai bukti bahwa Allah itu nyata. Iman dan akal budi tidak bisa berlawanan satu sama lain karena keduanya nyata dalam manusia. Definisi dasar tentang iman harus dilakukan dengan percaya kepada Allah dan Yesus Kristus.10
3. REAKSI EROPA TERHADAP KONSILI VATIKAN I
Ada dua sikap dalam menanggapi hasil Konsili Vatikan I di daratan Eropa:
· Menerima dan melaksanakan keputusan konsili yang terdapat dalam konstitusi dei filius dan pastor Aeternus, misalnya di Inggris, Irlandia dan Belgia.
· Tetapi tidak demikian lancar keputusan konsili diterima di negara-negara yang berbangsa Jerman, misalnya: pada tanggal 30 Agustus para uskup Jerman dalam surat gembala mereka menegaskan; “kekuasaan Gereja untuk mengajar dengan tidak sesat telah menegaskan bahwa Roh Kudus telah berbicara lewat wakil Kristus dan lewat para Uskup yang bersatu dengan beliau, maka dari itu semua Uskup, rohaniwan dan kaum beriman harus menerima dengan teguh keputusan-keputusan itu sebagai kebenaran Wahyu ilahi. Tetapi di antara para Uskup ada yang menolak pernyataan ini, mereka kemudian bergabung dengan kelompok cendikiawan yang dipimpin oleh Döliner.
Salah satu hasil lain dari reaksi eropa terhadap Konsili Vatikan I adalah meunculnya kulturkampf yang merupakan bentuk kampanye anti Gereja Katolik di Jerman. Setelah penentuan infabilitas kepausan represif gerakan anti-katolik muncul di Jerman. Gerakan ini dimotori oleh Otto van Bismarck yang mengatakan bahwa paham Katolik bertentangan dengan paham kesatuan politik Jerman. Tahun 1871 Bismarck memperkenalkan hukum anti-Katolik.
Segera setelah itu para Jesuit diusir dan semua sekolah Katolik dan seminari-seminari berada di bawah kontrol negara. Konflik memuncak ketika utusan Jerman ke Vatikan ditarik dan Pius IX secara tegas mengutuk segala penganiayaan yang terjadi dalam ensiklik Quod Nunquam (7 Februari 1875). Sebagai bentuk pembalasan dari Bismarck maka pengaruh religius Katolik dihilangkan dan sumbangan finansial kepada Gereja dihentikan. Taktik menebarkan ancaman yang dilakukan Bismarck untuk menyatukan orang-orang Katolik Jerman yang belum pernah ada sebelumnya ternyata salah perhitungan. Untuk mencapai kesatuan katolik melawan demokrasi sosial, kebanyakan hukum-hukum dicabut dan sebuah perjannjian damai dengan Leo XIII menandai berakhirnya penindasan di Jerman.11
DAFTAR PUSTAKA
Edi Kristianto, A. “Pio Nono dan Vatikan I” dalam Diktat Kuliah Sejarah Kristiani II.
Glazier, Michel. 1994. “Kulturkampf” dalam The Modern Catholic Ecyclopedi., Collegevill , Minnesota : The Liturgical Press.
Hogan, W. F.. 2003. “Syllabus of Errors” dalam The New Chatolic Encyclopedia (second Edition). Washington D.C.: Gale.. .
Jedin, Hubert. 1973. Sejarah Konsili. Yogyakarta: Kanisius.
Kelly, John Norman Davidson. 1986. “Pius IX” dalam The Oxford Dictionary of Popes. New York : Oxford University Press.
Comments
Post a Comment