WAJAH AGAMA DI INDONESIA


Adalah sebuah kenyataan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu meliputi suku, budaya, agama, bahasa, tingkat kesejahteraan ekonomi, pandangan politik, dan lain-lain. Agama, (juga unsur-unsur kemajemukan lainnya) disatu pihak dapat berpotensi membantu bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang. Tetapi, dipihak lain jika kemajemukan agama tersebut kurang terkelola dengan baik, akan makin suburlah prasangka negatif (negative stereotype) antar individu dan kelompok yang akhirnya menciptakan konflik.

Agama menyerukan damai, persaudaraan, dan prngampunan
a) Wajah Konstruktif

Indonesia merupakan bangsa yang sangat religius dan dibangun atas dasar religiositas yang kuat, Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama dalam Pancasila). Oleh karena itu, tidak bisa tidak agama memainkan peranan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Menurut hemat saya, peranan penting agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama ini meliputi dua hal pokok[1].

Pertama, agama turut menentukan way of life (cara hidup) dan warna peradaban orang Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan (seperti gotong royong, kebersamaan, solidaritas, dll) yang sudah lama hidup dalam budaya suku-suku di negeri ini seakan mendapat tempat dan diperkuat dengan hadirnya agama-agama besar di kemudian hari. Begitu luhurnya nilai yang dibawa oleh agama-agama, para founding fathers dulu merasa perlu untuk menjadikan agama sebagai salah satu dasar ideologi negara ini (Ketuhanan Yang Maha Esa- sila pertama dalam Pancasila).

Kedua, agama menjalankan misi profetis (kenabiaan) setiap saat. Setiap saat agama selalu angkat suara untuk mempromosikan nilai-nilai luhur dalam budaya manusia dan melawan segala pembusukan budaya dari hal-hal negatif. Itu artinya agama mengkritik dengan keras segala macam ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Entah itu korupsi, ketidak adilan, penindasan, gaya hidup yang tidak sehat (hedonis, egois), dan lain-lain.

Gereja Katolik misalnya, dalam Nota Pastoral KWI tahun 2003, secara transparan menyampaikan keprihatinan atas kualitas kemanusiaan bangsa Indonesia. Empat keprihatinan yang disebutkan adalah, (1) iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata, (2) kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan, (3) nafsu untuk mengejar kepentingan sendiri/kelompok, dan (4) cara bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. [2]

b) Wajah Destruktif

Tak dapat disangkal bahwa, baik secara langsung maupun tidak langsung, agama turut bertanggung jawab terhadap terjadinya berbagai kekerasan dan konflik[3] di negeri ini. Mengikuti Moeslim Abdoerahman (Damrah Khair dalam IPI, 2005),  saya  memandang bahwa keterlibatan agama dalam sebuah kekerasan atau konflik mengandung dua pengertian.

Pertama, konflik terjadi karena faham dan keyakinan ekstrim para pemeluk agama tentang kebenaran mutlak doktrin agamanya masing-masing atau seringkali keyakinan ekstrim kelompok-kelompok tertentu yang berafiliasi dengan suatu agama. Dalam pengertian ini bisa disebutkan misalnya aksi kekerasan yang dilakukan oleh FPI, berbagai aksi terorisme di tanah air, serangan terhadap jemaat Ahmaddyah, dll.

Kedua, penyebab konflik bukan soal keyakinan atau doktrin agama. Agama lebih sebagai faktor pengiring dan alat yang efektif untuk mencari dukungan dan legitimasi demi memperkuat posisi masing-masing kelompok yang berkepentingan. Hampir semua konflik yang bernuansa SARA di tanah air bisa dipahami dari sudut ini.

Dari dua pengertian di atas, saya melihat bahwa banyak kekerasn yang melibatkan agama terjadi dalam pengertian kedua. Bahkan bila kekerasan itu terjadi dalam pengertian pertama (unsur keyakinan ekstrim), seringkali tidak pernah lepas dari pengertian kedua. Artinya aksi-aksi teror dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok religius tertentu, motivasinya tidak pernah murni faktor ideologi/keyakinan. Di dalamnya ada akumulasi ketidakpuasan, kekecewaan terhadap ketidakadilan dibidang ekonomi, politik, sosial, dll. Hasil kajian IPI bisa menjadi sumbangan yang berharga.

Kesimpulan IPI terhadap hasil-hasil penelitian di beberapa daerah konflik yang bernuansa SARA adalah sebagai berikut. (1) Konflik horisontal yang terjadi antar komunitas yang mengatasnamakan agama seperti di Ambon, Maluku, Poso, Sulawesi Tengah ternyata pada awalnya bukan konflik agama. Agama dalam konflik tersebut lebih banyak sebagai faktor pengiring yang meningkatkan eskalasi konflik. (2) Identitas keagamaan telah dimanfaatkan sebagai alat yang efektif untuk mencari dukungan, legitimasi. (3) Penyebab utama konflik biasanya di luar agama, seperti terjadi kesenjangan di bidang ekonomi, politik, hukum. (4) Kelemahan pemerintah dalam menegakkan hukum dan tidak adanya ketegasan aparat keamanan membuat konflik berlarut-larut. (5) Orientasi kekuasaan dan jabatan telah menumbuh-suburkan praktek KKN yang akhirnya menciptakan ketidakadilan dan persaingan yang tidak sehat. Pihak yang dikalahkan dan dikecewakan melempiaskannya dalam berbagai bentuk kekerasan sehingga rawan konflik[4].          

Akhirnya, meskipun agama tidak dalam kapasitas sebagai pemicu utama konflik berdarah, kenyataan banyaknya konflik horizontal yang terjadi, aksi-aksi kekerasan dan terorisme serta ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat (KKN)  tetap mencederai reputasi agama sebagai  sumber nilai-nilai luhur dan benteng pertahanan moral dalam hidup masyarakat Indonesia.

Kesimpulan

Pembahasan di atas  menunjukkan adanya ambivalensi peran agama di Indonesia. Di satu pihak agama menjadi kekuatan yang sangat konstruktif, tetapi di pihak lain menjadi kekuatan yang cukup destruktif juga.

Pada taraf tertentu ambivalensi ini menimbulkan ironi bagi masyarakat Indonesia. Agama jalan lain, pengikut-pengikutnya jalan lain.[5] Saat ini TV kita banyak sekali menayangkan  talk show rohani. Dalam pembicaraan para pejabat publik sering sekali mengutip ayat-ayat kitab suci mereka; namun, pada saat yang sama korupsi jalan terus, suap menyuap jalan terus, penegakan hukum masih terseok-seok, ketidakadilan terjadi
dimana-mana.    

Ditengah, karut-marut di atas kemana perginya agama? Atau kalau agama masih eksis, dimana orang-orang menyimpan agamanya? Kalau agama hanya dipahami sebatas ritual, maka jangan tersinggung kalau kita ditertawakan oleh orang-orang yang tidak beragama!!!




[1] Dua poin ini, merupakan hasil  penafsiran atas karya Raymundus Sudiharsa, SVD, “Iman dan Budaya dalam Agenda Misi Gereja” dalam Dialog Iman dan Budaya, Komisi Teologi KWI, hlm. 123-152.
[2] Nota Pastoral KWI 2003, Keadilan Sosial bagi Semua, Jakarta 13 November 2003. 
[3] Laporan lengkap tentang konflik-konflik ini, lihat Institut Pluralisme Indonesia, Direktori Penelitian  Agma,Konflik, dan Perdamaian, Komnas HAM: 2005. Lih. juga Hasarullah, Dendam Konflik Poso. (Periode 1998-2001). Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik, Gramedia: 2009.
[4] IPI, hlm. XX-XXI.
[5] Iman hanya dihayati  dalam tataran ritual dan tidak sebagai cara berada.

Comments